Am I Dead?
Sebagian orang menggap jika kebahagiaan itu ialah di tengah-tengah keluarga. Tawa bahagia di depan TV ketika makan malam menjadi hal-hal yang ditunggu. Belum lagi menunggu pagi di meja sarapan sembari membicarakan betapa lucunya tingkah adik sebelum tidur tadi malam. Tentu saja semua orang menginginkan momen-momen spesial yagg seperti itu, tidak terkecuali aku.
Suara berita pagi di televisi menjadi pengisi di sela kesunyian yang tercipta semenjak hiruk pikuk ibu di dapur. Sendok demi sendok menu sarapan hari ini kumulai untuk mempercepat melewati pagi yang alot. Tidak ada percakapan yang terjadi di meja sarapan. Ayah sudah pergi untuk bekerja, sementara itu adik lelakiku menyempatkan diri tidur sejenak dengan wajah menempel di atas meja. Ia habis dimarahi ibu karena terlambat bangun untuk pergi ke sekolahnya.
Jam berdenting menuju pukul setengah tujuh. Aku bersiap-siap pergi ke sekolah. Motor yang selalu kupakai sudah dipanaskan tiga puluh menit yang lalu. Tinggal memasang sepatu dan pergi dari rumah ini.
"Jam berapa kamu pulang tadi malam?" tanya Ibu dari dapur.
"Setengah dua," jawabku.
Ia mendecak. "Mau jadi apa kalau selalu pulang jam segitu? Kamu tiru kakakmu itu yang kelakuannya baik, bukan keluyuran jam segitu."
"Dia itu perempuan, Bu. Enggak pantas cewek keluar malam," balasku sembari memasang sepatu.
"Laki-laki maupun perempuan sama aja, enggak pantas masih keluyuran tengah malam. Seharusnya kamu belajar dari dia." Ia menghampiriku.
Aku diam saja, tidak menjawab. Tidak ada untungnya berdebat sepagi ini.
Setiap pagi yang kulalui selalu selalu alot. Tidak ada bahagia yang seperti orang-orang harapkan. Ibu selalu memarahiku dengan segala hal yang kulakukan. Setiap perkerjaan selalu dilimpahkan kepadaku. Kadang aku tidak mengerti, aku ingin seperti anak-anak lainnya yang memiliki kebebasan yang diberikan, melakukan apa saja untuk menikmati masa muda mereka.
Motorku berderu di jalanan kota untuk menyalip kendaraan lainnya. Ada untungnya berteman dengan orang-orang bengkel. Motorku selalu berada di performa terbaiknya dengan segala pengetahuanku dalam merawat motor. Aku mendapatkan itu dari pergaulanku tersebut. Sebenarnya, ada mobil terbengkalai di rumah yang selalu dipakai oleh kakak perempuanku, namun sekarang dipakai oleh ayah semenjak kakak tidak lagi memakai mobil itu.
Kadang aku iri dengannya, ia selalu dilebihkan dalam segala hal. Aku tidak akan pernah lebih darinya, Keluarga selalu memberikan fasilitas lebih yang tidak pernah aku dapatkan. Mobil, uang, sepatu, handphone, dan lain-lain, dan aku hanya memakai sisa-sisa dari yang tidak terpakai. Teman-temannya diizinkan untuk bermain di rumah, sementara itu teman-temanku tidak diperbolehkan dengan alasan rumah akan kotor oleh mereka. Kakak selalu diberi penghargaan setiap kali mendapatkan juara kelas, namun aku tidak pernah diapresiasi dengan segudang prestasiku dalam sepak bola dan bela diri.
Tidak adil rasanya meninggikan seseorang hanya dengan ukuran prestasi akademiknya. Aku juga punya kelebihanku yang tidak kalah unggul. Kejuaraan karate tingkat Provinsi pernah kugenggam. Posisi utama di tim sepak bola SMA Pancasila pernah kurasakan ketika turun di kejuaraan tingkat nasioal. Semua itu hal yang sia-sia ketika keluarga hanya menganggapnya sekadar hal yang menganggu kegiatan belajarku.
Aku tidak membenci kakakku. Aku hanya membenci yang memberikan, yaitu keluarga.
Wajah teman-temanku menatap sedih ketika menyadari jika hari ini merupakan hari terakhirku di sekolah. Benar, aku akan pindah rumah dan Ibu memindahkanku ke sekolah yang lebih dekat. Masih satu kota, namun Ibu melarangku untuk tetap bertahan di sekolahku sekarang. Selain jarak yang jauh dengan rumah baru, ia memiliki maksud untuk menjauhkanku dengan segala pengaruh yang ia anggap akan terus membuatku menjadi nakal.
"Jangan sedih seperti itu. Gue masih di kota ini." Aku menyambut pelukan salah satu teman. "Jangan peluk gue."
"Siapa lagi yang traktir kami kalau bukan lo," jawabnya.
"Setelah gue pergi kemah, kalian bakal gue traktir. Gue janji!" balasku.
Sekolah mendaftarkanku untuk menjadi salah satu peserta kemah. Belasan murid dikirim untuk mewakili sekolah dalam program cinta lingkungan yang diadakan oleh Dinas Pendidikan setempat. Seluruh SMA di kota akan turut berpartisipasi dalam acara tersebut. Aku menyambut berita itu dengan bahagia. Selain akan pergi berkemah, mendapatkan teman-teman baru sangat menyenangkan. Untuk sementara, aku bisa melupakan suasana keluargaku yang begitu kaku.
"Rayhan, lo tahu enggak kalau teman kita ada yang kena hantam?" kata temanku sembari mengerjakan soal sejarah yang diberikan.
Kepalaku tetap menunduk untuk menjaga guru tidak datang ke meja. Suaraku pelan ketika berbicara kepada Rahmat.
"Siapa?" tanyaku.
"Zaki yang kulitnya keling itu." Ia melihat guru sesaat. "Lo mau bantu? Kita mau serang tuh anak ntar sore."
Aku menggeleng. "Bukannya enggak mau, sih. Gue mau ngindar dari masalah karena mau pindahan sekolah. Lagian, nanti sore gue mau ke sekolah baru. Kepala sekolahnya mau ketemu gue."
"Ya, gitu amat sama kawan. Kapan lagi lo gelud untuk terakhir kalinya buat kami?" Ia tertawa pelan.
"Mat, gue enggak bisa. Udah ada jadwal." Tanganku kembali menyentuh buku tulis untuk menjawab soal sejarah objektif.
Sepulang sekolah, aku lihat teman-teman sudah berkumpul di parkiran untuk bersiap-siap menyerang orang yang mereka cari. Langkahku dipercepat karena tidak enak karena telah menolak ajakan itu. Biasanya, aku selalu ikut. Aku belum tahu siapa pastinya target mereka. Namun, aku sudah pasti yakin kalau bukan dari sekolah kami.
Aku tiba di SMA Negeri Handayani. Baru kali ini aku menginjakkan kaki ke sekolah negeri. Semua berpakaian rapi dengan baju yang dimasukkan ke dalam celana. Tidak ada sepatu berwarna, semuanya hitam. Tidak kulihat satu pun murid yang memakai kaus kaki pendek. Suasana yang jarang kulihat di sekolah yang milik swasta, di mana para murid lebih memiliki sedikit keleluasaan.
"Katanya kamu punya prestasi di karate dan sepak bola, ya?" tanya Kepala Sekolah di ruangannya.
Aku duduk dengan sedikit gugup. Tanganku tidak lepas menggenggam tali tas.
"Benar, Bu. Saya pernah ikut di kejuaraan Provinsi," balasku sembari mengeluarkan semua sertifikat kejuaraan.
Ia melihat lembar demi lembar sertifikat yang kuberi. Kepalanya sedikit mengangguk karena kamu. Kemudian, ia tersenyum.
"Baik, kamu anak yang berprestasi. Saya rasa orangtua kamu patut berbangga atas ini. Tapi, sepertinya kamu tidak bisa ikut kejuaraan lagi karena sudah kelas dua belas. Kamu harus fokus ujian akhir."
Tidak ada ekspresi yang kuperlihatkan. Hatiku miris mendengarkan kalimatnya. Orangtuaku sama sekali tidak pernah menghargai prestasiku.
"Saya mengerti, Bu. Seminggu lagi saya sudah masuk, soalnya saya masih jadi utusan kegiatan kemah." Senyumku sedikit pahit.
Alisnya naik. Kalimatku menarik perhatiannya. "Oh, kamu dari SMA Pancasila, ya? Sekolah kita bakal satu bus nanti."
"Wah, saya senang mendengarnya, Bu. Saya bisa sedikit menambah teman dengan SMA baru saya," jawabku.
Aku menyalaminya setelah mendapatkan izin untuk pulang. Aku tidak ingin langsung pergi. Sekolah ini cukup menarik untuk diteluri. Aku tidak peduli jika aku akan menjadi objek perhatian karena memakai seragam dari sekolah lain.
Seketika terdegar keributan dari salah satu gedung tertinggi di SMA. Seluruh murid berkumpul di lapangan sembari melihat ke atas loteng. Seseorang tengah berdiri tegak di puncak gedung berlantai empat itu sembari bertelanjang dada. Para murid panik dengan teriakan memanggil sepenggal nama.
"Turun goblok!" teriak seseorang di depanku. "Woi, mau mati lo?"
Guru-guru mulai menyadari apa yang sedang dilakukan dengan murid gempal berkacamata dia atas atap genting sekolah tersebut. Ada yang menangis seketika karena melihat anak muridnya tengah mencari ajalnya sendiri.
"Tolong!!!" para guru berteriak pada murid yang lain. "Tolong jemput dia!!!"
Tidak ada yang menghiraukan teriakan guru-guru tersebut. Tanpa kurencakanan, langkahku langsung berlari menuju lantai empat gedung tersebut. Orang-orang di sini terlalu bodoh untuk menunggu orang mati. Tidak ada satu pun yang bergerak.
Kudapati sebuah tangga kayu tegak menuju langit-langit yang telah dibobol. Cowok bodoh itu pasti naik melalui ini. Benar saja, setelah aku naik ke langit-langit atap, sebuah lobang besar terlihat dari genting-genting yang dilepaskan satu per satu. Aku dengan mudah memanjatnya karena tidak terlalu tinggi.
Kedatanganku disadari oleh cowok gempal berkacamata itu. Ia mundur beberapa langkah ketika aku mendekat.
"Woi, bangsat! Bunuh diri jangan di sekolah!" teriakku sembari melangkah dengan hati-hati.
Teriakan murid dari bawah semakin kuat kudengar. Histeris kepanikan terasa akibat kehadiranku.
"Gue mau mati aja! semua orang enggak pernah ngehargain gue!" teriaknya.
"Jangan! Cuma orang bodoh yang mati gara-gara putus asa!" Aku semakin mendekat dengannya. "Gue sama kaya lo. Keluarga gue enggak pernah ngehargain gue. Tapi, gue tetap tegar!"
Beberapa genting jatuh ke bawah akibat langkahnya. Ia sesekali mundur dengan tidak seimbang.
"Berhenti─"
Aku tidak mendengar kalimatnya lagi. Genteng ambruk berantakan. Ia terjatuh ke dalam toilet dengan keadaan terduduk di closet.
"Mampus lo!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 236 Episodes
Comments
Raysonic™
ya
2023-03-14
0
Raysonic™
yuk
2023-03-13
0
Banana Cointreau
hmm menarik ceritanya.. semangat...
2023-03-02
0