Sanksi

Ruangan ini menjadi ruang sidang bagiku. Ya, aku mengaku salah melukai golden student di sekolah ini, apapun sanksinya harus kuterima.

Ceklik.

Pintu ruang kepala sekolah dibuka dari luar, nampak wajah pias Kak Litha di sana dengan keringat di pelipisnya, kutebak pasti ia habis berlari menuju kesini.

"Maafkan keterlambatan saya. Saya sudah berusaha secepatnya datang kemari dari Ibukota." Suara Kak Litha terjeda karena mengambil nafas.

"Silahkan duduk, Wali Murid Vania," kata Kepala Sekolah mempersilakan yang diikuti dengan pandangan menusuk dari kedua orangtua Serena.

"Terima kasih," sahut Kak Litha sebelum duduk di sampingku.

.

.

.

"Nia, apa benar yang Kepala Sekolah katakan?"

Kak Litha menatapku tidak percaya setelah mendengar penuturan dari Kepala Sekolah yang menceritakan aku memukul wajah Serena. Aku tahu dibalik wajah kaget dan matanya yang membeliak pasti hatinya hancur mendapati adik perempuannya bertingkah layaknya preman, tapi apa mereka tahu siapa preman sesungguhnya.

"Maaf, Kak. Aku memang memukulnya, tapi itu karena"

"Apapun alasannya tidak dibenarkan memukul wajah seorang perempuan. Apa sekolah ini mengajarkan siswinya menjadi preman?" hardik Tuan Wijaya, suaranya cukup menyiutkan nyaliku dan membuatku tertunduk.

"Maafkan saya, Tuan Wijaya. Saya yang kurang mendidiknya. Saya akan mendidiknya lebih keras," ujar Bu Burne, wali kelasku yang sejak tadi berdiri di sampingku, mendampingi sejak awal.

"Maafkan saya, Tuan. Sebagai walinya saya kurang memperhatikan adik saya sehingga sikapnya tidak terkontrol." Kak Litha langsung menyahut meminta maaf dengan menundukkan kepala.

"Hah! Apa dengan minta maaf bisa menyelesaikan semua? Aku minta darah dibalas darah, pukulan dibalas pukulan, selain itu aku tidak ingin cecunguk ini merusak reputasi sekolah dimana aku sebagai pendonor utama,"

Lagi-lagi Tuan Wijaya menghardik dengan angkuhnya, kali ini malah menunjuk mukaku.

"Jadi– keluarkan dia!" tunjuknya lagi.

APA!!!

Semua terkejut kecuali Serena dan ibunya.

"Maaf Tuan, apa ini tidak berlebihan?" tanya Bu Burne.

"Bagaimana Ibu Kepala Sekolah?" Bukannya menjawab pertanyaan wali kelasku, Tuan Wijaya malah bertanya pada Kepala Sekolah. Sebenernya dia hanya memberi isyarat untuk menunjukkan betapa besar kuasa yang dimilikinya, termasuk mengendalikan Kepala Sekolah.

"Ah ya–" Kepala Sekolah mengangkat suara dengan canggung.

"JANGAN!" teriak Kak Litha tiba-tiba, "Saya mohon jangan keluarkan Vania dari sekolah ini Ibu Kepala Sekolah. Saya akan memperhatikan dan mendidiknya lebih keras. Kami akan menerima segala hukuman asalkan Vania tetap bersekolah disini." pinta Litha memohon.

Tentu saja aku terkejut. Walaupun aku salah, aku siap menerima sanksinya, termasuk dikeluarkan dan aku akan bersorak karena lepas dari belenggu sekolah memuakkan ini.

"Maaf, Litha. Kami tidak bisa berbuat apa-apa karena disini Serena adalah korbannya. Jadi orangtuanya berhak untuk menentukan sanksi yang akan diberikan," kata Kepala Sekolah takut-takut melihat Tuan Wijaya.

"What! Sejak kapan keputusan sekolah diberikan kepada wali murid? Aishh ... ternyata Kepala Sekolah sangat takut kehilangan donasi dari ayahnya Serena. Meskipun pada akhirnya aku dikeluarkan tapi setidaknya itu adalah keputusan Kepala Sekolah bukan wali murid! Sekolah macam apa ini!" gerutuku menahan amarah.

"Tuan–" Kak Litha perlahan mendekati ke arah Serena dan orangtuanya yang duduk bersebrangan dengan kami, "Saya mohon, pertimbangkan kembali keputusan Tuan. Saya tahu adik saya bersalah telah menyakiti hati dan wajah Nona Serena, tapi kami memohon kemurah-hatian Tuan dan Nyonya untuk memaafkan kami dengan tidak mengeluarkan Vania dari sekolah ini. Saya mohon, Tuan," ujar Kak Litha tertunduk.

Hatiku panas melihat Kak Litha memohon, kedua tanganku refleks saling menggenggam kuat.

"Hahah! Apa kau bersungguh-sungguh memohon?"

"Tentu saja, Tuan, dengan kesungguhan dan kerendahan hati saya memohon maaf."

"Tunjukkan kalau begitu!" ketus Nyonya Wijaya dengan pandangan merendahkan Kak Litha.

Nampak Kak Litha kebingungan dengan maksud ibunya Serena. Ah, kakakku ini pandai tapi sangat polos.

"Berlututlah untuk menunjukkan kesungguhanmu," sahut Kepala Sekolah.

Kak Litha terlihat agak terkejut. Aku tahu dalam hati dia menolak.

"Ba– baiklah. Maafkan saya tidak memahami maksud Nyonya Wijaya," lirih Kak Litha, seketika ia berlutut di hadapan mereka, "Tuan dan Nyonya Wijaya serta Nona Serena, mohon maafkan kesalahan kami. Saya akan mendidiknya lebih keras lagi dan saya berjanji Vania tidak akan mengulangi kesalahannya."

Sekarang bukan saja hatiku yang memanas tapi mata dan pikiranku juga mulai panas.

Hening.

"Saya mohon ...." suara Kak Litha bergetar, terlihat dia mengusap pipi. Hati dan harga dirinya dibiarkan terinjak oleh para budak uang, terasa sangat sakit namun tidak berdaya.

Keluarga Wijaya mengembangkan senyum kemenangan. Mereka berhasil menindas kami– dan Kak Litha menyerahkan lehernya untuk disembelih. Aku sudah tidak tahan, persetan dengan apa yang akan terjadi.

Aku tidak terima kakak kandungku direndahkan seperti itu. Belum sempat suaraku keluar, Tuan Wijaya sudah berkata, "Asal kalian tahu, kalian itu beban keluarga. Pantas saja orangtua kalian tidak mau hadir sekarang, hehehehe ... Sebagai orang bijak aku akan mengampunimu dengan syarat. Pertama, adikmu itu harus mendapat pukulan yang sama dari putriku, kedua, dia juga akan menerima sanksi terberat dari sekolah, dan terakhir kau sebagai walinya harus membuat surat pernyataan yang menyatakan bersedia jika sekali lagi adikmu mengusik putriku, maka tanpa peringatan Kepala Sekolah akan langsung mengeluarkannya dari sekolah dengan surat rekomendasi sebagai siswa berkelakuan buruk yang akan dikirimkan ke semua sekolah di Kota A. Kau sanggup?"

Aku tercekat mendengarnya, siapa dia dengan mudahnya mengatur masa depanku. Apa hanya karena sebagai donatur utama di yayasan ini dia jadi sewenang-wenang, bahkan pimpinan tertinggi di sekolah ini menjadi ompong tak bergigi.

Hening.

Sangat jelas terlihat rasa kecewa, takut dan putus asa di wajah Kak Litha yang menatap nanar padaku. Dia seakan meminta jawaban dariku, sepemaksa apapun kakakku ini, dia tahu sampai dimana batas dapat mencampuri kehidupan adiknya. Untuk sesaat aku terpaku melihatnya -harapan dan semangatnya saat dia mengantarku masuk ke sekolah ini pertama kali pudar sudah- airmata mengalir tanpa diusapnya lagi. Namun aku masih bergeming di kursi dengan genggaman tangan yang semakin kuat bertaut.

"Aku bersedia, Tuan Wijaya. Silahkan jika Serena ingin membalas pukulan di wajahku dan aku juga siap menerima sanksi yang akan diberikan dari sekolah kepadaku. Begitu juga dengan surat pernyataan, Kakakku akan menandatanganinya sebagai waliku."

"Nia ...."

Kak Litha dan Bu Burne memanggil namaku bersamaan. Mereka tidak menyangka aku sepercaya diri ini memutuskan sesuatu untuk diriku sendiri. Andai saja aku sudah cukup umur, aku tidak perlu wali untuk setiap tindakanku. Apa yang aku lakukan adalah tanggung jawab dan konsekwensi atas perbuatanku sendiri.

"Heh! Kau harus mengajari adikmu sopan santun untuk merendah. Ckckck," sahut Nyonya Wijaya pada Kak Litha yang masih berlutut.

"Kak, berdirilah. Masalah ini sudah tuntas." ujarku mendekati Kak Litha dan meraih badannya untuk bangun.

"Cukup sekali ini kau berlutut merendahkan dirimu, Kak. Aku tidak akan pernah membiarkanmu berlutut lagi untuk alasan apapun!"

"Kau!" Tuan Wijaya menghardikku, tapi aku tidak gentar sama sekali.

"Nia ...." desis Kak Litha di telingaku.

"Aku siap menerima pukulan." Aku mengajukan diri di depan Serena, anehnya dia justru terlihat tidak senang.

PLAK.

Serena tidak memukul tapi menamparku, seperti perempuan pada umumnya yang memilih menampar daripada memukul. Tamparannya cukup kuat hingga pipiku terasa panas dan perih. Tangan Serena juga memerah, artinya pipiku dan tangannya sama-sama sakit dan kami juga sama-sama gengsi untuk menampakkan kesakitan.

.

.

.

Diskors selama satu bulan.

Aku, Kak Litha dan Bu Burne terkesiap mendengar sanksi yang dijatuhkan padaku. Reaksi yang berbeda ditunjukkan Keluarga Wijaya, mereka sangat senang karena berhasil menancapkan kukunya di mulut Kepala Sekolah.

"Tapi Ibu Kepala Sekolah ... Waktu skors terlama yang berlaku di sekolah kita adalah dua minggu. Kenapa Vania diskors satu bulan? Bukankah dia sudah menerima hukuman lainya selain skors?" sanggah wali kelasku tidak terima.

"Maaf Bu Burne, skors satu bulan cukup setimpal dengan perbuatan tercela yang dilakukan Vania. Itu jauh lebih baik ketimbang dia dikeluarkan dari sekolah ini dan juga ini akan menjadi peringatan kepada siswi lainya agar lebih menjaga perilaku mereka. Bukan begitu, Tuan Wijaya?"

"Sepertinya mereka tidak diajarkan bagaimana caranya berterimakasih oleh orangtua mereka. Lihat saja sekarang, diberi hati minta jantung, cih!"

"Maaf Tuan Wijaya, tidak seharusnya Anda berkata seperti itu. Ayah mereka telah tiada, saya harap Anda bisa sedikit berempati," sahut wali kelasku tidak senang.

Aku bisa merasakan dia menahan amarah dalam nada suaranya. Bukan saja Bu Burne yang merasakannya, dadaku juga ikut bergejolak membara. Tapi Kak Litha menahan lenganku saat aku ingin melepaskan amarah pada lelaki tua busuk itu.

"Oh, pantas saja," gumam Nyonya Wijaya menghina.

"Sudahlah, Ma. Ayo kita pergi saja. Aku sudah gerah disini," sahut Serena mengajak orangtuanya pergi, namun sebelumnya dia mendekatiku dan berbisik, "Begitu kau kembali dari skorsmu, aku tidak ingin melihat kau memamerkan rambut dan kulitmu karena aku sangat terusik dengannya. Ingat! Kau tidak boleh mengusikku, kalau kau masih ingin sekolah, hehehe ...."

Benar-benar aku diuji kesabaran oleh perempuan ular ini, di saat begini dia masih sempat memprovokasiku. Kak Litha memahaminya dengan mengusap-usap lenganku.

"Ibu Kepala Sekolah, kenapa Ibu berlaku demikian? Vania punya hak yang sama dengan Serena sebagai siswi di sekolah ini. Bukan berarti Tuan Wijaya adalah donatur utama dia bisa mempengaruhi keputusan internal sekolah. Bahkan Ibu tidak membawa masalah ini terlebih dahulu ke rapat dewan guru untuk menentukan sanksi yang akan diterima Vania. Ini tidak adil, Bu." protes Bu Burne setelah Keluarga Wijaya keluar dari ruang Kepala Sekolah.

"Jangan menjadi pahlawan kesiangan, Bu Burne. Aku hanya menyingkat waktu, toh juga apabila masalah ini dirapatkan ke dewan guru, sanksinya juga tidak jauh berbeda. Keputusan mereka tetap sama, Vania tetap akan dikenai skors."

"Tapi tidak satu bulan, Bu. Paling berat 2 minggu dan tidak perlu ada surat pernyataan konyol itu. Ini hanya akan membuat Serena makin semena-mena terhadap teman-temannya. Tidak seperti ini cara kita mendidik siswi, Bu."

"Jadi kau menganggapku tidak becus memimpin sekolah ini? Kau kira gajimu itu dibayar oleh siapa, hah! Ini sekolah swasta yang sebagian biaya operasionalnya ditopang dari donatur. Yayasan butuh donatur, dan aku akan dimintai pertanggungjawaban kalau donatur seperti Tuan Wijaya menghentikan donasinya sebelum putrinya lulus."

Bu Burne tidak bisa menyanggah perkataan Kepala Sekolah, karena faktanya memang demikian.

"Sekali lagi maafkan kami, Ibu Kepala Sekolah dan Bu Burne. Saya akan membawa pulang Vania sekarang untuk dimulai masa skorsnya. Terimakasih atas kebijaksanaannya," kata Kak Litha pahit sebelum pamit.

"Kebijaksanaan apaan? Dasar munafik! Dia hanya takut dipecat dari jabatannya karena tidak bisa mempertahankan donatur busuk itu. Pintar sekali dia menjilat, huh!"

Aku mengumpat begitu kesal dalam hati. Saat ini aku memang tidak punya kuasa untuk menolak apalagi membantah, tapi jika suatu hari nasib adil berpihak padaku, ingin rasanya Kepala Sekolah Munafik itu menjilat padaku hingga air liurnya tidak pernah mengering.

- Bersambung -

Terpopuler

Comments

Ms Dahlia

Ms Dahlia

update la yg banyak. aq menunggumu 🥰

2022-03-30

0

ima21

ima21

thor lama banget upnya😌,, q sh gak apa2 bab nya dipendekin yg penting rajin up👍👍

2022-03-30

1

naviah

naviah

semangat thor💪
lanjut

2022-03-30

0

lihat semua
Episodes
1 Vania Kirana Larasati (Prolog)
2 Seorang Penindas
3 Provokasi Serena
4 Sanksi
5 Ke Ibukota
6 Terpesona
7 Bias Mata
8 Terantai Rasa Pilu
9 Dia
10 Ku Kira Kenapa
11 Sudut Pandang
12 Patah Hati Kedua Kalinya
13 Pemakaman Ibu (1)
14 Pemakaman Ibu (2)
15 Aku Si Tawon
16 Aku Menantangmu!
17 Empati Luar Biasa
18 Semakin Mengaguminya
19 Hari Baru
20 Di Luar Kendali
21 Trending
22 I Feel It.
23 Ada Apa Ini?
24 Sejarah Asal-Usul Tiga Bersaudara
25 Wisuda Kakak Tersayangku
26 Brithday Party My Sister
27 Definisi Rasa Kecewa
28 Putri Salju
29 Aku Berhenti
30 Mengendalikan Diri
31 Aku Memohon PadaMu, Tuhan-ku
32 Tidak Sendiri Lagi
33 Cantik Sekali
34 Curhat
35 Mengusik Rasa Sakit
36 Andai Saja Dia Lebih Peka
37 Impian yang Terwujud
38 Lelaki Dua Sisi Mata Uang
39 Mencintai dalam Kesendirian
40 Apa Ini Takdir?
41 Something Missing in My Heart
42 Mengakar Kuat
43 Karena Aku Bukan Pecundang
44 Tuan Muda Kecil
45 Ulangtahun
46 Mengungkapkan Perasaan
47 Xena-nya Pradipta
48 Si Ketua BEM
49 Ingin Ikut
50 Pertemuan Tidak Terduga
51 Superhero
52 Sepupu
53 Seperti Wanita Murahan
54 Life Must Go On
55 Pengumuman
56 Status Belaka
57 Jangan Berpikir Terlalu Jauh
58 Inilah Kesopananku
59 Kau Cemburu?
60 Diikuti
61 Senang atau Sedih?
62 Mood-ku Jadi Jelek
63 Kencan Pertama (Part 1)
64 Kencan Pertama (Part 2)
65 Kencan Pertama (Part 3)
66 Akhir dari Kencan Pertama (Part 1)
67 Akhir dari Kencan Pertama (Part 2)
68 Wanita Manipulatif
69 Nia-ku
70 Jangan Pergi Lagi!
71 Tetaplah Hidup
72 Memulainya dari Awal
Episodes

Updated 72 Episodes

1
Vania Kirana Larasati (Prolog)
2
Seorang Penindas
3
Provokasi Serena
4
Sanksi
5
Ke Ibukota
6
Terpesona
7
Bias Mata
8
Terantai Rasa Pilu
9
Dia
10
Ku Kira Kenapa
11
Sudut Pandang
12
Patah Hati Kedua Kalinya
13
Pemakaman Ibu (1)
14
Pemakaman Ibu (2)
15
Aku Si Tawon
16
Aku Menantangmu!
17
Empati Luar Biasa
18
Semakin Mengaguminya
19
Hari Baru
20
Di Luar Kendali
21
Trending
22
I Feel It.
23
Ada Apa Ini?
24
Sejarah Asal-Usul Tiga Bersaudara
25
Wisuda Kakak Tersayangku
26
Brithday Party My Sister
27
Definisi Rasa Kecewa
28
Putri Salju
29
Aku Berhenti
30
Mengendalikan Diri
31
Aku Memohon PadaMu, Tuhan-ku
32
Tidak Sendiri Lagi
33
Cantik Sekali
34
Curhat
35
Mengusik Rasa Sakit
36
Andai Saja Dia Lebih Peka
37
Impian yang Terwujud
38
Lelaki Dua Sisi Mata Uang
39
Mencintai dalam Kesendirian
40
Apa Ini Takdir?
41
Something Missing in My Heart
42
Mengakar Kuat
43
Karena Aku Bukan Pecundang
44
Tuan Muda Kecil
45
Ulangtahun
46
Mengungkapkan Perasaan
47
Xena-nya Pradipta
48
Si Ketua BEM
49
Ingin Ikut
50
Pertemuan Tidak Terduga
51
Superhero
52
Sepupu
53
Seperti Wanita Murahan
54
Life Must Go On
55
Pengumuman
56
Status Belaka
57
Jangan Berpikir Terlalu Jauh
58
Inilah Kesopananku
59
Kau Cemburu?
60
Diikuti
61
Senang atau Sedih?
62
Mood-ku Jadi Jelek
63
Kencan Pertama (Part 1)
64
Kencan Pertama (Part 2)
65
Kencan Pertama (Part 3)
66
Akhir dari Kencan Pertama (Part 1)
67
Akhir dari Kencan Pertama (Part 2)
68
Wanita Manipulatif
69
Nia-ku
70
Jangan Pergi Lagi!
71
Tetaplah Hidup
72
Memulainya dari Awal

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!