Hari yang tidak bisa kuduga karena telah menggagalkan aksi bodoh seseorang. Dari pengakuan murid SMA Negeri Handayani, lelaki gendut berkacamata itu merupakan korban bullying sesama murid di SMA tersebut. Aku paham bagaimana perasaan ketika tidak dihargai, namun aku tidak pernah paham rasa di-bully oleh orang lain.
Malam menjemputku untuk menikmati bulan di balik jendela kamar. Ibu sedari tadi mengomeli diriku pulang terlalu sore. Sengaja aku tidak duduk di meja makan untuk menghindari Ibu yang akan mengungkit masalah-masalah lainnya.
Handphone-ku berbunyi. Terdapat wajah serta nama Rahmat yang tengah menghubungi.
"Tolong!" ucapnya dari balik handphone. "Gue habis dipukulin."
Darahku langsung naik. "Di mana?"
"Depan rumah lo."
Dari balik jendela, terlihat Rahmat sendirian menunggu di depan rumah. Aku langsung membuka pintu dan menghampirinya.
"Siapa yang mukulin lo?" Jemariku menyentuh wajahnya yang lebam.
"Kami tadi abis balasin dendam Zaki yang udah kena hantam sama mereka. Waktu gue pergi ke swalayan, ternyata mereka lagi nongkrong di sana. Gue kena hantam ditempat." Nadanya terdengar rendah. Mulutnya tidak terlalu ingin bergerak karena luka di pelipis.
"Antar gue ke sana sekarang!"
Aku dan Rahmat bergegas menuju ke swalayan yang Rahmat maksud. Tampak segerombol remaja seumuranku yang tengah bermain domino sembari merokok di meja swalayan. Kupinta Rahmat untuk berhenti di jalan, sementara itu aku menghampiri empat orang yang tengah duduk di sana.
Jemariku menarik rokok yang tengah diisap salah satu dari mereka. "Gue dengar lo habis mukulin teman gue rame-rame?"
"Lo siapa?" tanya temannya.
"Gue Rayhan. "
Tanganku langsung melesat ke wajah mereka satu per satu. Meja kuhantam hingga batu domino berserakan. Beberapa kali mereka mencoba menangkapku, namun aku sudah terlatih di karate untuk menghindarinya. Pukulanku telak mengenai mereka. Beberapa kali mereka kubanting. Tidak aku beri ampun walaupun sedetik.
Tangaku berhasil ditahan hingga aku tidak bisa bergerak. Kulihat dengan jelas kepalan tangannya dengan cepat melesat ke wajahku. Pukulan itu tepat mengenai pelipis kanan. Pukulan selanjutnya mengenai hidungku. Tetesan darah mulai kurasakan membasahi bibir ketika mengalir dari hidung.
Rahmat datang dengan waktu yang tepat. Cengkraman mereka pada tubuhku berhasil dilepas. Kesempatan terbaikku tiba ketika mereka sedikit berjarak satu sama lain. Dengan leluasa tanganku menggapai mereka satu per satu tanpa bisa tertahan.
Aku berhasil membuat mereka kabur terbirit-birit. Mereka belum tahu siapa pemegang sekolahku yang sebenarnya.
"Hidung lo berdarah," ucap Rahmat.
"Jangan pedulikan. Ini pertolongan terakhir gue. Gue bakal pergi sebentar lagi," jawabku.
"Thanks."
Tidak sempat aku melihat wajah hingga pagi menjelang. Subuh hari aku sudah begegas mandi untuk bersiap-siap pergi ke sekolah. Terlihat luka lebam bekas berkelahi tadi malam bersarang di pelipis kananku. Mimisan yang sempat menitik sudah menjadi kerak karena tidak sempat aku bersihkan. Tadi malam aku langsung ke kamar karena tidak ingin ditanyai oleh Ayah dan Ibu.
Tas yang kusandang terasa berat karena berisi pakaian dan perlengkapan selama berkemah. Ketika turun ke ruang keluarga, terlihat Ibu yang sudah sibuk di dapur sendirian. Sementara itu, Ayahku memanaskan mobil untuk mengantarkanku ke sekolah. Mereka berdua belum tahu aku pergi ke mana tadi malam. Aku hanya meminta izin sebentar untuk pergi bersama Rahmat.
"Nasi goreng kamu udah─" Ibu melihatku dengan tajam karena menyadari luka lebamku. "Astaga, kamu kenapa?"
"Jatuh tadi malam pakai motor sama Rahmat,' jawabku singkat sembari menyendok nasi goreng.
"Enggak mungkin jatuh dari motor bisa lebam begini. Setidaknya kamu punya luka lecet." Ibu mengangguk. "Ibu tahu, kamu habis kelahi, kan? Di mana? Sudah Ibu bilang─"
Kalimatnya aku hentikan. Aku bosan mendengar kalimat ini berulang-ulang.
"Udahlah, Bu. Rayhan capek dimarahi terus." Jemariku melepas sendok yang kupegang. "Iya, Rayhan kelahi karena Rahmat habis dipukulin sama anak komplek sebelah. Rayhan harus nolongin dia."
"Udah Ibu bilang berkali-kali, jangan berkelahi. Jangan bergaul di bengkel. Jangan main sama anak nakal. Kamu dapat pengaruh buruknya. Teman-teman kamu itu enggak ada yang beres. Rahmat? Dia itu kurang perhatian sama orangtuanya. Makanya dia nakal begitu."
Meja kuhentak. Ibu terdiam sesaat.
"Jangan mengatai teman-teman Rayhan. Mereka orang-orang baik. Mereka selalu ngehargain Rayhan. Yang jahat itu Ibu!" teriakku.
Ayah mendengar teriakanku dari garasi.
"Rayhan! Jangan teriak di depan ibumu!" balas ayahku. Jemarinya menunjuk dengan tegas.
Aku tidak gentar. Sudah menjadi makanan harian beradu mulut di meja makan ini.
"Ini gara-gara kamu latihan karate terus-terusan. Makanya kamu kelahi aja kerjaaannya! Besok, kamu Ibu larang latihan lagi!" balas Ibuku.
Aku menggeleng. "Kenapa? Kenapa Ibu dan Ayah enggak pernah ngehargain Rayhan. Rayhan punya banyak medali karate, namun Ibu dan Ayah cuma nganggap medali itu sebagai logam kosong yang enggak ada harganya."
"Bukan kami enggak menghargai, ini demi kebaikan kamu. Kamu terlalu sibuk dengan hal yang seperti itu. Nilai kamu anjlok karena latihan-latihan terus."
"CUKUP!" Aku berdiri dari kursi. Segera kulangkahi kakiku untuk pergi dari rumah.
"Kamu tiru kakak kamu yang baik itu. Nilainya selalu baik. Selalu menang olimpiade, bukan menang nendang-nendang orang!" teriak ibuku lagi.
Aku berhenti dari langkahku. Sudah lama ingin aku mengatakan ini. Hal tersebut selalu terpendam hingga aku lupa untuk mengucapkannya. Pikiran bawah sadarku berusaha mungkin untuk menyembunyikannya agar tidak keluar demi menghargai orangtuaku. Namun, kesabaranku sudah di ambang puncak. Aku tidak ingin lagi disbanding-bandingkan dengan kakak.
"Kakak itu udah meninggal! Udah mati setahun yang lalu. Rayhan akui kakak yang lebih unggul dari Rayhan. Tapi, Rayhan enggak mau dibanding-bandingkan dengan dia yang udah meninggal!"
Ayah datang menghampiriku dengan cepat. Tangannya melesat untuk menamparku. Bunyi tamparan begitu kuat hingga telingaku berdengung. Saking kuatnya, Adikku sampai terbangun dan melihat dari lantai atas. Aku menangis dan masih berusaha untuk menahan agar tidak mengalir deras.
"Aku enggak butuh keluarga seperti kalian!!!"
Kulangkahkan kaki untuk pergi dari rumah. Setidaknya seminggu lagi aku tidak merasakan suasana seperti ini. Ketika aku pulang, aku tidak ingin tinggal di sini. Aku ingin ke rumah Paman yang selalu mendengar ceritaku. Cukup sudah derita hati yang kutanggung untuk menunggu penghargaan dari mereka.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 236 Episodes
Comments
ayyona
mak ngomong, ga usah balik kalo besok msh bolos, aku dah ciyut 😅
anak cowok mah beda ya
2021-04-02
0
𝓘'𝓶 𝓰𝓲𝓻𝓵.
suka sama alur cerita nya bagus dan menarik untuk dibaca
2021-02-20
2
Ran_kudo
😢😢😢😢😢
gak enak banget dibanding2in..
gak dihargai..
Rayhan cuma mnta di mengerti dan didukung..
sabar ya Ray..🥺🥺
2021-01-05
1