Terpesona

Tiga minggu di Ibukota merubah cara berpikirku. Kak Litha bukan saja menjadi mentor tapi juga menjadi role model seorang wanita bagiku. Selama tinggal bersama dan mengamati segala aktivitasnya, dia membuatku geleng-geleng kepala dan harus diakui manajemen waktunya sangat luar biasa. Dua puluh empat jam dalam satu hari bisa dimanfaatkan tanpa ada kesia-siaan, mulai dari beribadah, belajar, bekerja, mengurusku, memperhatikan ibu dan Kak Tisha, semua dilakukan dengan sangat baik, hanya saja dia kadang lupa akan dirinya sendiri.

Aku menyesal sempat mengumpatnya di kereta waktu itu. Mengumpat kesal karena dia terlalu mengatur kehidupanku, padahal kalau kupikir-pikir lagi, dia hanya mengatur perihal sekolah, tidak yang lain meski dia sangat cerewet dalam segala hal.

Selama di Ibukota, aku sudah mengunjungi Kak Tisha sebanyak enam kali dan dari kunjungan pertama hingga terakhir tidak ada yang berbeda. Kakak sulungku itu hanya diam mematung, menangis dan tertawa lepas. Sebenarnya aku tidak mengetahui persis kronologis peristiwa yang menimpa Kak Tisha sampai ia harus intens dirawat di Rumah Sakit Jiwa Dharma Yasa.

Aku hanya mengetahui kalau dia diperk*sa oleh pria yang menolak jalinan kasih mereka diputus sepihak oleh Kak Tisha dan karena tidak terima, pria itu lalu merenggut kehormatannya. Ayah kami tentu saja tidak terima, dengan rasa sakit hati yang sangat dalam dan kemarahan yang sangat besar Ayah berusaha mencari keadilan.

Namun takdir berkata lain, Ayah harus berpulang pada Sang Pencipta setelah ditabrak saat menyebrang. Mulai disitulah nasib tidak beruntung beruntun menghampiri keluarga kami. Kak Tisha semakin depresi dan akhirnya hilang akal, tidak lama berselang Ibu divonis kanker tulang dan kini harus rutin menjalani pengobatan. Tentu saja perawatan biaya pengobatan Ibu tidak sedikit ditambah lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk perawatan Kak Tisha di rumah sakit mengharuskan kami kehilangan semua harta peninggalan Ayah tanpa sisa dalam sekejap.

Adakah yang membantu? Tidak ada. Semua keluarga besar Ayah -kecuali Paman Tino dan Bibi Rima- pura-pura buta dan tuli terhadap kami, itu semua diawali ketidaksukaan mereka sejak awal pada Ibu yang menjadi istri Ayah, alasannya sederhana yakni karena tidak se-suku, rasis bukan?

Bagaikan tombol otomatis, sekarang semua beban ada pada Kak Litha dan dia menerimanya tanpa mengeluh. Dia sangat pandai memanipulasi diri di hadapan orang lain -tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya dia rasakan dalam hati- karena Kak Litha selalu nampak baik-baik saja dengan senyuman dan mata berbinarnya.

Bersamanya siang malam selama tiga minggu ini telah menguatkan tekadku, bahwa aku tidak boleh kalah dengan situasi dan kondisi yang tidak berpihak. Aku harus tetap tegar bertahan tanpa mengeluh seperti Kak Litha, juga harus menaikkan potensi diri sampai batas maksimal, sampai otak panas berasap dan tubuh lelah, baru boleh berhenti sejenak, ya ... sejenak, lalu bangkit kembali mengulang tanpa bosan. Oleh karenanya, kurasakan sendiri semangat dan kemampuanku dalam belajar meningkat pesat. Di sekolah nanti, aku akan membuktikan diriku memiliki 'nilai' dan Serena bukanlah penentu nilai itu.

...***...

Esok lusa aku akan kembali ke kota A dan bersekolah kembali. Sebelum kembali aku meminta dibelikan wig rambut pendek dan beberapa baju manset. Aku tidak rela memotong rambut panjangku, jadi kupilih wig sebagai gantinya, lalu baju manset itu untuk menutupi kulit putihku yang menjadi pemicu kedengkian Serena terhadapku. Semua ini dilakukan hanya untuk tidak membuat Serena terusik. Aku hanya ingin sekolah dengan baik, berusaha keras mendapatkan nilai yang bagus dan kelak bisa mendapat beasiswa.

"Kita ke Dharma Yasa dulu baru setelah itu ke mall untuk membeli keperluanmu," kata Kak Litha merespon permintaanku.

"Mall? Beli di mall? Bukankah semua barang yang dijual di mall itu jauh lebih mahal, kenapa beli disana?"

"Di mall banyak pilihan, selain itu kita sekalian cuci mata. Meski mahal kalau kualitasnya bagus, aku tidak masalah membelikannya untukmu."

"Kak–"

"Anggap saja itu sebagai hadiah saat kembali ke sekolah karena selama masa skors sebab kulihat kau belajar lebih giat dari sebelumnya. Semua soal dibuku sudah dihabiskan, You're the rock, girl!"

"Tapi–"

"Tidak ada tapi, ayo, bersiap! Hari ini aku bolos demi adikku tersayang."

Kak Litha begitu semangat hari ini. Senyumnya lebar, akan tetapi mengapa terlihat sedikit aneh. Kadang aku ingin dia berbagi cerita denganku -senang maupun sedih- sayangnya aku selalu dianggap adik kecil yang cukup mendengar hal-hal menyenangkan saja. Satu-satunya orang yang diajaknya berkeluh kesah hanya Kak Ninda.

.

.

.

Aku dan Kak Litha duduk bersisian di sebuah bangku di taman depan bagian dalam rumah sakit yang telah menjadi rumah bagi Kak Tisha selama kurang lebih setahun belakangan ini. Proses penyembuhannya dilakukan dengan intens dan ditangani oleh orang yang ahli di bidangnya, hanya saja tempo pemulihan sakit kejiwaan berbeda dengan pemulihan sakit fisik.

"Kak, kira-kira kapan Kak Tisha sembuh?" tanyaku.

Kak Litha menggeleng pasrah, "Tidak tahu."

"Perawatan disini biayanya lumayan juga, kan? Sampai kapan akan membiayainya? Kalau aku jelas, aku hanya butuh dibiayai Kak Litha sampai tamat SMA, begitu lulus biarkan aku mandiri seperti Kakak setidaknya mengurangi beban dipundakmu."

Kudengar kekehan kecil dari mulutnya, lalu ia mengejekku, "Sudah besar ternyata adik kecilku ini, bahkan dia bisa berpikir akan mandiri setelah lulus SMA, hehehehe ...."

"Haissshhhh ...."

"Kau tahu apa yang paling misteri di dunia ini? Bahkan malaikat pun tidak bisa menjawabnya?" tiba-tiba suaranya berubah serius, pandangannya ke langit biru yang berawan.

Aku menggeleng.

"Waktu. Waktu kita lahir, mati, mendapat kesenangan atau kesedihan, waktu jatuh cinta, patah hati dan lainnya, sampai waktu kiamat. Semua itu misteri dan hanya Tuhan yang tahu. Kita akan mengetahuinya jika telah melaluinya." Kak Litha menoleh ke arahku, tersenyum, "Maka dari itu, sebaiknya kita tidak usah menguras energi memikirkannya. Kita tidak akan pernah mengetahui pasti masa depan, yang ada hanya spekulasi. Jika kita terlalu memikirkannya, tanpa sadar kita terbelenggu oleh ketakutan-ketakutan akan masa depan sendiri dan akhirnya membuat kita berhenti melangkah maju, stuck disitu."

Kupahami ucapannya. Opininya berhasil menyentil relung hatiku karena begitulah perasaanku saat ini, selalu menebak-nebak bagaimana nanti kehidupanku di asrama setelah masa skors ini berakhir. Sangat disyukuri Kepala Sekolah menskorsku satu bulan, bahkan kalau boleh meminta kenapa tidak satu semester, toh aku juga tetap belajar, jadi aku ke sekolah hanya untuk ujian menguji kemampuanku, hahahaaha ....

"Kak, katakan padaku bagaimana caranya Kak Litha bisa setegar ini?"

Kakakku yang sederhana dalam penampilan dan bersikap ini terbahak mendengar pertanyaanku, "Hei! Apa kau sedang mengejekku?"

"Tidak. Aku serius. Aku ingin sepertimu, bisa tetap semangat dan optimis, juga bisa tetap bertahan dalam keadaan yang tidak baik," ujarku serius.

"Hmmppffhhh ... Aku tidak seperti yang kau kira, Nia. Aku juga rapuh, bahkan pernah hancur di titik terendah. Di saat itu Ibu datang memelukku dan mengatakan bahwa dunia yang kita tinggali ini tidak memberikan kebahagiaan, tetapi justru kitalah yang memberi kebahagiaan pada diri sendiri, meski itu sulit bukan berarti kita tidak sanggup. Nasihat Ibu membuatku kembali menata hati dengan pemikiran-pemikiran baru. Ibu bilang, sesekali lihatlah bumi dari ketinggian, maka cakrawala berpikirmu akan terbuka lebih luas dan bijaksana."

Jantungku berdenyut lebih lambat namun keras berdentum, Ibu ... Aku lupa bahwa dialah sosok yang paling menderita saat ini. Di tengah ketidakberdayaannya dan tanpa suami yang mendampingi, dia melihat ketiga putrinya berjuang masing-masing. Itu pasti sangat menyakitkan, namun Ibu tidak pernah mengeluhkan sesuatu dan juga tidak terlihat sedih, malah Bibi Rima yang nampak lebih emosional.

"Taksi online yang kupesan sudah di depan, sekarang kita ke mall mencari yang kau inginkan." Kak Litha membuyarkan lamunanku yang terbang hinggap ke Ibu.

Aku mengangguk dan mengikuti Kak Litha beranjak keluar dari pintu utama Rumah Sakit Jiwa ini. Dia mengajakku ke salah satu mall besar di Ibukota, mall dengan pengunjung kelas menengah ke atas. Seperti orang udik dari desa yang melihat kemewahan kota besar, aku tidak berkedip dengan apa yang ditangkap retinaku, padahal sebenarnya Kota A juga memiliki mall, meski tidak sebesar yang kulihat sekarang tapi cukup merepresentasikan kemajuan ekonomi di kota kelahiranku. Hufft ... memang aku sangat jarang ke mall, jadinya ya begini, norak.

"Kak Litha gak salah membeli wig semahal ini? Dua lagi," desisku penuh penekanan ketika Kak Litha akan melakukan transaksi pembayaran.

"Walaupun kualitasnya nomor 3, tapi bahannya cukup bagus dan terlihat seperti rambut asli. Serena pasti tidak menyangka itu wig karena rambut palsu ini mirip dengan rambutmu. Itu cukup mengamankanmu, kan?"

"Iya, tapi harganya ma–"

"Sudah, tidak perlu risau, beberapa hari lalu aku menerjemahkan dua berita asing mengenai kebijakan politik luar negeri yang sedang viral saat ini, honornya sangat lumayan. Memang rejeki buatmu, Nia," bisiknya di telingaku sembari menyerahkan kartu debitnya ke kasir.

Mataku terbelalak, "Itu rejeki Kak Litha. Kakak yang berkerja keras kenapa menghabiskannya untukku."

"Itu memang rejekimu, Tuhan tahu kau sekarang sedang membutuhkan sesuatu, tapi karena kau tidak bekerja maka dititipkan padaku. Tidak lucu kan, kalau Tuhan memberimu langsung, misalnya ada uang di bawah bantal saat kau bangun tidur. Semua ciptaan-Nya di dunia ini sudah diatur dengan sistematis," sanggah kakakku tersenyum pada kasir saat memberikan kembali kartu debitnya, "Terimakasih," ucapnya ramah.

"Manset dan wig sudah terbeli, sekarang ayo kita makan, tapi jangan disini ya, mahal. Kita cari makan di luar mall saja, lebih murah."

"Kak!" langkahku berhenti yang juga menghentikan langkah Kak Litha.

"Kenapa Kakak sangat peduli padaku? Apa kau tidak bisa memikirkan dirimu sendiri?" Aku sudah tidak tahan, rasa haru dan kesal bercampur hingga membuat mataku berkaca-kaca.

Aku yang terbawa perasaan makin kesal karena dia menanggapinya dengan kekehan dan celetukan yang mengalihkan topik pembicaraan, "Nia, ada apa disana? Kenapa banyak sekali orang berkerumun," tunjuknya tidak jauh dari tempat kami berdiri.

"Mungkin saja artis, soalnya mall ini kabarnya sering dijumpai selebritis," sambung Kak Litha lagi menjawab pertanyaannya sendiri.

"Oh ya? Wah Kak, aku ingin melihatnya, Kakak tidak apa-apa kan, menunggu disini sebentar?"

"Hahahaha ... Ya, pergilah." Kakakku menertawai tingkahku.

Aku benar-benar teralihkan dengan kerumunan yang ditunjuk Kak Litha, dalam pikiranku mereka memang mengerubuti artis, kapan lagi aku bisa melihat artis secara langsung? Kuterobos dengan lincah orang-orang yang berdesakan, ponselku dalam keadaan on camera, siap untuk memotret.

"Mana? Mana artisnya? Kenapa yang ada malah sekumpulan pria necis berjas lengkap dengan dasi?" tanyaku bingung dalam hati saat aku sudah berada di barisan paling depan, dekat dengan para bodyguard.

"Siapa mereka?" gumamku.

"Mereka rombongan pemilik mall ini, Tuan Muda Pradipta. Dia sangat tampan, bukan?" sahut seorang wanita muda di sebelahku antusias menunjuk pria di tengah-tengah kumpulan para pria berjas itu, mereka nampak mengamati bangunan megah yang dipijaknya dengan sebuah map dokumen.

"Umm ... tampan sih, kukira tadi ada artis."

"Eits ... Jangan salah, dia sangat terkenal di kalangan bisnis dan para selebritis. Selain tampan, dia juga berbakat dan menjadi pewaris tunggal Pradipta Corp., banyak artis dan penyanyi wanita yang ingin mendekatinya sampai kekasihnya menjadi sangat posesif." Alisku mengerut, tanpa diminta wanita muda ini menjelaskan panjang lebar.

"Aku tidak tertarik. Orang-orang seperti mereka biasanya suka menindas kaum yang dianggap lemah dan miskin. Seakan mereka itu raja dan semua harus menuruti kemauannya," tukasku agak nyaring dan sedikit emosi karena harus mengingatkanku pada ayah Serena.

TAK.

Sebuah langkah kaki yang berputar dengan satu hentakan mengincar sosokku, pandangannya tajam namun ada keteduhan disana.

"Aih ... suaraku kedengaran olehnya. Apa aku membuat masalah?"

"Nyaris. Beruntung yang mendengar suaramu hanya Asisten Tuan Muda, kalau Tuan Muda sendiri, kau pasti tidak akan selamat sekarang."

"Apa semengerikan itu orangnya?" tanyaku perlahan memundurkan langkah, masih dalam kungkungan tatapan lelaki itu.

"Ya, kabarnya Tuan Muda adalah pria yang dingin dan berperangai kasar."

"Kalau asistennya?"

"Asisten Yan lebih pengertian jika menghadapi masalah."

Ssshhhhhh ...

Kurasakan desiran aneh, lelaki yang dikatakan Asisten Tuan Muda itu memang tidak setampan Tuannya, tapi kharismanya lebih menarik perhatianku. Postur tubuhnya tinggi, bahunya lebar dan pembawaannya yang tenang sedikit menghipnotisku. Aku ingin menghindar tapi juga masih ingin melihatnya. Haisshhh ... Kenapa aku ini? dan mengapa wajahku menghangat?

Aku membalikkan badanku, menerobos kembali kerumunan dan kembali pada Kak Litha yang menungguku.

"Ah, ternyata bukan artis, Kak."

Mata kakakku menyipit, "Siapa?"

"Katanya pemilik mall ini."

"Siapa?" Kak Litha mengulangi pertanyaan.

"Umm ..."

"Kau bertemu siapa sampai wajahmu memerah seperti ini?"

"Ha! Benarkah? Apa terlihat jelas?" seruku terkejut menutupi kedua pipiku dengan tangan.

"Kulitmu itu sangat terang. Perasaan hatimu mudah terbaca dengan hanya melihat perubahan warna kulitmu. Sebaiknya kau harus mengendalikannya ... Tetapi tadi kau bertemu siapa sampai wajahmu merona begitu?"

"Hehehehe ... Aku tidak sengaja berceloteh tentang Tuan pemilik mall, lalu asistennya mendengar dan menatapku," jawabku dengan menggaruk tengkuk yang tidak gatal

"Ha! Bodoh! Duh, Nia kau cari masalah lagi! Kalau begitu ayo lekas pergi dari sini sebelum mereka mencari kita. Aku tidak mau berlutut lagi untukmu."

"Aauuww ... Sakit, Kak!" Kak Litha mencubit kuat perutku, pedis rasanya. Tanganku ditarik dan kami segera meninggalkan mall itu, menghindari sebelum menghadapi masalah.

- Bersambung -

Terpopuler

Comments

Aulia Ashinta

Aulia Ashinta

aq mngalami hal ne jga , upss curcol dah 🤭

2022-04-06

0

◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾

◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾

cieeee nia merona pipimu

2022-04-04

0

Asmi☺☺

Asmi☺☺

sekuntum🌹🌹🌹

2022-04-04

0

lihat semua
Episodes
1 Vania Kirana Larasati (Prolog)
2 Seorang Penindas
3 Provokasi Serena
4 Sanksi
5 Ke Ibukota
6 Terpesona
7 Bias Mata
8 Terantai Rasa Pilu
9 Dia
10 Ku Kira Kenapa
11 Sudut Pandang
12 Patah Hati Kedua Kalinya
13 Pemakaman Ibu (1)
14 Pemakaman Ibu (2)
15 Aku Si Tawon
16 Aku Menantangmu!
17 Empati Luar Biasa
18 Semakin Mengaguminya
19 Hari Baru
20 Di Luar Kendali
21 Trending
22 I Feel It.
23 Ada Apa Ini?
24 Sejarah Asal-Usul Tiga Bersaudara
25 Wisuda Kakak Tersayangku
26 Brithday Party My Sister
27 Definisi Rasa Kecewa
28 Putri Salju
29 Aku Berhenti
30 Mengendalikan Diri
31 Aku Memohon PadaMu, Tuhan-ku
32 Tidak Sendiri Lagi
33 Cantik Sekali
34 Curhat
35 Mengusik Rasa Sakit
36 Andai Saja Dia Lebih Peka
37 Impian yang Terwujud
38 Lelaki Dua Sisi Mata Uang
39 Mencintai dalam Kesendirian
40 Apa Ini Takdir?
41 Something Missing in My Heart
42 Mengakar Kuat
43 Karena Aku Bukan Pecundang
44 Tuan Muda Kecil
45 Ulangtahun
46 Mengungkapkan Perasaan
47 Xena-nya Pradipta
48 Si Ketua BEM
49 Ingin Ikut
50 Pertemuan Tidak Terduga
51 Superhero
52 Sepupu
53 Seperti Wanita Murahan
54 Life Must Go On
55 Pengumuman
56 Status Belaka
57 Jangan Berpikir Terlalu Jauh
58 Inilah Kesopananku
59 Kau Cemburu?
60 Diikuti
61 Senang atau Sedih?
62 Mood-ku Jadi Jelek
63 Kencan Pertama (Part 1)
64 Kencan Pertama (Part 2)
65 Kencan Pertama (Part 3)
66 Akhir dari Kencan Pertama (Part 1)
67 Akhir dari Kencan Pertama (Part 2)
68 Wanita Manipulatif
69 Nia-ku
70 Jangan Pergi Lagi!
71 Tetaplah Hidup
72 Memulainya dari Awal
Episodes

Updated 72 Episodes

1
Vania Kirana Larasati (Prolog)
2
Seorang Penindas
3
Provokasi Serena
4
Sanksi
5
Ke Ibukota
6
Terpesona
7
Bias Mata
8
Terantai Rasa Pilu
9
Dia
10
Ku Kira Kenapa
11
Sudut Pandang
12
Patah Hati Kedua Kalinya
13
Pemakaman Ibu (1)
14
Pemakaman Ibu (2)
15
Aku Si Tawon
16
Aku Menantangmu!
17
Empati Luar Biasa
18
Semakin Mengaguminya
19
Hari Baru
20
Di Luar Kendali
21
Trending
22
I Feel It.
23
Ada Apa Ini?
24
Sejarah Asal-Usul Tiga Bersaudara
25
Wisuda Kakak Tersayangku
26
Brithday Party My Sister
27
Definisi Rasa Kecewa
28
Putri Salju
29
Aku Berhenti
30
Mengendalikan Diri
31
Aku Memohon PadaMu, Tuhan-ku
32
Tidak Sendiri Lagi
33
Cantik Sekali
34
Curhat
35
Mengusik Rasa Sakit
36
Andai Saja Dia Lebih Peka
37
Impian yang Terwujud
38
Lelaki Dua Sisi Mata Uang
39
Mencintai dalam Kesendirian
40
Apa Ini Takdir?
41
Something Missing in My Heart
42
Mengakar Kuat
43
Karena Aku Bukan Pecundang
44
Tuan Muda Kecil
45
Ulangtahun
46
Mengungkapkan Perasaan
47
Xena-nya Pradipta
48
Si Ketua BEM
49
Ingin Ikut
50
Pertemuan Tidak Terduga
51
Superhero
52
Sepupu
53
Seperti Wanita Murahan
54
Life Must Go On
55
Pengumuman
56
Status Belaka
57
Jangan Berpikir Terlalu Jauh
58
Inilah Kesopananku
59
Kau Cemburu?
60
Diikuti
61
Senang atau Sedih?
62
Mood-ku Jadi Jelek
63
Kencan Pertama (Part 1)
64
Kencan Pertama (Part 2)
65
Kencan Pertama (Part 3)
66
Akhir dari Kencan Pertama (Part 1)
67
Akhir dari Kencan Pertama (Part 2)
68
Wanita Manipulatif
69
Nia-ku
70
Jangan Pergi Lagi!
71
Tetaplah Hidup
72
Memulainya dari Awal

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!