Malam nanti menjadi detik di mana aku untuk pertama kalinya pergi berdua dengan seorang wanita. Aku sudah memikirkan dari kemarin apa saja yang akan kupersiapkan. Tentu saja uang merupakan hal yang penting, namun aku belum tahu apakah kami akan bayar masing-masing atau aku benar-benar menjadi bandar hari ini. Bahkan aku sudah memikirkan hal apa yang kukatakan jika tidak ada lagi topik yang akan diperbincangkan.
Aku tidak menyangka Vena secara frontal mengajakku pergi untuk menonton film. Aku sebagai laki-laki yang seharusnya mengajak wanita, malah tidak terlalu berani untuk mengutarakan ajakan seperti itu. Selain itu, aku juga tidak punya pengalaman dalam hal mengajak wanita.
Hal mengejutkan terdengar olehku dari Rina yang tengah memegang secarik kertas. Dirinya berwajah lesu tidak bersemangat di atas meja makan. Ia menata kosong selembar kertas itu dengan jemarinya yang terselipkan sebuah pena bertinta hitam. Aku sempat bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Tidak perlu menunggu untuk jawabannya, Rina langsung mengajakku duduk dan berbicara.
Kami saling bertatap ketika aku duduk. Cukup lama dirinya menunggu untuk memulai percakapan. Bibirnya tampak pucat untuk digerakkan. Ekspresi Rina yang tampak serius membuatku sedikit canggung. Biasanya, kami duduk seperti ini setelah aku berbuat sebuah kesalahan. Namun, aku rasa aku tidak ada melakukannya akhir-akhir ini.
"Gue udah bulat untuk ngejual toko Ayah," ucapnya pelan ketika aku duduk
Aku menghela napas panjang. Sebenarnya aku benci jika membicarakan hal ini dengannya. "Apa memang enggak ada jalan lain selain ngejual toko Ayah?"
"Ray, Kakak enggak punya pilihan lain. Toko itu sudah pasti enggak bakal bertahan. Semenjak sebulan yang lalu gue masang iklan penjualan toko itu, baru kemarin gue dapat pembeli yang mau membeli dengan harga tinggi."
"Lo memang enggak punya hati, ya!" balasku.
"Rayhan ... lo kapan dewasanya, sih? Gue enggak peduli toko itu punya banyak kenangan bagi kita. Namun, hasil penjualannya bisa ngebayar semua hutang Ayah, sekaligus kita bisa biki bisnis café buat kelangsungan hidup kita," balas Rina dengan nada tinggi. Tangannya sempat menghentak meja.
"Gue yakin toko Ayah bisa berkembang, Rina." Aku berdiri sembari menenteng tas.
"Gue tahu itu, tapi kemungkinannya kecil. Hutang Ayah terlalu besar, sementara itu gue cuma bisa cari pinjaman, nutup hutang, begitu seterusnya. Lo enggak tahu perasaan seseorang yang menanggung beban hutang ratusan juta. Kadang kita harus melihat dari sudut pandang yang berbeda, Rayhan."
Air mata Rina mengalir deras berkat emosi yang ia tahan sedari tadi. Tangis yang pecah terdengar terisak-isak. Aku datang untuk memeluk erat Rina. Sudah lama aku tidak memeluknya seperti ini dan sangat jarang sekali. Ia yang lebih sering datang untuk memelukku ketika menangis di masa kecilku.
Kulitnya lembut seperti Ibuku. Sentuhan hangat tersebut membawaku jauh di masa-masa tangisku pecah akibat permasalahan yang kuperbuat sendiri. Kata maaf yang sulit kuucap kepada Ibu, menyeretku kepada air mata yang bergelinang. Aku seakan merasakan sedang berada di sisi Ibu saat ini.
"Maaf, gue bikin lo kaya gini, Rina." Aku mengusap air matanya. "Kalau itu jalan yang terbaik, gue rela toko Ayah yang dijual."
Ia melepaskan pelukannya. "Lo enggak perlu merasa bersalah. Ini amanat Ayah sama Ibu yang menitipkan elo ke gue."
Sebegitu bersihnya hati wanita ini. Ia rela melakukan apa saja demi kebahagiaanku sebagai adik dan satu-satunya anggota keluarga. Aku tahu beban yang ia tanggung begitu berat. Di umurnya yang masih muda, Rina sudah menanggung hutang Ayah yang ratusan juta. Namun, ia masih berusaha untuk berdiri tegak dan menunjukkan sebegitu tangguh dirinya. Baru kali ini aku merasa lebih mengenali Rina. Dahulu, sebelum dirinya meninggal, aku tidak terlalu banyak berbicara dengannya. Bahkan, ia terasa asing bagiku walaupun masih satu keluarga.
Jemariku menarik secarik kertas perjanjian yang sudah ditempeli materai. Pena yang tadi menjauh, kini kutempelkan ke telapak tangannya yang basah. Tatapannya tidak yakin akan keputusanku. Ia tahu, selama ini aku menolak dengan keras untuk menjual toko Ayah yang penuh kenangan itu. Namun, aku sadar. Semua ini merupakan untuk kebaikanku dan Rina rela menanggung segala beban untuk mendapatkannya.
"Tanda tangani sekarang," ucapku.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 236 Episodes
Comments
widia
pikir gue si di dunia nyata toko bukunya mau dijual benerab buat biaya RS ray karna koma itu, ehh gatausi cuma ngira aja hhha
2020-06-21
3