Vena, sebuah nama yang menyisakan segudang misteri yang harus cepat aku ketahui. Hubungan kami tidak bisa dianggap remeh, ada masa lalu yang pernah terjadi di dunia aneh ini. Kedekatan yang pernah ia ceritakan mengenai kami yang dulu sering pulang berdua, mengenai segala sesuatu yang ia ketahui tentang aku, serta hubunganku dengan Cleo sebelumnya.
Aku turut menjadi salah satu orang yang mem-bully Cleo sebelumnya, itu menurutnya. Tidak hanya Vena yang mengatakan itu, Beni juga pernah memberitahukan itu kepadaku. Sungguh, aku saja tidak pernah bertemu dengan Cleo, bagaimana bisa aku mem-bully wanita rapuh itu. Dunia ini sungguh kejam, ia telah menulis kisahku untuk aku bereskan.
Kelasku riuh akibat tantangan bermain futsal oleh kelas lain. Sontak aku langsung tertarik dengan pembicaraan mereka, mengingat futsal ialah salah satu keahlianku dahulu. Beni berkoar-koar di depan kelas untuk mencari pemain. Meli dan kawan-kawanya mulai mempersiapkan yel-yel untuk disorakkan nantinya. Meli dan kawan-kawannya─kecuali Vena─memang termasuk anggota cheers di sekolah. Tentu saja mereka akan bersemangat dengan hal ini.
Sudah menjadi budaya di sekolahku saat ini untuk mengajak bertanding futsal kelas lain. Seluruh anggota kelas akan ikut ke lapangan untuk memberikan semangat. Bukan soal kalah menang, namun soal harga diri. Sekuat apa pun lawan yang menantang, apabila menolak, itu merupakan hal yang sangat memalukan di sini.
Aku sudah memperhatikan hal ini sejak lama dan aku senang jika ada kelas lain yang ingin mengajak kami bertanding. Aku bisa menguji keahlianku yang sudah lama tidak ditunjukkan.
"Gue main," ucapku sembari mengangkat tangan.
"Oke, lo bisa main jadi bek," balas Beni.
Beni menggambarkan formasi yang akan kami mainkan di papan tulis. Enam orang, termasuk di dalamnya satu cadangan sudah di dalamnya. Satu orang pemain depan, dua orang pemain tengah, serta aku sendiri yang menjaga pertahanan. Aku akui, Beni cukup handal merancang strategi. Pemain sayap yang kami pakai cukup mumpuni, sehingga cocok dengan dua orang pemain tengah. Sedangkan bagian pertahanan, aku sendiri sudah cukup berpengalaman.
"Bodoh ...." Tiba-tiba Cleo bersuara.
"Apa lo bilang?" tanyaku padanya. Tidak biasanya Cleo memulai pembicaraan.
"Untuk apa bertanding kalau ujung-ujungnya cuma buat ngerendahin kelas lain. Sekolah ini bodoh," balasnya.
"Maksud lo?" tanyaku lagi.
"Ini cuma ajang mencari lawan. Lo liat aja sendiri akhirnya nanti gimana."
"Setidaknya lo harus ngedukung kelas kita biar menang," balasku.
Ia tertawa kecil. Baru pertama kali aku melihat tawannya, walaupun sedikit menyeringai. "Untuk apa? Untuk apa mendukung orang yang selama ini ngejatuhin gue?"
Tidak lama kemudian, ia berdiri meninggalkan kami yang sedang berdiskusi mengenai pertandingan nanti.
Beni sudah selesai menunjukkan strategi yang akan dimainkan. Seluruh anggota kelas berangkat menuju gedung olahraga. Tampak juga kelas IPS yang akan menjadi lawan kami, tengah membawa supporter-nya. Wajah-wajah sangar khas anak IPS mereka tunjukkan ketika kami saling bertemu. Ada salah satu dari mereka yang membuatku tertarik. Seseorang berkulit gelap dengan rambut yang lurus. Ia lebih menonjol dari yang lain berkat tubuhnya yang jangkung.
Ia berbalik manatapku. Tatapannya bagai mengembalikanku pada masa-masa itu. ketika kejayaan dan kepepopuleran melekat padaku. Aku berusaha mengembalikan ingatanku, tepat di suatu masa ketika aku pernah melihat tatapan sayu itu. Aku pernah bertemu dengannya, namun sangat sulit mengingat tempatnya secara spesifik.
Tribun gedung olahraga terbagi atas dua kubu. Bagian timur berisikan warga kelasku, sedangkan bagian barat berisikan warga kelas IPS yang menjadi lawan kami. Cukup ramai, riuhnya gedung olahraga juga turut mengundang perhatian orang-orang dari kantin. Sudah lama sekali aku tidak merasakan suasana seramai ini. Setidaknya setahun yang lalu semenjak aku turun di final turnamen futsal antar SMA.
Cleo tidak kunjung kulihat. Padahal, sedari tadi mataku bergerak ke sana-ke mari untuk mencari batang hidungnya. Anak itu sangat sulit sekali ditemukan. Ditambah lagi ia cenderung menghindar dari keramaian.
"Rayhan!!! Harus menang!!!" teriak Vena dari atas sana.
Aku tersenyum akibat teriakan kecilnya yang menyebutkan namaku. Senang sekali jika diberi semangat, apalagi dari seorang wanita cantik sepertinya.
Jempolku mengarah padanya. Aku lebarkan bibirku. "Tenang aja, nanti gue main brutal."
Semua pemain berkumpul di lapangan basket yang sekaligus bisa dijadikan sebagai lapangan futsal. Tanpa kostum futsal, kami hanya mengenakan kaos dalaman yang dipakai sebelumnya. Beberapa pemain juga ada yang bertelanjang dada. Tidak peduli jika banyak yang melihat, yang terpenting ialah membela kelas untuk memenangkan pertandingan ini.
Aku fokus kepada pria yang tadi menatapku. Kostum futsalnya tidak asing lagi bagiku. Memang itu merupakan jersey kebanggaan SMA Negeri Handayani, bahkan ketika di dunia asli. Sekali aku pernah melawan SMA Negeri Handayani tatkala aku masih bersekolah di SMA Pancasila.
Nomor punggung itu ....
Ingatanku kembali kepada final turnamen futsal se-kota yang pernah kualami. Ketika itu sekolahku sudah gagal di fase group dan kami hanya bisa melihat final tanpa bisa merasakannya. SMA Negeri Handayani pula yang telah memupuskan harapan kami untuk lolos dari fase group. Nomor punggung 13 itu mengingatkanku kepada seseorang. Pria yang menjadi kambing hitam ketika melakukan handsball di kotak pinalti yang merupakan ujung dari kekalahan mereka di final turnamen futsal. Cacian dan makian supporter langsung ditujukan kepadanya. Tidak ada kesempatan baginya untuk bermain, kekesalan pelatih langsung mendepak dirinya untuk digantikan dengan pemain lain.
"Lo harus hati-hati sama Kenji," ucap Beni.
Aku menangguk. Ia benar, Kenji merupakan pemain utama SMA Negeri Handayani. Penyabet gelar Top Scorer pada turnamen futsal SMA se-kota sebelumnya, meskipun ia juga yang menjadi penyebab kekalahan. Aku ingat sekali dengan pria itu. Tidak salah lagi, ia adalah Ken yang pernah kulihat sebelumnya.
Peluit dibunyikan. Penyerang dari kelas kami langsung melakukan press terhadap penguasaan bola tim lawan. Beni tetap ditengah dan membiarkan penyerag melakukan tugasnya. Tidak butuh lama, bola dapat kami dapatkan dan langsung diberikan kepada Beni sebagai pengatur serangan. Tidak kupercaya, ia memiliki skill yang cukup mumpuni sebagai pengatur serangan. Operan panjangnya selalu mulus berjalan menuju tujuan.
Mataku tidak lepas dari pergerakan Ken gesit. Walaupn bola masih kami kuasai, ia tetap bergerak untuk mencari posisi apabila counter attack berhasil dilancarkan. Pengalaman berbicara, aku selalu menandai pemain depan yang diwaspadai. Tidak akan kubiarkan ia menyentuh bola sedikit pun. Pergerakanku selalu ada dibelakangnya untuk melakukan blocking apabila ada passing yang diberikan kepadanya.
"Akhirnya kita bertemu lagi," ucapnya pelan.
Otot kakiku langsung tidak berfungsi. Kalimatnya menghentak diriku yang ingin melakukan blocking bola. Passing yang indah berhasil ia tangkap dan melewatiku dengan mudah. Shooting yang keras tidak bisa dihadang oleh penjaga gawan timku. Sorak gembira supporter lawan menggema. Gemuruh bass yang ditepuk semakin kencang berbunyi. Ken berhasil menyetak gol. Sama seperti dahulu, ketika ia melewatiku hingga berujung tidak lolosnya SMA Pancasila dari fase group turnamen futsal SM se-kota.
Bertemu lagi?
Ada sesuatu yang tidak aku mengerti.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 236 Episodes
Comments
Irfan hawary
Wah. Wah nambah capter bukannya Bukannya makin jelas. malah makin banyak pertanyaan nih
2020-05-09
1
Quinn Cahyatishine
belum bisa ngerti alur ceritanya tapi , penasaran
2020-05-08
3
Asri Handaya
aku pun ...masih bingung....tapi menarik
2020-05-07
2