NovelToon NovelToon

Kepingan Hati Vania

Vania Kirana Larasati (Prolog)

Namaku, Vania Kirana Larasati, orang terdekatku memanggiku Nia. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara yang kesemuanya perempuan.

Kakak pertamaku, Tisha Listyana Maharani, tercantik diantara kami, juga lembut dan cerdas. Tidak heran aku menyebutnya kesayangan Ayah karena Ayah selalu memuja kalau berbicara tentangnya. Dimata Ayah, Kak Tisha tiada cela sama sekali, berbeda dengan kakak keduaku yang kata Ayah suka ngambek dan aku yang disebut suka membangkang.

Tetapi, sesungguhnya kami bertiga adalah putri yang sangat dicintai Ayah dan Ibu, kami adalah permata hati mereka. Meski dari keluarga sederhana yang hidup dari hasil toko kelontong di pasar sebuah kota kecil di pulau JW, kota yang ramah dan juga nyaman.

Nama ayahku Aryasena dan Ibu bernama Asmarini. Ayah memiliki lima orang adik yang sangat tidak kusukai. Namun ada seorang adik laki-laki Ayah yang akrab dengan kami, biasa dipanggil Paman Tino sedangkan istrinya kami sapa dengan Bibi Rima. Pernikahan mereka sangat harmonis meski belum dikaruniai anak di usia pernikahan yang menginjak 20 tahun. Secara otomatis kami menjadi keponakan tersayang sekaligus dianggap seperti putri mereka sendiri. Mereka menyewa tempat di sebelah toko kami untuk berjualan snack kiloan dan makanan ringan lainnya. Snack yang paling aku sukai adalah keripik gadung.

Hanya Paman Tino dan Bibi Rima yang aku hormati dari keluarga besar Ayah, selain itu aku anggap hanyalah manusia-manusia munafik. Mereka menganggap kami sebelah mata hanya karena memiliki sebuah rumah sederhana, sepetak toko dan sebuah sepeda motor bebek. Bukan Ayah tak mampu seperti mereka yang memiliki harta lebih banyak tapi dia justru mementingkan biaya pendidikan kami bertiga. Impian terbesar Ayah dan Ibu adalah mendampingi kami ketika wisuda. Wisuda merupakan sebuah pencapaian akademik yang gagal mereka raih atas nama bucin, halah ...

Walaupun kami perempuan dan akhirnya nanti berujung di dapur setelah menikah, setidaknya kami bisa berdikari dan menjadi istri serta ibu yang tidak bodoh, itu kata Ayah. Kalau kataku sih, supaya tidak dibodohi suami nantinya, hahahaha ...

Sebaliknya, keluarga dari pihak Ibu sungguh misterius. Kami tidak pernah sekalipun mendengar apapun perihal tentang keluarga Ibu. Pernah kami coba bertanya beberapa kali pada Ayah, tapi jawaban Ayah selalu sama.

"Kalau Ibu keberatan menceritakannya, Ayah pun sama. Hanya Ibu yang berhak menceritakannya karena itu keluarga Ibu."

"Aih, Ayah takut dimarahi Ibu ya?" tuduhku sebal.

"Tidak, karena Ayah menghormati dan terlalu mencintai ibu kalian," jawab Ayah.

"Ih, jawabannya dari dulu itu melulu. Kok, Ayah bisa sih secinta itu sama Ibu?" tanya Kak Litha.

"Hmm ... Ibu kalian memang galak. Tapi, pengorbanannya untuk Ayah yang membuat Ayah sangat mencintai Ibumu. Semoga kalian nanti mendapat suami seperti Ayah, yang mencintai kalian sepenuh hati tanpa syarat."

"Ishh ... Ayah narsis! ... Tapi pengorbanan apa?" tanyaku menyelidik.

"Ck. Anak kecil mau tahu saja urusan orangtua. Kalian hanya perlu tahu kalau kalian itu lahir di dunia ini karena cinta suci kami."

Ayah malah memeluk dan menciumi pucuk kepala kami bertiga. Aku bisa merasakan cinta dan kasih sayang Ayah yang begitu besar pada kami.

"Ayah tidak seru!" Aku merajuk pada Ayah, lalu menarik tangan kakakku, "Kak Tisha kok diam saja, bantu nanya kek," ujarku padanya yang sedari tadi hanya senyum-senyum saja.

"Ngapain nanya? Berapa kali pun kau tanya jawaban Ayah tetap sama. Lagian masih SD kepo urusan orangtua, nanti wajahmu cepat tua karena dewasa sebelum waktunya, hahaha ...." jawab Tisha tergelak.

Aku memberengut kesal karena Kak Tisha selalu memihak Ayah. Untungnya aku masih memiliki kakak yang satu frekuensi denganku, makanya setelah pisah tidur dari kamar Ayah dan Ibu, aku lebih memilih satu kamar dengan Kak Litha ketimbang Kak Tisha. Maklum, rumah sederhana kami hanya memiliki tiga kamar tidur, satu ruang tamu, satu ruang tengah yang sering dipakai untuk bercengkrama bersama dan sebuah dapur juga kamar mandi.

"Kak, aku sangat penasaran kenapa kita tidak boleh mengenal keluarga Ibu. Mungkin saja Ibu adalah seorang anak orang kaya yang lari dari perjodohan karena memilih Ayah yang hanya seorang pedagang di pasar," bisikku pada kakak keduaku.

"Hentikan imajinasimu! Kalaupun benar, tidak ada pengaruhnya juga buat kita. Meski hanya pedagang di pasar tapi Ayah adalah Ayah terbaik di dunia."

Kakak keduaku, Navia Litha Sarasvati, seorang perempuan santun yang memiliki empati tinggi, juga penyayang, sedikit galak dan pandai berkamuflase. Aku katakan dia pandai berkamuflase karena Kak Litha, panggilan akrabnya, begitu pandai menutupi perasaannya yang sebenarnya.

Dia memang tidak secantik Kak Tisha, tone kulitnya paling gelap diantara kami, namun begitu ia yang paling membuat Ayah kewalahan menghalau teman-teman lelaki yang selalu ingin mendekatinya. Sedangkan kulitku sangat putih, bukan pucat ya, tapi seputih salju hahahaha .... Meski aku berjemur di bawah terik matahari kulitku tidak akan berubah sedikitpun. Untungnya rambutku hitam, kalau tidak aku akan disangka Albino.

Kulit anehku ini kudapatkan dari Ibu begitu juga mataku. Seharusnya aku mirip dengan Ibu yang cantiknya paripurna karena aku mewarisi jenis kulit dan matanya tapi nyatanya justru Kak Litha yang plek-ketiplek mirip dengan Ibu, pembedanya hanya di warna kulit. Aih ... aku jadi iri dengan kakakku itu. Tapi kenapa juga Ayah seringkali sewot jika ada teman lelakinya yang bertandang main atau kerja kelompok ke rumah padahal mereka hanya T-E-M-A-N.

...***...

Gerimis menyertai pemakaman Ayah sore itu. Cinta pertama kami telah berpulang meninggalkan semua bidadarinya di bumi. Tangisanku paling keras diantara semua, sementara Ibu hanya diam menatap hampa nisan Ayah.

Mulailah derita malang menimpa keluarga kami datang berderet. Sejak Ayah tiada, otomatis lelaki yang bisa melindungi kami hanyalah Paman Tino– tetapi berhadapan dengan Bibi Rima saja, Paman takutnya bukan main, bagaimana kami akan mengandalkannya?

Di saat-saat seperti ini aku memimpikan kalau saja aku memiliki seorang saja kakak lelaki, setidaknya kami tidak selinglung ini dan setidaknya kami masih percaya diri mengangkat muka setelah kehilangan Ayah karena masih ada yang melindungi kami.

Selain kehilangan Ayah, kami juga setengah kehilangan Kak Tisha. Aku menyebutnya setengah kehilangan sebab raganya ada tapi jiwanya tidak ada, alias ODGJ, Orang Dengan Gangguan Jiwa. Gangguannya semakin parah setelah diberitahu kabar bahwa Ayah telah meninggal. Ia tertawa, menangis namun paling banyak termenung, sampai aku penasaran apa yang ODGJ pikirkan ya, kalau lagi termenung diam.

Sedihnya lagi, ibuku divonis kanker tulang beberapa minggu setelah Ayah dimakamkan. Kondisi keuangan kami juga menurun drastis dari sederhana menjadi kismin, eh miskin maksudnya, hahahaha ....

Motor, toko, rumah, perlahan habis untuk biaya hidup sehari-hari, pengobatan Kak Tisha dan Ibu. Meski dibantu Bibi dan Paman yang berjualan snack tetap saja tidak cukup. Sampai akhirnya kami tinggal menumpang di rumah Paman dan Bibi dan tidak lama kemudian Paman memutuskan untuk bekerja di Ibukota.

"Paman yakin, jauh-jauh ke Ibukota hanya untuk jadi pembantu?" tanya Kak Litha.

"Ini bukan pembantu biasa, Tha. Ini pembantu keluarga ternama– pemilik perusahaan yang sangat besar dan Paman hanya mengurusi bagian belakang rumah. Kata teman Paman bagian belakang itu melingkupi taman, kebun dan peternakan kecil. Gajinya besar, Tha."

"Gajinya memang besar tapi kebebasan tiada punya," selorohku dengan mata yang tidak lepas dari TV.

"Nia!"

Kak Litha meneriakiku padahal aku hanya mengutarakan pendapat saja. Sekarang aku kan, sudah SMP walaupun masih kelas satu sih, hihihi ....

"Biarkan saja dia, Tha." Paman melirikku, lalu menatap Kak Litha kembali, "Bibimu sudah menyetujuinya, tinggal ibumu saja. Paman mohon bujuklah ibumu agar mengizinkan Paman untuk bekerja disana?"

"Kenapa harus ada izin Ibu, seharusnya cukup Bibi saja, kan? Ibu hanya Kakak Ipar Paman." kataku sambil lalu ke dapur mengambil air minum.

"Karena sekarang Ibu kalian yang paling dituakan di keluarga ini," sahut Bibi ketus.

"Bibi! Keripikku mana?"

Aku kesal sekali keripik gadung favoritku di toples tidak bersisa, padahal tadi pagi masih penuh.

"Maaf Nia. Tadi siang aku dan Leon yang menghabiskannya."

"Kakaaaaakkk!!!"

Ya, hanya Kak Leon, teman lelaki yang diterima Ayah sebagai teman, tahu kenapa? Karena Kak Leon adalah partner lomba Kak Litha mewakili sekolah mereka. Kakakku yang masih waras itu sangat gila dengan perlombaan, pialanya berderet-deret di almari bufet dan Ayah sangat bangga setiap memandang almari itu. Segala macam lomba diikutinya bahkan perlombaan 17 Agustusan pun tidak pernah absen. Satu lagi, alasan Ayah menerima Kak Leon main ke rumah, karena Ayah yakin Kak Leon tidak akan menyentuh fisik Kak Litha sedikitpun, kok bisa? Ya bisalah, karena diancam Ayah, hahahaha ...

Lalu bagaimana dengan sikap Ayah dengan teman laki-lakiku atau Kak Tisha? Sama. Namun, aku selalu protes dan bertanya alasan yang masuk akal bukan hanya sekedar jawaban 'mau melindungi', ya ... karena Ayah mana yang tidak mau melindungi anak perempuannya, tapi bukan berarti seperti mengurung di dalam sangkar, kan? Berbeda dengan Kak Tisha yang sangat penurut, 100% menuruti semua kata Ayah. Apa dia tidak bosan menjalani hidup yang monoton?

"Life is never flat, Sista." sindirku pada Kak Tisha saat dia menegurku untuk tidak membantah Ayah.

Yeah, Hidup tidak selalu datar ...

Seakan perkataanku diaminkan malaikat lewat. Kini hidupku, hidup kedua kakakku, hidup orangtuaku dan hidup Paman dan Bibi tidak sedatar sebelumnya, tidak sebahagia sebelumnya. Bak kapal yang dihantam badai yang mengamuk di tengah lautan. Gelombang besarnya menenggelamkan harapan kami, tiang-tiang penyangga kapal kami dan seluruh persediaan yang menopang hidup kami. Badai tidak sebentar dan masih terus berlangsung, dengan susah payah kami terus bertahan di atas sekoci mencari daratan untuk bersandar.

Dari sinilah awal kisahku bermula, saat aku mulai menapaki satu masa yang menurut orang-orang adalah masa paling indah– masa SMA. Itu menurut mereka, bagaimana denganku?

- Bersambung -

Seorang Penindas

"TIDAK MAU!" teriakku kencang ketika Kak Litha menyuruhku untuk melanjutkan jenjang SMA di SMA Nusa Bangsa 2, sekolah putri berasrama paling terkenal di kota A.

"Nia, tidak ada yang mengawasimu kalau kau sekolah biasa. Paman dan aku di Ibukota, Bibi sibuk berjualan dan menjaga Ibu. Siapa yang mau diharapkan untuk mengantar jemputmu sekolah?"

"Aku bisa sendiri, Kakak!"

"Meski bisa, tapi aku tidak ijinkan karena hanya akan merepotkan dan membebani pikiran Ibu."

"Aaarrrgghhh!!!" erangku marah.

Aku sangat-sangat kesal dengan kakakku ini, sekarang dia sok mengatur segalanya. Ya, aku tahu, hanya dia yang bisa kami andalkan saat ini. Dia kuliah dengan beasiswa penuh dari kampusnya dan hidup dengan pekerjaan sampingan sebagai pelayan part time di sebuah restoran cepat saji. Dia bahkan bisa menabung sedikit-sedikit untuk biaya sekolahku dan pengobatan Ibu. Tapi bukan berarti dia punya hak mengatur kehidupanku.

"Ibu hanya punya kita berdua sekarang. Bijaklah Nia."

Bukannya memarahiku seperti biasa kalau aku berteriak, Kak Litha malah meminta pengertianku. Ah, bagaimana bisa aku bisa menolak dengan mata permohonannya, aku benci mata itu, seperti mata Ibu yang tidak bisa membuatku berkata tidak.

"Tapi Kak– Aku pasti akan tersiksa. Tiga tahun di dalam sangkar emas. Belum lagi biayanya sangat mahal, saat ini mungkin bisa memakai tabungan Kakak, tapi bagaimana kelanjutannya? Tentu tidak akan cukup dengan hanya berharap pada pekerjaan sampingan Kak Litha," kataku masih berkelit.

"Besok adalah misteri. Misteri itu milik Tuhan, bagian kita hanya menjalani saja apa yang kita tahu hari ini. Kakak akan mengurus sekolahmu. Kau bersikap baiklah karena bagaimanapun juga banyak guru-guru di sana mengenalmu sebagai adikku. Masalah biaya, itu urusanku– ingat itu u-ru-san-ku. Jangan kau campuri, oke! Kalau kau mau membalasnya, balaslah dengan prestasi."

Aku hanya bisa mengerutkan bibirku, kesal tapi tidak berdaya. Bukannya aku tidak bisa membantahnya, tapi aku pikir ada benarnya juga apa yang dikatakan Kak Litha. Aku tidak ingin menambah beban pikiran Ibu yang sudah penuh dengan kedua kakakku yang berada di Ibukota. Kak Tisha yang masih dalam pengobatan kondisi jiwanya dan Kak Litha yang selalu dikhawatirkan Ibu dalam diamnya– sendirian menimba ilmu dan bekerja di Ibukota. Bayang-bayang tragedi Kak Tisha selalu menghantui pikiran Ibu pada diri Kak Litha, juga menghantui pikiranku.

Aku terpaksa mengikuti kemauannya, bersekolah di asrama putri terbaik dan termahal di kotaku. Belum apa-apa aku sudah mendapat cemoohan dari keluarga besar ayahku. Aih ... mulut mereka benar-benar berbisa! Perkataan mereka benar-benar menyakiti hati kami. Apalagi ketika menggunjing Kak Litha dimana sempat kudengar salah satu dari mereka menuding Kak Litha sebagai simpanan lelaki kaya raya dan Kak Tisha gila karena mengejar seorang lelaki. Sejak saat itu aku memutuskan untuk tidak berinteraksi lagi dengan mereka, tapi jugatidak memutuskan tali silaturahmi.

...***...

Keesokan paginya, Ibu meminta maaf padaku sebelum berangkat.

"Maafkan Ibu, Nia ... Karena Ibu sakit, kalian harus lebih mandiri. Ini pasti tidak mudah, Ibu sangat berterimakasih sekali padamu dan Litha. Kalian kuat, kalian hebat! Ibu sangat bangga memiliki kalian."

"Ih, Ibu, jangan buat Nia menangis ah ... Ibu harus sembuh, rajin berobat ya, dan makan yang baik selama Nia di asrama." Aku memeluk Ibu erat sekali, aku sangat menyayangi satu-satunya orangtuaku yang tersisa.

Setelah pamit, aku diantar Kak Litha ke sekolah dengan membawa dua koper. Mulai hari ini, aku tidur di asrama dan hanya diperbolehkan pulang ke rumah sebulan sekali di pekan kedua.

Hahaha ... Aku merasa geli melihat Kak Litha menangisiku saat dia akan pulang. "Baik-baik di asrama ya, Nia. Kau bisa kan, mengurus dirimu?" katanya.

"Lah, yang mau aku disini siapa? Kalau untuk mengurus diri, tenang saja– aku bukan anak kecil lagi, Kak. Aku bisa mandi sendiri, gosok gigi, berpakaian– Aduuuhh!!"

Aku mengaduh karena Kak Litha mencubit perutku. Oh ya, biar kuberi tahu kalau kakakku ini suka sekali mencubit di bagian perut.

"Bukan itu yang kumaksud. Kau sendirian disini, tidak bisa berkomunikasi dengan kami selain hari saat kau pulang. Maka dari itu, bertahanlah Nia."

Aku mengangguk. Aku tahu Kak Litha sebenarnya tidak tega mengurungku dengan kedok asrama. Tapi bagaimana lagi– yang dia lakukan adalah untuk kebaikan bersama.

"Aku akan bertahan, Kak. Kakak fokuslah sama kuliah Kakak. Kalau lancar kita akan lulus bersama, Kakak lulus kuliah, aku lulus SMA."

Kak Litha memelukku lagi dan terisak, "Maafkan aku, Nia. Yakinlah, Kakak hanya ingin yang terbaik buatmu."

Oh, Tuhan ... Aku bersyukur sekali di anugerahi kakak perempuan sebaik ini. Selalu memikirkan orang lain yang dia sayangi sebelum memikirkan dirinya sendiri. Beruntung pria yang menjadi suaminya kelak. Ah, tidaaakkk! Aku tidak mau Kak Litha menikah dan meninggalkan aku demi keluarga barunya nanti. Aku tidak mau!

.

.

.

Ceklik.

Kubuka pintu kamar.

"Hai!" sapa seorang gadis seusiaku, rambutnya panjang sebahu dan berponi, kutebak dia teman sekamarku.

"Aku Keysha, kamu?"

"Nia, Vania."

"Senang berkenalan denganmu, Nia. Disitu tempat tidurmu dan itu lemari, juga meja belajarmu," tunjuknya ramah.

"Ah, ya, terimakasih, Key– nama panggilanmu Key, kan?"

Gadis itu mengangguk, aku hanya membalasnya dengan tersenyum. Aku mengamati kamar tidur yang akan aku tempati selama satu tahun kedepan, ya hanya setahun karena kalau aku naik tingkat, kamar untuk siswa kelas dua dan tiga berbeda.

Gedung kamar siswa kelas satu, berada paling dekat dengan gedung guru dan pengurus asrama Ini agar memudahkan mereka mengawasi anak baru yang mulai beradaptasi. Konon katanya, setiap awal tahun ajaran baru di SMA Nusa Bangsa 2 akan ramai dengan suara tangisan anak-anak manja yang harus berpisah dengan kenyamanan dan kemewahan yang selama ini mereka nikmati di rumah masing-masing. Mewah – karena hampir semua siswa disini memiliki keadaan finansial dan status sosial yang sangat baik.

Karena itu, kamar yang ditempati siswa memiliki fasilitas premium. Springbed dengan ketebalan kasur 26 cm, kasur terempuk yang pernah aku tiduri, lemari dan meja belajar dari kualitas kayu terbaik, AC, wifi yang larinya kencang dan juga disediakan waterheater di dalam kamar mandi. Setara hotel bukan?

Wah ... Aku penasaran bagaimana dengan fasilitas lain yang digunakan bersama ya? Infonya sih, ada kolam renang, jogging track, lapangan indoor untuk olahraga basket, voli, bulu tangkis, ruang studio untuk seni rupa, theater dan paduan suara. Pantas saja biaya sekolahnya mahal. Mulutku tidak berhenti mengucapkan kekaguman mendapati fasilitas kamar yang akan aku gunakan.

"Ayahmu kerja dimana?" tiba-tiba Keysha bertanya.

What the fu*ck! Kau bertanya ayahku kerja dimana? Hey Nona! Aku tahu kemana arah pembicaraanmu. S*hit! Belum mulai saja, aku sudah tidak nyaman dengan sekolah ini.

"Ayahku kerja di kuburan." jawabku cuek.

"Kuburan?" Keysha mengerutkan kening.

"Iya, ayahku kerja di kuburan sampai dibangkitkan kembali saat kiamat datang."

"Maksudmu?" Kali ini Keysa memiringkan kepalanya.

Ya Tuhan, apa dia tidak bisa memahami idiom?

"Ayahku sudah meninggal, Key."

Keysha terkejut, "Maaf. Aku tidak bermaksud–"

"Ya, aku tahu kau tidak bermaksud menyinggung kematian ayahku. Kau hanya ingin tahu seberapa kaya dan tingginya status sosialku di masyarakat kan?"

Keysha terhenyak, tidak menyangka aku akan menohoknya tanpa basa-basi.

"Aku mungkin berbeda dengan siswa kebanyakan disini. Aku hanya anak seorang pedagang kecil di pasar yang sudah meninggal dunia. Aku hidup dengan Ibu dan Kakakku. Hidup kami pas-pasan. Aku bisa masuk disini karena nama baik kakakku dan tabungannya hasil menang berbagai lomba selama ini."

Air muka Keysa makin tidak nyaman, aku terkekeh melihatnya, "Lalu kau? Orangtuamu pasti hebat."

" ... "

"Kenapa diam? Aku saja sangat bangga dengan ayahku yang mungkin di mata kalian tidak ada apa-apanya. Kau seharusnya juga bangga dengan kerja keras ayahmu hingga kau bisa sekolah disini, Key."

Keysha tersenyum hambar, "Ayahku yang punya Derrutive Meubel."

"Wah, hebat! Derrutive Meubel salah satu perusahaan meubel terkenal di kota A."

"Tapi aku tidak bisa seperti kamu yang bangga dengan ayahmu."

"Why?" tanyaku sambil memasukkan bajuku dari koper ke lemari.

"Karena dia selalu memaksakan kehendaknya padaku, seperti sekolah ini– dia yang menginginkannya."

"Sama. Ayahku juga seorang pemaksa bagi aku dan kedua kakakku, tapi aku yakin dia melakukan yang terbaik untuk kami. Lain kali berbanggalah dengan ayahmu. Bagaimanapun juga berkat keringat seorang ayah, kita bisa hidup dengan nyaman di dunia ini. Itu nyata terjadi padaku."

Senyum mengembang di wajah gadis berponi itu, "Lalu bagaimana nanti kau membayar biaya sekolahmu?Ayahmu kan, sudah tiada?"

"Entahlah, aku percaya pada kakakku. Dia yang memaksaku sekolah disini dan dia bilang biaya sekolahku adalah urusannya."

"Apa kakakmu memiliki pekerjaan yang bergaji besar?"

Aku tergelak geli mendengar pertanyaannya, kenapa selalu materi yang menjadi tolok ukur.

"Tidak tahu. Dia mahasiswa di Ibukota yang memiliki pekerjaan sampingan ... Sudahlah, aku tidak mau membahas pekerjaan ayah atau kakakku. Yang jelas aku tidak seberuntung siswa lain yang memiliki kehidupan mewah di luar sekolah."

Aku menatap lekat teman sekamarku, "Apa itu penting bagimu untuk menjadi temanmu?"

"Ah, tidak. Aku berteman dengan siapa saja tanpa melihat latar belakang, tapi tidak semua siswa disini senang dengan penuturan jujurmu seperti barusan. Mereka akan menindasmu setelah tahu keadaanmu."

"Oh ya? Siapa? Hanya karena keadaanku yang tidak sama dengan kalian? Picik sekali orang itu."

"Serena Wijaya. Aku mengenalnya sejak SMP karena kami dari SMP yang sama. Karena dialah aku tidak ingin bersekolah disini. Dia penindas."

"Pelaku perundungan maksudmu?" Aku mengangkat satu bibirku ke atas. "Apa kau pernah dirundungnya?"

"Tidak pernah. Tapi tidak tahu besok-besok."

"Hmm, apa dia cukup hebat untuk melakukannya?"

"Ya. Donatur terbesar sekolah ini adalah ayahnya. Tentu pihak sekolah akan memberikan previllage tak kasat mata untuknya."

"Apa pekerjaan ayahnya?"

Oh, s*hit! Kenapa aku jadi ikut-ikutan bertanya pekerjaan orangtua? Aarrgghh!

"Pemilik perusahaan property terbesar di Kota A. Rumahnya paling besar dan paling mewah di kompleks perumahan terelite di kota ini."

"Wow!"

Aku hanya bisa mengucapkan kekaguman akan kehidupan yang telah diberikan Tuhan sejak lahir padanya. Sekelebat rasa iri mendiami hati kecilku.

...***...

Semua siswa berbaris rapi. Hari ini adalah hari pertama kegiatan belajar dimulai. Diawali dengan upacara sambutan kepala sekolah lalu perkenalan guru-guru bagi siswa baru.

Kelas satu hanya ada dua kelas. Aku masuk di kelas B, sedangkan Keysha kelas A, satu kelas dengan Serena. Aku diam-diam mengamatinya, gadis cantik yang modis juga memiliki banyak teman. Teman? Apa benar teman-temannya tulus?

Wali kelasku bernama Ibu Burne, lucu ya namanya? Burne? Hihihihi ... Tubuhnya mungil, berkacamata dan berambut pendek model Bob, ciri khasnya punya tahi lalat di atas bibirnya. Kabarnya, wali kelas saat di kelas satu akan menjadi wali kelas sampai di kelas tiga.

Ternyata kehadiranku sebagai siswa baru cukup mencuri perhatian. Kulitku yang seputih salju ini selalu menjadi topik pembicaraan siswa dan guru. Apakah aku harus bangga saat mereka menginginkan kulitku yang tidak pernah menggelap meski berjemur di bawah terik matahari sepanjang MOS (Masa Orientasi Siswa) berlangsung? Apakah aku harus senang kala mereka berdecak kagum ketika yang lain kusam, aku justru terlihat glowing? Untung saja ini sekolah putri, bayangkan kalau sekolah ini sekolah campuran yang ada siswa laki-lakinya, apa tidak menambah kadar keirian mereka? Hahah ....

Hufftt ... sayangnya justru inilah yang menjadi cikal bakal perundungan yang dilakukan Serena padaku. Sebuah alasan yang sangat aneh– hanya karena kulitku membuatnya tidak menyukaiku. Padahal dengan harta ayahnya yang banyak itu dia bisa membeli krim pencerah kulit terbaik atau perawatan mumpuni ke klinik kecantikan. Benar saja yang dikatakan Keysha– dia seorang penindas.

- Bersambung -

Provokasi Serena

Babak baru sesungguhnya telah dimulai, kegiatan belajar mengajar di setiap kelas sudah aktif. Aku memiliki beberapa teman kelas yang mau berinteraksi denganku, selebihnya pada belagu dan merasa superior satu sama lain karena kemampuan orangtua masing-masing.

Di akhir pekan, selain pekan kedua tiap bulan aku menghabiskan waktu di perpustakaan dan Dojang. Taekwondo menjadi ekstrakurikuler olahraga pilihanku dibanding tenis meja, renang, basket, dan volly. Sangat sedikit yang tertarik dengan olahraga beladiri ini, alasannya mereka takut terluka karena berkelahi. Kuku-kuku cantik mereka akan rusak dan itu sangat berpengaruh pada penampilan sedangkan olahraga beladiri dianggap hanya cocok untuk kaum pria. Sepicik itukah pemikiran mereka? Namanya saja beladiri buka kelahi diri, dipelajari untuk membela diri di saat terdesak atau darurat, bukan untuk berkelahi jago-jagoan, ckckck ...

Hanya aku, Yura, Winda dan Jessi diantara 60 siswi seangkatanku yang berminat dengan bela diri. Kami diajari oleh Sabeum Dre -guru olahraga kami- namun diluar area Dojang ia lebih akrab di sapa Pak Andre. Dia sangat antusias saat mengajariku taekwondo, menurut pengamatannya aku tidak sekedar belajar tapi berlatih untuk meningkatkan kemampuan dan kekuatan.

"Apa alasan kalian memilih Taekwondo sebagai ekskul olahraga?" tanya Sabeum Dre saat perkenalan di pertemuan pertama.

"Untuk membela diri!" jawab semuanya, serempak.

"Juga kakakku!" sambungku lagi.

"Kakakmu?" tanya Sabeum Dre heran.

"Ya, Sabeum. Kami tidak memiliki saudara laki-laki. Ayah kami sudah meninggal, Paman kami yang sekarang menjadi laki-laki satu-satunya di keluarga kami tidak begitu meyakinkan sebagai pelindung– menghadapi Bibi kami saja dia tidak berani."

Semua tertawa, terdengar lucu memang tapi itu kenyataannya dan aku tidak suka berpura-pura.

"Berarti diantara temanmu ini, kau harus menjadi yang paling tangguh. Jika dibanting atau terbanting, tidak boleh cengeng, kuatkan tekad dan raih mimpimu."

Ah, kenapa nasihat Sabeum Dre menggetarkan jiwa dan membakar semangatku. Ya ... aku harus tangguh, jika dibanting atau terbanting, segera bangkit dan kuatkan tekad.

Aku berlatih lebih ekstra dari yang lainnya, melihat api semangatku, Sabeum Dre juga semakin semangat melatihku, katanya selama ia menjadi Sabeum di Dojang SMA Nusa Bangsa 2, hanya aku siswi yang bersungguh-sungguh berlatih.

Perpustakaan adalah tempat keduaku setelah Dojang. Hobi membaca kudapat dari Kak Litha, terutama bacaan fiksi yang membuatku terbawa di khayalan si penulis. Tidak banyak juga siswi disini, hanya beberapa kutu buku yang betah. Suasana hening dan monoton adalah hal yang sangat membosankan bagi siswi seperti Serena Cs. dan hampir semua siswi sekolah ini berpola pikir sepertinya.

...***...

"Nia, aku minta maaf, kalau aku tidak bisa berteman denganmu bahkan untuk sekedar menyapamu selain di dalam kamar." kata Keysha lirih, setelah aku menanyakan mengapa selama ini dia seperti orang lain jika berada di luar kamar kami, bahkan terkesan menjauhiku.

"Tapi kenapa, Key?"

"Serena mengincarmu. Aku tidak bisa menunjukkan keakraban kita karena dia akan mencari informasi dirimu padaku. Saat ini jawaban tidak tahu menjadi andalan setiap dia bertanya tentangmu."

Aku tidak bisa berkata apapun, bingung antara mau melawan tapi juga tidak berdaya. Apa kekuatanku dibanding dia? Ayahnya donatur terbesar di sekolah ini jadi kepala sekolah dan para guru akan memaklumi perbuatan buruknya, selain itu banyak siswi yang juga enggan berkonflik dengannya.

"Apa dia menindasmu?" tanyaku.

Keysha menggeleng pelan tapi kulihat sorot matanya berkata lain.

"Jangan sampai dia menindasmu! Berikan yang dia inginkan, sekalian katakan padanya kulitku ini bukan hasil rekayasa klinik atau suplemen, tapi asli dari genetik yang diturunkan oleh gen unggul ibuku."

Lihat, hahahaha ... Mata Keysha terbelalak kaget mendengarku menebak-nebak apa yang dipikirkannya,

Kau salah jika ingin menyembunyikan perasaanmu yang sebenarnya. Aku sudah terlatih untuk hal-hal seperti itu, hehehe ...

Dan akhirnya, apa yang kutebak benar. Selang beberapa hari kemudian Keysha memanggilku di saat jam istirahat.

"Nia, apa kau bisa ikut aku?" pintanya dengan raut wajah yang menyedihkan.

"Ada apa?"

"Tidak tahu, Serena yang menyuruhku."

"Cih. Apa dia lumpuh hingga harus menyuruh orang lain memanggilku?"

"Nia ...." lirihnya.

"Astaga! Dia menindasmu lagi?"

Keysha diam dan menunduk. Aaarrrgghh! Aku kesal sekali, dengan cepat kukatakan, "Ini masih jam pelajaran, seusai jam belajar saja baru aku akan menemuinya."

"Baik Nia, kuharap kau jangan gegabah. Dia berkuasa di sekolah ini."

"What! Apa dia kepala sekolah? Jadi bisa berkuasa disini! Ckckck ... akan kutajamkan itu otak tumpulnya."

"Nia ...." suara Keysha terdengar mengkhawatirkan diriku.

"Iya, aku akan hati-hati dalam menghadapinya. Tenang saja," ujarku menepuk pundaknya.

.

.

.

Di belakang gedung asrama sekarang aku berada, berhadapan langsung sendirian dengan dengan gadis yang bernama Serena. Uhukk! Namanya seperti sering kudengar di TV, ya ... iklan makanan bayi hahahaha ...

"Ada yang lucu?" hardiknya sinis memandangku dari atas ke bawah, begitu juga teman-teman yang membersamainya sebanyak lima orang.

"Tidak. Tidak ada yang lucu. Hanya heran saja kenapa kau ingin menemuiku bersama pasukanmu itu."

"Jadi begini, kau itu sangat menyita perhatian seisi sekolah. Aku tidak suka!" serunya tanpa basa-basi di depan wajahku.

"Lantas?" kucoba untuk menantangnya.

"Ya, kau tidak boleh melebihi aku. Ayahku saja kuminta untuk menjadi pendonor terbesar di sekolah ini agar aku menjadi siswi nomor satu."

"Apa aku melebihimu?"

"Aku tidak suka kulitmu."

"Lalu, bagaimana?"

"Jangan menarik perhatian!"

"Caranya?"

"Ikuti perintahku! Kau tidak boleh memperlihatkan kulitmu. Tutupi dengan pakaian sekujur badanmu kalau kau keluar kamar. Satu lagi potong juga rambutmu sependek mungkin!"

Hah! Dia ini seenaknya saja memerintahku. Dia pikir dia siapa? Bukan berarti ayahmu pendonor sekolah nomor satu aku harus mau mengikuti kemauan sirikmu itu.

"Tidak mau. Aku tidak berniat untuk mengikuti maumu. Sudah ya, aku mau kembali ke kamar. Key, kau tidak mau ke kamar sekalian?" tanyaku pada Keysha yang sudah memucat menempel di tembok.

"KAU!" suara Serena memekakkan telinga siapapun yang ada di sana.

"Sok sekali kau Vania! Padahal jelas-jelas kau tidak bisa dibandingkan denganku!"

Hei! Dia sengaja memprovokasiku. Cih. aku tidak akan terpancing. Terserah kau mau bicara apa.

"Ren, dia merasa lebih cantik darimu, makanya dia sok seperti itu. Padahal dia tidak memiliki pegangan disini. Dia bergoyang-goyang seperti ini, hahahaha ...." kata salah satu temannya tidak mau kalah sambil menggoyang-goyangkan badannya ke kanan dan ke kiri.

"Siapa bilang tidak punya? Hehehe ... Dia punya. Kakaknya yang mahasiswa itu," sahut temannya yang berambut ikal tertawa menyindir.

Apa sih maksud mereka? Pegangan? Kakakku yang masih kuliah? Aku bingung maksud perumpamaan mereka, tapi aku merasa sedikit tersinggung karena kakakku disebut dengan tawa yang terkesan melecehkannya.

"Apa kakaknya sekuat ayahmu, Ren?" sambungnya lagi.

Emosiku mukai tersulut. Rasanya ingin kujambak rambutnya, apalagi tawa mereka bersahut-sahutan, jelas mereka sedang menghina.

"Tentu tidak lah, mana bisa! Ayahku pebisnis ulung, sedangkan kakaknya hanya memakan remahan dari Om-om genit Ibukota, apa istilahnya ya?" timpal Serena yang membuat jantungku berdegup keras.

"Ayam Kampus!" seru mereka semua berbarengan dan tertawa.

Demi Tuhan, aku bisa menahan jika mereka menyinggung diriku sendiri tapi tidak dengan Kak Litha. Tanganku sudah mengepal kuat, mencoba lebih menahan diri. Kulirik Keysha, dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, mau menangis.

"Kau jangan memfitnah kakakku, Ren!" tukasku.

"Hmm ... Kita tahu sekolah kita ini termasuk sekolah dengan biaya termahal di Kota A. Bukan maksud merendahkan, tapi dengan kondisi keluargamu ... patut dipertanyakan apa pekerjaan kakakmu yang masih mahasiswa itu sampai sanggup menjadi penanggungjawab biaya sekolahmu?"

Sial! Serena tidak berhenti memprovokasiku. Dia tahu aku sedang menahan amarah– nampak dari warna kulit wajahku yang memerah, sangat kentara dari warna aslinya.

"Jadi–" Serena mengintimidasi dengan mendekatkan wajahnya di depan mataku.

"Kau lakukan saja perintahku. Jangan kau tambah menyusahkan kakakmu bersusah payah me-laku-kan dirinya hanya untukmu. Aku bisa membantumu mendapatkan dana sosial dari perusahaan ayahku untuk biaya sekolahmu."

BUFF.

Bukan lagi menampar wajah layaknya perempuan yang tengah beradu mulut tapi aku meninju rahang kiri Serena dengan kepalan tangan kananku yang dari tadi terkepal hingga dia terhuyung-huyung dan jatuh ke tanah.

"AAA!!! Ren!" pekik kawan-kawan se-ganknya, lalu mereka spontan menghampiri gadis sombong itu.

"Ren– Ren– Bibirmu berdarah!" seru salah satu temannya.

Renata menyeka bibirnya, ia juga terlihat kaget menyadari sudut bibirnya pecah karena kuhantam. Hufftt ... Aku tidak menyangka tenagaku bisa merobek bibirnya yang busuk.

"Kau– berani-beraninya memukulku! Lihat saja apa yang akan kulakukan untuk membalasmu!"

"Silahkan! Aku tunggu namaku dipanggil Kepala Sekolah besok," sahutku tak gentar meski terus terang hatiku tidak karuan karena masalah yang kubuat akan melibatkan wali murid jika Serena melapor.

Ah ... Bodoh sekali aku sampai terpancing olehnya!

Aku merutuki diri sendiri dengan menatap tajam Serena dan lima orang temannya yang beranjak pergi dengan tergesa-gesa dari tempat ini.

"Nia, Kamu tidak apa-apa?" tanya Keysha menghampiriku.

"Aku tidak apa-apa. Kenapa kau menangis? Kau sedih Serena terluka?"

"Aku malah senang kau memukulnya seperti itu– tapi sudah kubilang kau jangan gegabah. Dia pasti akan menyulitkanmu setelah ini. Bagaimanapun Kepala Sekolah akan memandang ayahnya daripada fakta."

Aku termenung sesaat, apa yang dikatakan teman sekamarku itu ada benarnya. Dunia ini memang berlaku bagi siapa yang berduit, dialah yang menang. Aku lupa akan hal ini.

Aarrrggghhh! Betapa kesalnya aku, entah kesal pada Serena yang merendahkan aku dan Kak Litha atau diriku sendiri yang tidak bisa menahan amarah hingga membuatku dalam masalah.

- Bersambung -

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!