Memang aku anak nakal dulunya. Temanku hanya sedikit yang beres, lebih dari itu merupakan preman yang masih sempat tersekolahkan oleh orangtuanya. Pijakan awal yang salah. Hatiku memberontak untuk menemukan orang-orang yang bisa memberontak, hingga aku menemukan teman-teman yang selalu melawan sombongnya dunia. Orang baik terlalu lemah untuk melawannya, Mereka terlalu rela untuk ikut dalam arus takdir yang sudah ditentukan.
Aku membenci keluargaku yang tidak pernah memandangku sebagai anak sendiri. Terlalu tinggi akan ekspetasi yang subjektif. Aku tidak diberikan kesempatan untuk mendapatkan inspirasi dan memberikan inspirasi. Hatiku menolak untuk menjadi orang yang seperi mereka inginkan. Terlalu bodoh untuk diikuti karena aku tahu pada dasarnya setiap orang itu berbeda, Perbedaan itu yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang unik.
Aku bukan binatang yang bisa kautuntun ke kandang!
Kembali teringat kalimat yang penah kukatakan kepada Ayah, tepat sebulan setelah meninggalnya Rina. Ia memintaku untuk berhenti dengan semua prestasi yang kuraih.
Betapa menyesalnya aku mengatakan kalimat itu kepada Ayah. Sungguh dosa yang harus kutanggung sekarang.
Jemariku tersentak ketika menggulung perban pada tangan Cleo. Cleo hanya diam tidak berbicara. Matanya fokus pada tanganku yang sedang menggulung perban. Sesekali matanya tertuju padaku untuk beberapa detik dan kembali lagi menuju ke perban. Aku tidak tahu harus berbicara apa. Aku ingin sekali menasihatinya untuk tidak mengikuti perkataan orang-orang, namun kuyakin bahwa yang kulakukan semakin membuka luka yang ia rasakan.
"Besok kalau jalan hati-hati," ucapku sembari menepuk tangannya. Perban sudah selesai kukenakan.
Ia tidak menjawab. Ia hanya menatapku.
"Oke, sepertinya lo enggak suka sebuah pembicaraaan. Tapi, lo harus belajar berterima kasih," ucapku lagi.
Tidak tahu kenapa, ia terlihat seram jika terus-terusan menatapku dengan mata lemah seperti itu . Sepatah kata pun tidak keluar darinya. Tanpa basa-basi, ia berdiri dan memasang sepatu. Sementara itu, aku kembali meletakkan alat pembersih luka yang kupakai.
"Lo mirip seseorang," ucapnya di ujung pintu.
Jemariku berhenti di gagang lemari. Senyumku melebar sesaat mendengarkannyaa menyebutkan sebuah kalimat. Ternyata, ia masih bisa berbicara.
"Banyak yang bilang begitu," balasku sembari menunjuknya.
Wajahya tetap datar walaupun aku telah tersenyum. Aku berharap ia bisa mengikuti alur bibirku yang melebar dan melihat betapa manisnya jika seseorang yang bersedih beralih kepada sebuah senyum.
"Jangan pernah tolong gue." Ia pergi begitu saja.
"Cleo!!!" panggilku. Ia sudah belasan meter berjalan, namun ia mengabaikan panggilanku.
Tidak ada satu pun yang berani mengkuti langkahnya. Semua menghindar tidak suka ketika Cleo melintas. Cibiran demi cibiran yang tertuju padanya kembali kudengar. Bisikan yang diiringi tawa yang sinis kembali membuat Cleo terunduk. Kali ini untuk sekian kalinya aku turut merasakan apa yang ia rasakan.
Tidak ada rasa aman yang ia dapatkan selama aku berada di tempat ini. Hari yang ia lalui penuh luka dan duka. Tidak ada celah yang diberikan untuk ia bernapas sejenak, menikmati betapa indahnya dunia jika ia membukanya dengan kedua bola mata. Aku tidak memungkiri betapa suramnya hidupku ketika semua harapan-harapan selalu dikubur dalam-dalam atas nama keluarga. Namun, senyumku selalu bermekaran ketika namaku disanjung berkat semua kerja kerasku.
Masih segar dalam ingatan ketika tangisku pecah akibat berkelahi dengan tetangga untuk memperebutkan sebuah wahana bermain di taman yang tidak jauh dari rumah. Aku sendiri melawan sekelompok anak yang tidak memberikanku ruang untuk bermain di seluncuran bertingkat dua. Jumlah mereka lebih dari cukup, namun anak-anak egois itu tidak mau memberikanku kesempatan. Tangisku pecah ketika mereka mengusirku untuk pergi. Aku pulang dengan wajah tertunduk dan mata yang sembab oleh tangis. Lemah tanganku berlari merengkuh Ibu yang tengah duduk. Belaian manjanya menjalar dari belakag kepala dan diusap pelan oleh tangan hangatnya.
Ketika aku terpuruk, selalu ada Ibu yang datang untuk menghiburku. Ayah yang kasihan membawaku bermain kembali ketika anak-anak itu sudah pulang ke rumah masing-masing. Ia mengangkat badanku bagaikan sebuah pesawat. Tanganku melebar sebagai sayap yang diterpa pelan oleh udara. Tawaku riang berkat Ayah.
Namun, semua itu berubah ketika aku mulai beranjak dewasa. Langkahku sudah dalam jalur yang kutentukan sendiri. Ayah dan Ibu tidak menginginkan itu sama sekali. Ia lebih memilih aku untuk menjadi orang yang bisa melakukan apa saja yang mereka mau. Mereka menginginkan aku untuk menjadi seperti Kakak yang merupakan orang yang patuh, pintar, dan tidak melawan. Hatiku bertolak belakang dengan ideologi bahwasanya setiap orang itu unik, tidak ada yang sama. Semua tawa riang dan rengkuh peluk ketika aku pilu, kubalas dengan tatap benci dan kalimat-kalimat frontal yang mengiris hati kecil mereka. Aku salah dan sangat berdosa. Hingga, aku ditakdirkan untuk sama sekali tidak memiliki mereka lagi.
Aku tertegun ketika hiruk pikuk kendaraan para murid yang mulai bergegas pulang. Wangi khas senja menjalar hingga merasuki aliran darahku. Indah dengan kilauan kemuning yang kembali mengingatkanku kepada Ayah dan Ibu yang acap kali bersantai di teras rumah. Aku rindu aroma kopi yang mereka seduh, bukan kepulan asap kendaraan yang sedang kuhirup. Motor yang kuparkirkan tepat berada di sebuah pohon ketapang yang rimbun. Langkahku pela berjalan sembari menatapi nasib bahwa tidak ada lagi keluargaku yang menyambut ketika pulang nanti.
Seorang wanita menatapku dari jauh. Ia mendekat, namun aku pura-pura tidak tahu. Ia merupakan teman sekelasku yang sedikit pendiam. Sering kali kuperhatikan ia membaca buku-buku sendirian di belakang kelas sembari terbungkuk bersama kacamatanya yang lebar. Namun, aku juga sering melihatnya bersama rombongan Meli. Kurasa mereka berteman dekat.
"Boleh gue nebeng?" Vena menatapku lurus.
Mataku bergerak menuju sepenggal nama yang tertulis di dadanya. Aku ingin memastikan jika aku tidak salah nama.
"Tumben," balasku singat.
"Bukannya lo dulu sering nebengin gue pulang karena rumah kita searah?" ucapnya lagi.
Dunia ini telah merancang sebuah skenario yang telah terjadi sebelumnya. Aku tidak tahu itu,. Bahkan, aku tidak tahu jika aku─diriku yang hidup di dunia ini sebelumnya─sering memboncengi wanita berkacamata lebar ini.
"Oh, ya? Oke, lo boleh nebeng," pungkasku.
Vena tidak menunjukkan letak rumahnya. Aku terus membawa motor di jalan yang selalu aku tempuh ketika pulang. Sudah sekitar sepuluh menit kami di jalan, ia tidak kunjung memintaku berhenti. Ia juga tidak protes, pertanda jika jika jalan yang kulalui ini benar. Karena ia berkata jika rumahnya searah denganku, maka otomatis ia akan menunjukkan letak rumahnya nantu.
Tiba-tiba ia menepuk pundakku.
"Rumah gue kelewatan." Ia menunjuk sebuah rumah tingat dua dengan arsitektur yang elegan. "Itu dia. Masa' lo lupa?"
Aku pura-pura menepuk jidat. "Oh, iya ... gue tadi melamun."
Ia turun dari motor sembari merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.
"Lo sama Cleo ada hubungan apa?" tanya Vena.
"Enggak ada. Emang ada apa?" tanyaku balik.
Bahunya terangkat. "Entahlah ... sepertinya lo akhir-akhir care banget sama dia."
Aku tersenyum kecil. "Bukannya dia teman sekelas kita? Enggak masalah gue care sama dia."
"Ini lo, kan?" tanya Vena. "Kalimat yang barusan lo ucapkan kedengaran kaya bukan lo."
Kalimatnya menjebakku. Tidak mungkin aku jujur bahwasanya aku bukanlah dari dunia ini. Aku hanya terdampar tiba-tiba setelah kecelakaan itu.
"Ini gue. Lo aneh," balasku.
Ia menggeleng. "Bukan, lo yang aneh."
"Aneh kenapa?" tanyaku.
"Lo dulu nge-bully Cleo. Bahkan, lo yang sering mulai duluan."
Aku terhenyak seketika. Tidak mungkin aku mem-bully seseorang. Aku tidak pernah melakukan itu dan tidak ingin melakukan hal yang jahat itu. Seseorang yang menjadi diriku sebelumnya telah membuat namaku menjadi kotor. Alasan Cleo tidak ingin aku tolong ialah karena aku yang sebelumnya merupakan salah satu orang yang telah mem-bully dirinya. Tatapan benci yang kulihat waktu itu ternyata memiliki sebuah maksud. Aku merupakan salah satu orang yang ia hindari.
Pernyataan itu semakin kupercaya ketika setiap tatapanku selalu dihindari oleh Cleo sendiri. Ia selalu menghindariku setiap kali kucoba untuk mendekat. Bahkan, tidak sekali pun aku diberikan kesempatan untuk berkata sepatah kata saja. Aku ingin sekali menolongnya. Menjulurkan tanganku ketika keterpurukan yang sedang ia alami.
Hingga suatu saat, aku melihatnya tertunduk di depan gerbang sebuah rumah mewah. Seketika aku berhenti dari perjalanan menuju rumah. Ia membenamkan wajahnya yang merintih sakit itu di kedua lutut yang ia tekuk. Sesekali wajahnya terangkat menuju langit, terlihat jelas bulir air matanya yang mengalir dengan deras. Satu tangannya menekan dada kuat-kuat, sedangkan satu tangannya lagi melambai meminta pertolongan. Teriakan Cleo begitu keras untuk meminta tolong, namun orang-orang yang lalu lalang tidak ada satu pun yang memedulikannya.
Aku tanpa pikir panjang langsung beranjak dari motor untuk menolongnya. Namun, langkahku terhenti ketika tubuh Cleo tiba-tiba transparan secara perlahan. Mataku terbelalak melihat fenomena yang tidak biasa ini. Aku mundur beberapa langkah. Ia bukanlah manusa biasa. Apakah hantu atau sebagainya?
Seketika tubuhnya kembali seperti normal. Ia kembali berdiri dan berjalan layaknya orang biasa, seakan tidak ada yang terjadi sebelumnya.
"Ada apa dengannya?" tanyaku pada diri sendiri.
Mataku fokus kepada rumah mewah nan besar itu. Rumah yang merupakan milik Kepala Sekolah SMA Negeri Handayani. Aku pernah sekali ke sana untuk menyelesaikan masalah pemindahan sekolahku bersama Ayah.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 236 Episodes
Comments
Siti Dede
Rayhannya lagi koma ya?
2022-03-11
0
ayyona
mayan nih, dah lama otakku ga disuruh mikir 😁
2021-04-02
0
widia
dia lupa ingatan apa gimana si bang, yakin gue bingung bangett
2020-06-18
3