Kejadian itu sekitar setahun yang lalu ketika aku membela tim futsal SMA Pancasila di turnamen futsal SMA se-kota. Peluh keringat teman-temanku rasanya sia-sia ketika aku melakukan sebuah kesalahan. Pemain bernomor punggung 10 itu berhasil melewatiku dengan mudah, padahal bisa dibilang akulah defender terbaik, berkat itu pula aku dijadikan captain setelah seniorku lulus. Aku bisa menahan Maluku di lapangan, namun aku tidak bisa menahan cacian teman-teman ketika itu. Sudah biasa bagi kami jika mengatai teman yang berbuat salah. Hal itu kami jadikan sebagai motivasi.
Ia adalah Ken, pemain pindahan dari kota lain yang baru saja tampil perdana pada turnamen futsal ini. Tubuhnya jangkung, lebih tinggi dariku beberapa sentimeter. Dengan postur setinggi itu, aku kira awalnya ia adalah seorang defender. Para wanita selalu bersorak ketika ia berlari dengan rambut panjang yang bergerak-gerak melebihi telinga. Tampan, tentu saja aku kalah.
Sebagai tim unggulan, kami merasa sangat malu karena dikalahkan oleh sekolah yang tidak terlalu dipandang di bidang futsal. Sekali lagi, aku dikalahkan olehnya juga.
"Kenapa sih lo?" Beni terengah-engah di tepi lapangan. Kerutnya mengernyit akibat memikirkan kelasnya yang kalah. "Kok enggak fokus tadi?"
Satu gol dari lawan menyebatkan kami kalah. Itu merupakan kesalahanku.
"Sorry, gue udah lama enggak main futsal. Jadi, kaku gitu," balasku dengan nada kecewa.
Seorang temanku mendekat kepada tim lawan sembari membuka baju. Tangannya mengepal ketika melangkahkan kaki ke sana. Dengan sigap diriku langsung berdiri. Sudah kutebak ini akan terjadi sebuah perkelahian.
"Bangsat, lo bilang apa tadi ke gua?" tanya temanku pada mereka.
"Mandul. Lo striker mandul, bahkan di tim sekolah sekali pun. Memang gitu, kan?" jawab salah satu dari mereka.
"Bangsat!!!"
Sebuah tinjuan melayang tepat ke bawah mata. Lawannya langsung tersungkur ke bawah. Tanpa ampun, temanku itu terus memukulinya tanpa henti. Tidak tahan dengan kejijikan ini, sebuah tendangan melayang ke tubuh temanku yang sudah memukuli lawannya. Perhatian tertuju pada perkelahian itu. Suara teriakan anak perempuan menambah suasana semakin gaduh.
"Lo kalau kalah, yaudah kalah aja. Enggak usah pake mukul lawan segala!" ucapku sembari menahan tubuhnya.
Ia tidak menerima. Tangannya mendorongku. "Lo juga! Berkat lo tim kita kalah. Coba lo mainnya becus!"
"Lo kok ngatain gue? Kalau kalah, terima aja. Enggak usah pake nge-gas anak orang!" Aku menariknya untuk menjauh.
"Nyesal gue main sama lo! Kalau enggak bisa main, enggak usah minta main! Jujur aja, enggak diajarin jujur sama Emak-Bapak lo?!" balasnyaa.
Kalimatnya membuatku naik pitam. Meski seberapa bencinya aku kepada keluarga saat itu, jika sudah ada yang menginjak harga diri keluarga, tetap saja aku akan melawan. Apa lagi ketika semuanya berbalik dan menyatakan bahwa kedua orangtuaku sudah tiada.
Maafkan anakmu kali ini ... Rayhan kelahi lagi ....
Sebuah pukulan telah bersarang ke pelipis kanan teman sekelasku sendiri. Ia tersungkur dengan pelipis yang membiru. Cukup sekali saja untuk membalas kalimatnya tadi. Hal itu sudah membuatku puas.
Teman-teman satu timku mendekat untuk menjauhkan aku darinya. Mereka takut jika dibiarkan, aku akan terus memukulinya. Kerumunan terjadi di sekitar temanku yang tersungkur. Tatapan sinis silih berganti untuk menunjukka ketidaksukaan mereka terhadap sikapku itu.
Tiba-tiba ada yang terasa menjanggal tepat di dada. Sebuah hentakan perlahan terasa menjalar di sekitar dada kiri. Seiring berjalannya waktu, hentakan itu semakin kuat dan bertambah sakit. Aku tidak bisa bernapas karena betapa sakitnya hentakan itu. Semua ototku terasa menegang hingga ke urat nadi yang menarik sangat kuat. Hentakan itu semakin kuat hingga membuatku tersungkur. Aku terus memegangi dadaku yang teramat sangat sakit.
"Tolong!!!!"
Teriakanku tidak didengar oleh orang-orang di sekitar. Tidak ada satu pun yang melihatku yang sedang kesakitan, seakan tidak menyadari aku sedang tersungkur ke lantai. Bahkan, Vena sendiri hanya sibuk mengurusi teman yang kuhantam tadi. Seketika tanganku perlahan berubah menjadi transparan. Menjalar ke seluruh tubuh, hingga hanya menyisakan sedikit saja. Aku mencoba menyeret diri sendiri untuk menggapai seseorang. Namun ketika aku mencoba untuk menyentuh, tanganku tidak bisa melakukannya. Semuanya tembus entah mengapa.
Di antara semua orang yang mengabaikankanku, terselipkan sebuah tatapan yang tidak biasa. Mata itu sekilas tampak menyadari kegelisahaku atas rasa sakit yang teramat sangat.
"Tolong, Ken!!!" teriakku.
Seketika aku tersedot ke ruang hampa. Semuanya gelap tak bercahaya. Sebuah ruang yang hanya terdengar degup jantungku yang perhalan. Tidak lama kemudian bunyi alat detak jantung berdengung panjang dengan samar. Semua anomali ini semakin membuatku cemas. Aku mencoba untuk berlari, namun aku tidak menemui ujung.
Rayhan!!! Bertahanlah nak!!!
Anak kita bakal hidup terus!!!
Tolong Ibu dan Bapak keluar dulu, biar kami atasi.
Jantungnya melemah, Dok. Tidak ada harapan lagi.
Cepat atur alat kejut jantungnya!!!
Anak ini akan selamat!!!
Sekali lagi!!!
Hingga pada akhirnya aku kembali menengar denyut jantungku. Kesadaranku kembali ketika kericuhan yang terjadi di gedung olahraga. Aku tersentak ke dalam ruang nyata, tidak gelap dan sunyi. Aku tidak lagi tertatih menahan sakit, kakiku berdiri seperti biasa. Tubuhku tidak lagi transparan seperti yang kulihat tadi. Semuanya nyata seperti semula.
Entah kenapa aku langsung melirik pria jangkung bernomor punggung 11 itu. Kami sempat saling membalas tatapan, namun ia mengalihkan arah pandangan ke sosok perempuan yang sendiri di atas tribun penonton. Tidak ada ekspresi yang mereka keluarkan dalam tatapan. Memang, tidak ada salahnya ketika melihat seorang wanita yang hanya seorang diri, padahal semua orang sudah turun dari tribun. Namun, gerak kecil dari kepala Ken mengisyaratkan kepada Cleo untuk segera pergi. Cleo turut bergerak ketika Ken keluar dari arena pertandingan.
Ada sesuatu yang harus aku ketahui, mengenai kalimat Ken yang membuatku terbujur kaku, mengenai tatapannya yang sekilas kutangkap ketika aku mengerang kesakitan, serta hubungannya dengan wanita pendiam itu. Aku yakin sekali bahwa gerak kepala itu bukan tanpa disadari, namun ditujukan kepada Cleo.
Ketika semua orang tidak mengetahui aku mengerang kesakitan, hanya ia sendiri yang menyadari itu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 236 Episodes
Comments
widia
tuhkan dia koma karna kecelakaan itu, udah gw tebak dari awal hhh
2020-06-19
2
ifcantthebestsotheworst
hem, baiklah lanjut lanjut
2020-05-02
2