Selamat datang di kereta Argo Express yang akan mengantar kita ke tujuan akhir Stasiun KX. Perjalanan kali ini menempuh waktu sekitar 9 jam 46 menit. Jika anda memerlukan bantuan atau informasi lainnya, Anda dapat menghubungi awak kru kami yang bertugas pada perjalanan kali ini. Demi kenyamanan dan keamanan kami himbau untuk tetap waspada menjaga barang bawaan Anda, tidak merokok baik di dalam kereta, di toilet, maupun di bordes. Selamat menikmati perjalanan anda. Terima kasih.
.
.
.
Sepur ini membawaku dan Kak Litha menuju Ibukota. Kami merasa canggung satu sama lain sejak melangkahkan kaki keluar dari ruang Kepala Sekolah tadi siang. Mengambil jadwal kereta terakhir hari ini, aku akan menghabiskan masa skorsku bersama kakakku karena kami tidak ingin Ibu mengetahui apa yang terjadi, tidak ingin membuatnya khawatir. Kami hanya memberitahu Paman Tino dan Bibi Rima agar bisa membuat alasan masuk akal jika Ibu bertanya kenapa aku tidak pulang di pekan kedua bulan ini seperti biasa.
"Kak ... Maaf merepotkanmu," lirihku pada akhirnya setelah setengah jam berjibaku dengan diam di kursi kelas eksekutif.
Kak Litha hanya tersenyum padaku, dan menggenggam erat tanganku seraya berkata, "Apa pipimu masih sakit? Maafkan kakakmu ini yang telah memaksamu masuk ke dalam neraka itu. Kakak hanya memikirkan apa yang menurutku baik tanpa mengetahui perasaanmu." Aku menggeleng, lalu dia menghela nafas panjang dengan bergetar, "Nia, Kakak percaya padamu. Kau tidak akan berulah tanpa sebab. Mereka memang sangat keterlaluan, tapi apa daya kita? Kita tak punya sesuatu yang bisa menegakkan kepala kita."
"Tapi apa harus sampai berlutut?"
"Demi dirimu, Nia, aku akan melakukan apapun."
"Ck. Aku tidak memintanya."
"Tapi kenapa kau juga bersedia dipukul?"
"Aku tidak bisa membiarkan lebih lama mereka menginjak harga diri Kak Litha."
Hening.
Aku mengalihkan pandangan ke arah persawahan di jendela kereta yang bergerak cepat. Hatiku terasa diremas-remas hingga kusut.
"Apa setiap naik kereta Kak Litha memilih kelas eksekutif?" tanyaku tak melepas pandangan dari jendela. Aku tidak ingin dia mendapati mataku yang berkaca-kaca.
"Umm ... tidak pernah. Baru kali ini aku naik kelas eksekutif, ternyata rasanya lebih nyaman dan menyenangkan dari kelas ekonomi."
"Kenapa kita tidak naik kelas ekonomi saja. Bukankah lumayan menghemat?"
Benar kata Kak Litha, kelas eksekutif di kereta ini begitu nyaman dengan memiliki kursi tidak hanya dapat diputar, namun bisa direntangkan hingga 50 derajat juga dilengkapi dengan bantal, selimut, outlet listrik, televisi dan AC tiap gerbong.
"Kau sudah melalui hari yang berat. Aku tidak bisa berbuat banyak untuk membantumu. Setidaknya perjalanan kali ini bisa sedikit menghibur dan melupakan hal buruk tadi siang," sahutnya.
Airmataku luruh mendengarnya, namun aku tidak bisa mendeskripsikan apa yang kurasakan sekarang -antara ingin memeluknya dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja sekaligus juga sangat kesal padanya- akibat keputusan sepihaknya yang memasukkan aku di sekolah itu dan berakhir seperti ini. Ya, semua yang dilakukannya semata-mata demi kebaikan masa depanku, tapi melihat dia berlutut memohon untuk aku tidak dikeluarkan, itu sangatlah menyakitkan. Kenapa dia tidak menerima sanksi aku dikeluarkan dari sekolah saja? Sekarang malah lebih rumit karena jika aku membuat 'masalah' lagi, aku akan mendapat cap di dahiku sebagai siswi bermasalah dan tidak akan ada sekolah lain yang sudi menerimaku.
"Maafkan aku, Nia. Aku salah mengambil langkah dari awal, harusnya aku lebih peduli dengan perasaanmu, tidak hanya mengejar sekolah yang prestisius. Aku mengerti kalau kau membenciku."
Airmataku jatuh ke pipi makin deras, tapi entah mengapa suara tangisku yang biasanya keras sekarang teredam di gilas roda rel kereta pada bantalannya.
"Bagaimana bisa aku membencimu, Kak?" teriakku dalam hati.
Aku merasa tanganku diraih dan diciumi olehnya sambil berujar, "Tidak apa kau membenciku. Tapi tetaplah kuat, jangan menyerah dengan keadaan. Fokus pada masa depanmu."
Tanganku terasa basah. Meski tidak melihat, aku tahu kakakku juga sedang menangis. Kami berdua sama-sama menangisi nasib yang sedang tak berpihak pada kami namun tetap dipaksa untuk kuat berdiri di atas kaki sendiri. Oh, betapa kerasnya hidup ini.
...***...
Keesokan paginya kami sampai di Ibukota. Hiruk pikuk orang dengan segala kesibukannya ditambah kemacetan yang luar biasa dan udara minim oksigen membuatku mengernyit heran karena Ibukota ternyata tidak seindah yang terlihat di siaran TV nasional.
"Ini yang namanya Vania? Wah, adikmu lebih cantik dari kakaknya," sambut teman sekamar kost Kak Litha padaku dengan ramah, memeluk dan mencium pipiku.
"Nia, kenalkan ini teman sekamarku, namanya Ninda," kata Kak Litha memperkenalkan temannya.
"Kamar ini hanya ada dua tempat tidur, satu milikku dan satu milik Ninda. Aku sudah lapor ke Ibu Kost kalau kau numpang sebulan disini,"
Kak Litha sedikit memberi penjelasan seraya menunjukkan sebuah dipan berwarna coklat dengan ukuran 120x200 centimeter di dekat jendela kamar, "Kau akan tidur disini. Aku akan membeli kasur lipat, untuk aku pakai tidur di lantai," sambungnya lagi.
Aku diam saja masih mengamati kamar yang tidak terlalu besar namun rapi dan terasa nyaman karena diatur dengan cukup baik.
"Nia, kau pasti lelah karena belum terbiasa duduk di kereta dalam waktu lama, jadi istirahatlah dulu sebentar. Aku akan mandi dan bersiap mencari sesuatu yang bisa dimakan juga beberapa keperluan selama kau tinggal disini."
Aku mengangguk, tidak lama dia mengambil handuk dan baju ganti lalu masuk ke dalam kamar mandi.
"Hai Kak Ninda! Semoga kehadiranku selama satu bulan kedepan tidak menganggu kenyamananmu di kamar ini," sahutku memulai percakapan dengan teman Kak Litha .
Tinggi badan Kak Litha lebih pendek dariku, tapi temannya ini lebih pendek lagi dari Kak Litha. Rambutnya sebahu dan berponi, orang yang tidak mengenalnya pasti mengira dia adalah temanku, bukan teman kakakku.
"Jangan sungkan. Aku dan Litha bestie banget, jadi kau akan kuanggap adikku sendiri."
"Terimakasih, Kak."
"Tapi mungkin kau akan sedikit bosan. Di siang hari harus sendirian di kamar karena kami baru pulang kuliah diatas jam tiga."
"Ah, tidak apa-apa, Kak. Aku akan menghabiskan waktuku dengan belajar. Tahu apa isi koper yang ini?" tunjukku pada salah satu koper ukuran sedang yang belum dibongkar, Kak Ninda hanya menggeleng.
"Isinya 75 persen buku pelajaranku. Kak Litha sendiri yang memasukkannya. Katanya, bukan berarti aku di skors aku bisa bersantai. Dia akan menjadi guru privatku. Aishhh ...." keluhku menepuk koper tersebut.
"Wow! Dia masih punya waktu mengajarimu ternyata, kukira waktunya sudah habis dengan pekerjaan part time dan menerjemahkan artikel."
Aku bingung mencerna kata-kata Kak Ninda mengenai Kak Litha.
"Kakakmu itu sungguh luar biasa. Energinya seakan tidak pernah habis. Setelah kuliah dari pagi sampai siang hari, malamnya dia memiliki shift sebagai pelayan di restoran ayam goreng, tapi disela-sela kesibukannya dia masih sempat menerima artikel dari beberapa media berita online untuk diterjemahkan. Hebatnya, semua nilai mata kuliahnya cemerlang, bahkan dia mewakili kampus di beberapa ajang kompetisi dan berhasil meraih juara."
APA!
Aku terkejut mendengar keseharian Kak Litha di Ibukota. Selama ini kami di Kota A hanya tahu kalau kakakku itu kuliah sambil bekerja paruh waktu di restoran ayam goreng. Ternyata dia menambah aktivitasnya sebagai penerjemah dan kegilaannya pada perlombaan masih berlanjut, jiwa kompetisinya memang sangat kuat.
"Kau harus bangga padanya, Nia. Aku saja temannya sangat bangga dan terbantu dalam hal akademik. Dia juga teman yang sangat baik sekali. Sampai-sampai kedua orangtuaku menginginkan dia berjodoh dengan salah satu abangku, hihihi ...."
"Hah! Apa Kak Litha pacaran? Karena kami–"
Ah, aku tidak bisa meneruskan kalimatku yang menyatakan bahwa kami dilarang pacaran dan berteman dekat dengan laki-laki oleh Ayah. Peristiwa tragis Kak Tisha sudah menjadi bukti karena dia melanggar janji pada Ayah sebelum berangkat kuliah ke Ibukota waktu itu.
"Tidak– tidak seperti yang kau kira. Itu hanya keinginan orangtuaku saja saking mereka menyukai kakakmu. Banyak mahasiswa yang menyukai dan menginginkan dia sebagai pacar, bahkan sepupuku sangat tergila-gila padanya, tapi Litha tidak pernah tergoda sedikitpun pada yang namanya laki-laki. Dia terlalu fokus belajar dan bekerja. Apa dia pernah disakiti laki-laki hingga sebisa mungkin menghindar dari mereka?" Kak Ninda membicarakan Kak Litha dengan begitu antusias dan penasaran.
"Ninda! Berhenti menggosipkanku! Ayo ke kampus, sebentar lagi jam pertama kuliahmu," seru Kak Litha tiba-tiba muncul di depan pintu kamar mandi.
"Sekalian aku ikut sampai di depan minimarket," sambungnya lagi, "Nia, tidak usah dianggap serius ucapan Ninda. Sekarang bersihkan dirimu dan bersantailah, hari ini kau free. Aku akan mengantarkan makanan tapi aku tidak bisa menemanimu setelahnya karena harus langsung kuliah di jam kedua."
"Apa Kakak tidak lelah? Kita baru saja tiba dari Kota A."
"Aku sudah cukup nyaman dan bisa tertidur di kursi kelas eksekutif. Sekarang waktunya belajar dan bekerja lagi," ujarnya meraih tas setelah menyisir rambut, "Ayo, Nin."
"Oke," sahut Kak Ninda sembari mengambil kunci sepeda motor di atas meja belajarnya.
"Kunci pintunya! Walaupun disini kost khusus putri tapi kadang ada tamu lelaki yang datang dan jangan buka pintu sebelum mengintipnya dari jendela terlebih dahulu. Pakai pakaian yang sopan, jangan pakai celana pendek di atas lutut dan baju tanpa lengan, meski tidak apa-apa tapi lebih baik menjaga karena kita tidak tahu apa yang dipikirkan orang lain dalam otaknya."
"..."
"Tha, apa kau selalu secerewet ini pada adikmu?" tanya Kak Ninda kebingungan, aku terkekeh mendengarnya.
"Aslinya Kak Litha memang sangat bawel dan berisik, hehehe ...."
"Aku cerewet karena dia tanggungjawabku dan aku harus menjaganya. Yuk, ah ... Kamu bisa terlambat nanti." Kak Litha menarik pergelangan tangan Kak Ninda keluar kamar.
"Nia!" teriaknya lagi.
"Iya, iya. Berisik!" balasku tak kalah keras.
Kak Litha meneriakiku sebagai kode untuk segera melakukan apa yang dia katakan sebelumnya. Mengunci pintu, mandi dan berpakaian sopan, setelah itu bersantai sambil menunggu makanan datang. Sejujurnya aku belum terlalu lapar sebab begitu turun dari kereta Kak Litha mengajakku sarapan bubur ayam di stasiun.
- Bersambung -
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Kaisar Tampan
singgah ke novelku tor, Simpanan Brondong Tampan. like dan favorit sudah mendarat
2022-07-05
0
◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾
jadi kangen litha
2022-03-31
0
◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾
😭😭😭😭😭😭😭
2022-03-31
0