Aku terkejut bukan main saat menerima kabar dari Paman Tino dan Bibi Rima kalau Kak Litha akan segera menikah. Mereka yang menjemputku untuk meminta izin dari sekolah selama beberapa hari juga sama terkejutnya melihat penampilan culunku.
"Nia, apa yang kau lakukan dengan rambutmu? Dan ngapain pake manset segala?" tanya Bibi Rima keheranan memandangku dari atas ke bawah.
Terang saja aku panik, jangan sampai 'peran' yang aku mainkan dengan baik selama kurang lebih 2 tahun ini akan mengundang kecurigaan siapapun yang mendengar pertanyaan Bibi.
"Psssttt ... Nanti saja, Bi. Aku tidak bisa menceritakannya disini " kataku berbisik meminta Bibi menghentikan rasa penasarannya karena ada rasa penasaran lain yang minta dipuaskan.
Bibi Rima mengerutkan keningnya dengan raut muka tidak suka.
"Sudahlah, Bi. Sekarang topiknya Kak Litha, kenapa jadi aku?"
"Karena kau aneh sekali!"
"Pssssttttt ...." desisku panjang dengan menempelkan jari telunjuk ke bibirku sendiri.
"Sudahlah, Bu. Nanti saja bahas anak ini, dia juga bilang akan menceritakannya kenapa di sekolah dia seperti–"
"Paman!" desisku sebal tak tertahan.
Ppppfffftttt ....
Paman Tino malah menertawaiku tanpa suara, tapi bahunya yang berguncang-guncang, "Kau lucu sekali kalau begini," kataya di sela-sela tawa.
"Arrggghhh! Paman dan Bibi membuatku kesal!"
"Halah, baru begitu sudah kesal. Sekarang bawa bajumu beberapa untuk kita menginap di hotel. Kakakmu akan menikah besok lusa."
"HAH!" Kakiku serasa menjadi jelly, tidak bisa berpijak hingga kusandarkan tubuh di dinding.
"Gantian. Simpan rasa penasaranmu dulu, nanti diperjalanan kita akan saling cerita kenapa kau berpenampilan begini dan kenapa kakakmu tiba-tiba menikah."
Jantungku masih berpacu cepat mendengar kabar yang tidak pernah terlintas sedikitpun dalam benakku karena aku tahu benar cita-cita Kak Litha yang hanya ingin segera lulus kuliah dan bekerja dengan baik menghasilkan uang. Menikah tidak pernah masuk dalam prioritas hidupnya sekarang.
"Kak Litha tidak menikah karena hamil duluan, kan?" tanyaku pelan on the point, detak jantungku masih belum normal.
Plak.
Bibi memukul bokongku dengan kesal, "Tentu saja tidak. Keponakanku tidak pernah akan jatuh rayu pada lelaki, justru laki-laki yang tergila-gila pada mereka."
Paman Tino dari tadi hanya terkikik melihat kami yang berisik.
.
.
.
"Bi, cepat ceritakan padaku kenapa Kak Litha tiba-tiba akan menikah? Kenapa tidak bertanya atau memberi kabar padaku dulu sebelumnya? Kenapa cepat sekali dia menikah? Bagaimana denganku, dengan Ibu dan Kak Tisha setelah dia menikah?" cecarku merengek setelah melepas wig di dalam mobil yang disewa Paman untuk menjemputku.
Paman Tino duduk di belakang kemudi, sedangkan Bibi Rima sengaja duduk bersamaku di kursi penumpang di belakang kursi supir untuk bicara denganku.
"Bibi tidak akan menceritakan lebih lanjut sebelum kau terus terang pada kami mengapa kau menggunakan wig di sekolah," tukas Bibi Rima.
"Ishh ...."
"Ya sudah kalau begitu, kau cari tahu saja sendiri kenapa kakakmu menikah dadakan. Kau tahu sendiri kan, kalau bertanya pada Litha palingan jawabannya, 'Ini keputusanku, sudah aku pikirkan matang-matang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua akan baik-baik saja.' Lalu kau akan sibuk mencari posisi untuk mencari informasi secara ilegal alias menguping."
Aku mengerucutkan bibir sebal. Bibiku ini sangat mengerti bagaimana cara mengahadapiku, tetapi dia juga benar mengenai prediksi jawaban Kak Litha jika aku bertanya.
Aku diam sesaat dan melempar pandanganku ke luar kaca jendela mobil menikmati pemandangan yang berlari, menimbang apakah aku harus berkisah pada mereka dibalik penampilan anehku di sekolah.
"Pak, nanti mampir di kedai minum Boba ya," pinta Bibi ke Paman.
Aku spontan menolah ke arah Bibi, "Kau masih suka minuman coklat dengan Boba, kan?" katanya cuek.
Boba, minuman kekinian dengan bulatan-bulatan kecil berwarna gelap yang terbuat dari tepung tapioka memang kusukai, tapi jarang aku minum karena sayang duitnya. Jadi aku lebih sering memilih es teh atau yang mirip-mirip Boba versi tradisional, es dawet.
"Bibi lagi punya rejeki lebih ya?"
Bibiku tersenyum, "Ini bukan apa-apa dibanding pernikahan kakakmu besok lusa."
Alisku mengernyit, "Penasaran, kan?" Bibi Rima menggodaku.
"Aarrgghhh! Baiklah, akan aku ceritakan kenapa aku pakai wig, tapi dengan satu syarat."
Akhirnya aku menyerah. Aku berencana menceritakan semuanya apa yang terjadi di sekolah daripada aku mati penasaran perihal pernikahan Kak Litha.
"Apa?" tanya Bibi sumringah.
"Paman dan Bibi jangan menceritakan sedikitpun ke Ibu."
"Kenapa?" tanya Paman Tino melihatku dari spion depan.
"Nanti Paman dan Bibi akan mengerti setelah mendengarnya."
"Umm ... Oke. Paman dan Bibi akan menyimpan rahasia ini untukmu. Iya kan, Bu?"
"Engg ... Tergantung. Bibi tidak terbiasa menyimpan rahasia pada Ibumu."
"Ya sudah, kalau begitu tidak usah saja," sahutku kesal, melemparkan kembali pandangan ke luar jendela.
"Hufftt ... Apa itu akan membuat ibumu sedih, Nia?"
Aku hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan Bibi tanpa mengalihkan pandangan, "Sedih dan merasa bersalah. Aku tidak ingin Ibu menyalahkan dirinya lagi. Melihatnya merasa bersalah pada Kak Litha sudah sangat melukai hatiku."
"Nia, tenanglah. Kami tidak akan menceritakannya pada ibumu, Paman akan menjahit mulut Bibimu yang cerewet itu kalau dia coba-coba–"
"Bapak berani?" tantang Bibi Rima membuat Paman langsung terdiam seribu bahasa.
"Aihhh ... Paman sama penakutnya dengan Ayah kalau digertak istri," celotehku dalam hati.
Hening.
"Untuk kali ini, Bibi usahakan."
"Tidak mau kalau hanya diusahakan. Apa susahnya berjanji, sih?"
"Bibi tidak bisa menyimpan–"
"Ibu dan Bibi ini hanya saudara ipar. Ayah dan Paman saja tidak begini, padahal yang saudara kandung mereka."
Ya, aneh memang kalau dipikir. Disaat banyak hubungan saudara ipar tidak cocok, tetapi tidak berlaku untuk Ibu dan Bibi Rima. Mereka sudah bersahabat sejak kecil karena satu kampung. Mereka terbiasa saling melindungi dan menyayangi tanpa syarat. Aku ingat, sepotong memori waktu kecil yang menyaksikan bagaimana gagahnya Bibi membela Ibu dan menghardik salah satu sepupu perempuan Ayah yang mengatakan bahwa Ibu adalah wanita pembawa sial bagi kehidupan Ayah karena Ayah tidak bisa menamatkan jenjang kuliahnya demi menikahi Ibu disaat tengah berada di tahap akhir, tahap penyusunan Skripsi atau Tugas Akhir.
"Terserah Bibi lah ... Kalau nanti malah Ibu jadi kepikiran, orang yang pertama aku salahkan sampai aku mati adalah Bibi."
"Astaga Niaaa! Berani kau mengutuk bibimu ini!" teriak Bibi memukul-mukul bahuku.
"Bibi! Sakiittt!"
"Haiiishhhh ... Kalian ini selalu saja berisik dimanapun. Sekarang Ibu beli dulu minuman Boba, baru Nia akan cerita. Masalah akan Ibu ceritakan pada Kakak Ipar, itu masalah Ibu sendiri, aku tidak mau terkena lagi kutukan wanita Rag–"
"Hartino! Apa kau sudah bosan hidup, hah!?!"
Bibi melotot ke Paman dengan raut wajah murka dan suara yang sangat ditekan. Bibi juga langsung menyebut nama lengkap Paman dengan lantang, tidak dengan sapaan hangat 'Bapak' seperti biasa, tentu saja ini adalah pemandangan mengerikan yang dihadirkan oleh sosok Rima Wastini.
"Turun dan temani aku beli minumannya," perintah Bibi yang langsung dituruti Paman, "Nia, kau tunggu disini. Setelah Bibi membelikanmu Boba, ceritakan semuanya!" ujarnya memerintah sebelum menutup pintu mobil.
Aku tersenyum kecut, kalau begini dia persis Ibu. Mereka berdua benar-benar sahabat sejati sampai gaya mereka marah dan cara memperingati pun sama, Kulihat dari jendela mobil, Bibi sedang menceramahi Paman ketika menunggu minuman dibuat dan sesekali Bibi mencubiti lengan Paman dengan emosi.
"Memangnya Paman salah bicara apa? Sampai Bibi begitu marah, lalu kenapa Paman tidak membela diri seakan-akan merasa bersalah dan pasrah dengan kemarahan Bibi?" gumamku heran.
.
.
.
Sepanjang perjalanan menuju hotel yang menjadi tempat pernikahan Kak Lithabaku bercerita bagaimana kehidupan sekolahku sejak awal hingga akhirnya aku harus bermain peran menjadi siswa culun yang kerap menerima bullyan Serena Cs dan hinaan teman lainnya . Aku mencoba bertahan demi Kak Litha agar pengorbanannya tidak sia-sia dan demi Ibu agar tidak lagi menyalahkan dirinya.
Paman mengemudikan mobil sangat pelan hingga akhirnya memberhentikannya di pinggir jalan. Kulirik sekilas dia sedang menekan kedua bola matanya menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan kanannya.
Bibi Rima terhenyak dengan penuturan kisahku. Matanya berair dan tidak bisa berkata apa-apa lagi, lebih tepatnya dia shock. Ditatap lekat wajahku dengan mengusap perlahan kedua pipiku, tidak lama tangisnya pecah begitu memelukku. Entah kenapa emosi sedih yang selama ini terkungkung di dalam hati keluar begitu saja mengikuti tangisan Bibi menjadi raungan, anehnya raunganku tanpa suara, hanya badan saja yang berguncang.
Ada apa ini? Ada apa dengan diriku? Aku sudah tidak bisa lagi bersuara ketika menangis, Jika dimalam sepi aku sengaja menahannya dan itu sangat menyiksaku. Akan tetapi kali ini di pelukan Bibi, aku ingin menangis dan meraung-raung dengan keras seperti biasanya aku menangis dulu. Sayangnya aku tidak bisa. Aku tidak lagi bisa lega setelah menangis sehebat apapun aku mengeluarkan airmata. Tanpa disadari aku telah terantai oleh rasa piluku sendiri yang aku pupuk sekian waktu di sepinya malam.
- Bersambung -
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Sidieq Kamarga
Nia oh Niaaaa 😭😭😭😭😭😭
2022-04-13
0
Samiati Ati
lanjuut thoorrr
2022-04-08
0
naviah
semangat thor💪
lanjut
2022-04-07
0