Aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Tidak sedikit pun melawan dengan segala perlakuan orang-orang yang ia anggap sebagai teman. Aku memang tidak akan mampu turut merasakan apa yang sedang ia rasakan, setidaknya aku mau membantunya untuk melewati semua perlakuan buruk dari mereka. Namun, wanita yang tingginya hampir sama denganku itu malah menolak mentah-mentah.
Pikiranku masih memutar cara untuk membuka hatinya yang beku itu. Teralu sulit disentuh demi secuil kepedulian yang ingin kusampaikan. Termasuk sesimpul senyum yang acap kali kulempar padanya, namun tidak satu pun yang berhasil ia balas. Wajahnya tetap dingin sembari menatap lantai dalam langkahnya yang kecil itu, menahan malu dengan setiap cibiran yang ia dengar oleh orang-orang di sekelilingnya.
Sejak hari itu, Cleo semakin sulit untuk kusentuh. Sedikit sekali kulihat ia bertahan di kelas, terlalu banyak ia habiskan di luar. Untuk berbicara pun hanya mau dengan guru saja. Bahkan, orang yang di sampingnya saja tidak pernah menjalin komunikasi sedikit pun.
Aku memerhatikan setiap gerak-geriknya. Setiap pagi Cleo selalu meletakkan tasnya di atas meja, lalu kembali keluar hingga bel masuk berbunyi. Ia akan duduk tanpa bergerak sedikit pun selama jam pelajaran berlangsung. Ketika bel istirahat berbunyi, ia kembali keluar. Satu hal yang membuatku penasaran, ia bagaikan hantu yang bisa menghilang kapan saja. Jika ia tidak bersama kelompok Meli untuk disuruh-suruh, selebihnya itu ia hilang bak ditelan bumi. Tidak ada satu pun yang tahu ia pergi ke mana.
Ketika istirahat siang, ia menyempatkan diri untuk melaksanakan sholat Dzuhur lalu kembali menghilang tanpa jejak, hingga tiba-tiba kutemui sudah duduk diam di kelas saat bel masuk kembali berbunyi. Sama seperti sebelumnya, ia hanya diam dan sesekali menjawab pertanyaan guru apabila diberi pertanyaan. Aku kagum, ia selalu menjawab pertanyaan dengan baik.
Namun, ada satu hal yang membuat hatiku semakin peduli dengannya. Setiap langkah yang ia ayunkan menuju ke kelas, setiap raut wajah yang ia tunjukkan, dari langkah kecil hingga tegap tubuhnya, aku selalu melihat garis air mata yang belum mengering. Aku yakin ia menangis dalam kesendirian. Menyimpan pilu yang hanya ia sendiri mengetahui. Tidak dengan berbagi kata untuk meringankan beban, namun memikulnya ke mana-mana hingga pada titik akhir kesabaran yang tidak berujung.
"Jangan lupa, besok bawa orangtua kamu untuk rapat wali murid. Jangan lupa diberi tahu orangtuanya, ya," ucap wali kelasku.
Aku berhenti memasukkan buku ke dalam tas. Sebuah kata membuatku tersentak sejenak. Memori kenangan yang masih kuingat, kini terputar sejenak untuk mengiris hati. Sebuah takdir yang tidak bisa aku elak walaupun seberapa besar diriku untuk memohon. Orangtuaku telah tiada.
"Apa saya boleh bawa kakak saya?" tanyaku sembari mengacungkan tangan.
"Untuk kamu, boleh. Tapi yang lain harus bawa orangtua, ya."
Teman sekelasku saling berbisik satu sama lain, menimbulkan bunyi berdesis dari mulut mereka yang ditutup. Aku tahu apa yang sedang mereka bicarakan, yaitu aku. Tidak heran, aku satu-satunya yang tidak memiliki orangtua di sini. Mataku melebar tajam untuk menatap mereka. Benci rasanya jika mengetahui bahwasanya kita sedang dibicarakan, tepat di hadapan sendiri.
"Sudahlah, jangan dengerin mereka," ucap Beni dari samping.
Aku tidak menjawab. Jelas sudah ia turut membicarakanku tadi.
Tidak ada teman yang kulihat di sini, semuanya musuh yang bersembunyi di balik senyum mereka, termasuk orang yang mengaku sebagai sahabatku.
Bel pulang belum berbunyi, namun kami sudah lebih dahulu keluar dari kelas. Tidak ada yang bisa untuk keluar dari sekolah karena gerbang dijaga ketat oleh security yang berdiri di depannya. Beberapa murid yang berani sudah mulai memanjati pagar untuk pulang. Sementara itu, bagi yang tidak bermental seperti mereka, tetap bertahan hingga dengung indah bel pulang berbunyi.
Wanita berkacamata itu kembali mengekorku menuju perpustakaan. Ia tidak lagi bersama Meli dan teman-teman centilnya itu. Aku diam saja, walaupun kutahui Vena sedang mengikutiku dari belakang.
Setelah mengabsen kehadiran di perpustakaan, aku langsung menuju rak di mana buku yang kucari berada.
Aku semakin tidak tahan. Vena tetap mengikutiku. "Lo menguntit, ya?" tanyaku.
"Mana ada orang yang menguntit terang-terangan," balas Vena.
"Trus, lo ke sini ngapain?" Tanganku menggapai buku yang akan dipinjam.
"Biasanya orang ngapain ke perpustakaan?" balasnya menggunakan sebuah pertanyaan.
Tidak ada gunanya jika pembicaraan akan bergulir seperti ini. segera kuambul buku selanjutnya dan pergi meninggalkan Vena yang tengah asyik dengan buku-buku yang ia pegang.
"Ada sesuatu yang mau gue bicarain. Jangan terlalu cepat pergi." Vena menyeret tanganku ke ruang baca.
Tidak ada satu pun murid berada di sini keculi kami berdua. Tentu saja, seluruh kelas masih berada di jam pelajaran. Kami saja yang sudah keluar lebih cepat. Vena menarikkan sebuah kursi untukku dan mempersilahkanku untuk duduk. Jemari telunjuknya menekan gagang tengah kacamata sebelum menatap lurus padaku. Suasana sunyi tanpa siapa-siapa menambah aroma mencekam yang keluar dari dirinya. Ia terihat seram jika serius, apalagi dengan wajahnya yang selalu terlihat dingin.
"Gue melihat keanehan dari lo," ucap Vena.
Napasku sedikit tertahan ketika di akhir kalimatanya. Namun, aku berusaha untuk tetap tenang. "Aneh bagaimana, ya?"
"Pertama, lo lupa rumah gue. Padahal dulu kita dulu sering pulang bareng. Yang kemarin itu bukan rumah gue, rumah gue udah kelewatan." Jemarinya menunjukku dengan tegas. "Kedua, lo satu-satunya orang di sekolah yang mau ngebela Cleo."
"Maaf, gue agak lupa letak rumah lo." Aku mengalihkan pandangan.
"Masa'? rumah gue masih beberapa rumah di depan. Masa' lo lupa secepat itu?" tanya Vena lagi.
"Benar, gue lupa. Kalau soal Cleo, dia itu kan teman kita. Bukan binatang seperti yang kalian perlakukan," balasku tegas. Nadaku sedikit naik. "Harusnya kalian sadar akan hal itu."
Alis mata Vena naik sebelah. Tangannya melipat untuk menunggu jawaban. "Lo nuduh gue juga turut nge-bully dia?"
"Lo bagian dari Meli dan kawan-kawannya," jawabku singkat.
Ia tertawa pelan. "Kalau gue bagian mereka, itu berarti gue nurut sama mereka?"
"Tentu saja."
Ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Bunyi gesekan khas kertas koran berbunyi ketika ia membukakannya untukku. Terlihat tulisan besar di atas bagian halaman koran tersebut. Berbunyi sebuah kalimat yang membuatku tersentak di tempat. Sebuah inisial menyeret ingatanku kepada seseorang ketika aku meneruskan bacaanku. Orang itu ialah Cleofatra Valery.
Seorang murid sekolah nyaris bunuh diri akibat kasus pembullyan. Murid berinisal CV berhasil diselamatkan ketika mencoba menjatuhkan diri dari atas sekolah berlantai empat.
"Hal aneh ketiga, lo bahkan lupa dengan ini," balasnya.
"Gue enggak lupa. Gue masih ingat dengan kejadian itu, kok." Aku mencoba untuk tenang. Walaupun sedikit kaku, aku masih bisa meyakinkan Vena.
"Lo masih nuduh gue nge-bully Cleo? Padahal saat itu, gue yang ngebelain Cleo agar si pembully dikeluarkan dari sekolah." Ia memasukkan koran itu kembali ke dalam tas. "Tapi, itu malah membuat teman-teman semakin benci sama dia."
"Sekarang kenapa lo diam aja?" tanyaku.
"Karena gue enggak mampu kalau gue sendiri," jawab Vena.
Teriakan terdengar dari luar perpustakaan. Aku dan Vena saling bertatapan dengan cepat. Suasana semakin gaduh oleh para guru yang mulai berlarian di koridor. Vena menarik tanganku untuk keluar dari perpustakaan. Kulihat para warga sekolah sudah berkumpul pada suatu titik membentuk sebuah bulatan. Berkat aku berada di posisi yang lebih tinggi, dengan jelas terlihat sebuah perkelahian terjadi di tengah bulatan itu.
Mereka saling berjambak rambut. Berkali-kali terdengar tamparan begitu keras. Kembali kufokuskan pandanganku ke arah tengah bulatan itu. kupastikan bahwa perkelahian itu melibatkan antara Cleo dan Meli.
Dengan cepat aku bergerak ke menerobos kerumunan para murid. Begitu pula Vena. Aku segera memegangi Cleo, sementara itu Vena membawa mundur Meli. Wanita yang menjadi lawan Cleo tidak henti-hentinya mengeluarkan sumpah serapah kepadanya. Air matanya terus mengalir di tengah napasnya yang tersenggal-senggal. Air matanya terus mengalir di tengah napasnya yang tersenggal-senggal. Cleo bukanlah tandingannya. Namun, Cleo sendiri berhasil membuat luka lebam yang bersarang di bawah mata Meli dan luka cakar dibagian lehernya.
"Inikah yang lo sebut dengan melawan?" tanya Cleo padaku. "Gue bisa melakukan yang lebih dari ini, jika lo mau."
Ketika mataku memandang wajahnya. Tidak kulihat wajah lusuh yang selalu ia tunjukkan, namun wajah penuh amarah yang tidak terlampiaskan. Dibalik senyum sesaat yang ia tunjukan, tersimpulkan sebuah maksud yang bisa aku tafsirkan. Aku bisa mengartikan itu dibalik gerak bibirnya berkali-kali menyebutkan sebuah kata.
Bunuh!
Aku tidak lagi melihatnya sebagai Cleo, namun lebih terlihat seperti monster.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 236 Episodes
Comments
ayyona
serem
2021-04-11
0