Mataku perlahan bangkit dari ketidaksadaran yang kualami. Sayup-sayup kutatap tembok putih dengan bingkai-bingkai foto yang tergantung. Cahaya mentari menyelinap melalui jendela yang terbuka lebar. Kurasakan angin yang masuk. Gemerincing bunyi medali prestasiku terdengar merdu. Aku tengah di dalam kamar setelah terbangun dari mimpi buruk yang kurasakan.
Tragedi itu begitu nyata. Darah yang kurasakan tampak segar dan kental ketika memuncrat dari perutku yang ditembus besi badan bus. Bahkan, tanganku begitu menikmati lembutnya rambut wanita itu ketika membelainya dalam pelukan. Bunyi gesekan bus pada aspal seakan masih berdengung, hingga begitu saja hilang ketika denting jarum jam membuatku tersadar.
Hari menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Aku tiba-tiba terbangun di dalam kamarku seperti pagi biasanya. Setelah mandi pagi dan memasang seragam, aku selalu tidur sejenak hingga Ibu membuka kamar untuk memintaku sarapan. Jemariku menyentuh perut yang sangat jelas ditembus oleh besi pada mimpi itu. Begitu nyata dan rasanya sangat sakit sekali. Aku tidak pernah merasakan sakit yang begitu dahsyat, kecuali di dalam mimpiku kali ini.
Ada sesuatu yang tidak beres. Tidak mungkin perkelahian aku dan orangtuaku merupakan sebuah rentetan mimpi yang kualami. Begitu pula dengan upacara pembukaan kegiatan perekemahan yang jelas-jelas aku berdiri penuh peluh di sana. Aku coba untuk mencubit tangan sekeras-kerasnya, namun itu hanya hal yang sia-sia. Aku tetap tersadar dan dunia ini bukanlah sebuah mimpi.
Bunyi alat dapur ibu terdengar hingga ke dapurku. Aku harus ke bawah, sebelum ia berteriak membangunku. Seperti biasanya, aku sudah melihat sarapan menanti di atas meja. Sementara itu, Ibu masih berada di dapur dengan segala tugas paginya.
"Ibu?" panggilku.
"Eh, masih belum bangun? Pagi-pagi udah ngelantur," balas seseorang dari dapur.
Aku tecengang. Suara itu bukanlah suara Ibuku. Jawaban itu juga bukanlah jawaban khas dari Ibu. Tidak mungkin Bibi pagi-pagi ke sini. Ia pasti turut sibuk mempersiapkan sarapan untuk anak-anaknya di pagi ini.
Pintu kamar Ibu dan Ayah tertutup rapat. Tidak ada cahaya lampu yang kulihat di sana. Jika Ibu dan Ayah pergi, mereka pasti akan memberitahukanku sebelumnya untuk sekalian membawa adik ke sekolah. Segera kubuka kamar itu, tetapi yang kudapati ialah pintu yang terkunci. Ibu selama ini tidak pernah mengunci kamarnya. Aku mendapati kunci kamar ibu pada sebuah laci lemari.
Ketika membuka pintu, kudapati tempat tidur Ibu dan Ayah begitu rapi dengan sedikit debu yang memenuhi permukaannya. Alat tata rias Ibu juga seperti tidak pernah disentuh olehnya. Lantai yang kupijak seakan tidak pernah disapu dalam waktu yang lama. Tergeletak halaman depan koran di atas meja rias yang menarik perhatianku. Berita koran lama itu terlihat usang dengan debu yang memenuhinya.
Kecelakaan mobil menewaskan tiga orang yang merupakan Ibu, Ayah, dan seorang anak kecil. Dua orang yang selamat masih kritis di rumah sakit. DH (50 tahun) dan BS (60 tahun) sedang membawa ketiga anaknya untuk berlibur. Namun, sebuah truk hilang kendali hingga menabrak mobil yang berisikan satu keluarga tersebut ....
Aku berhenti membacanya dan menghempaskan halaman koran itu di atas meja. Tanganku tidak henti bergetar ketika melihat inisial yang tertulis di berita tersebut. Tidak mungkin dua inisial itu merupakan sebuah kebetulan. Ditambah lagi berita ini berada di kamar Ibu dan Ayah.
Lampu kamar berbunyi ketika dihidupkan. Tampak seseorang yang begitu mirip denganku tengah bersandar di pintu. Senyumnya lebar seperti saat setahun yang lalu sebelum sebuah tragedi menimpa dirinya. Aku tidak sanggup ketika mendapati seseorang yang telah lama tiada berada di hadapanku. Ia bukanlah hantu, ia nyata dalam kehidupan yang seperti mimpi ini. Matanya yang teduh membawa sebuah misteri yang harus kupecahkan sendiri.
"Gue tahu lo rindu sama Ayah dan IBu. Gue juga," ucapnya. Tubuhnya masih terbalu celemek masak yang biasa digunakan Ibu. "Besok kita ke ziarah ke makam mereka."
Ia adalah Rina, kakakku yang sudah meninggal setahun yang lalu karena sebuah kecelakaan tunggal. Aku sendiri yang mengangkatnya ke liang kubur sewaktu itu. Namun, bagaimana bisa ia tersenyum nyata seperti ini? Penuturan katanya juga mengatakan bahwa Ibu dan Ayah sudah tiada.
"Ayah dan Ibu ke mana?" tanyaku. Air mata tetap berusaha kutahan untuk tidak keluar.
"Cepat cuci muka lo. Kayanya lo belum benar-benar bangun." Ia pergi meninggalkanku.
Aku susul Rina ke dapur. Ia kembali berkutat dengan alat-alat masak. "Gue serius. Mereka ke mana? Ayah, Ibu, Adik!"
"Sekali lagi lo nanya, gue pukul pake panci." Balasnya dengan santai.
Oh, Tuhan. Apakah ini benar-benar nyata?
"Ini benar-benar enggak nyata. Lo enggak nyata!!! Lo cuma ilusi!"
Entah dunia apa yang sedang kuhinggapi. Bangun dengan semua perubahaan yang mustahil adanya. Ketidakmungkinan yang terjadi melanda dalam kenyataan yang kualami. Semua ini sangat sulit dipercaya. Kembali kuingat kenangan bersama mereka. Tidak ada satu pun yang menyisakan rasa bahagia. Namun, aku merindukan senyuman mereka yang menyambutku di pagi hari.
Aku enggak butuh keluarga seperti kalian!!!
Itulah kenangan terakhirku bersama mereka. Mungkinkah semua ini merupakan suratan takdir yang harus kuterima setelah semua hal yang kulakukan pada mereka? Terlalu hinakah aku di mata Tuhan sehingga ia memintaku untuk melewati ini semua? Aku terlalu jahat mengancungkan kalimat itu kepada orang-orang yang kusebut sebagai keluarga.
Aku menyesal ... sungguh telah menyesal.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 236 Episodes
Comments
Vall ID
saya menyerahhh ini terlalu berat untuk saia baca
2022-11-01
0
ayyona
aduh...aku ga takut ga takut...merinding
2021-04-02
0
kambing terbang
yaaaahhhh
paradoks?
2020-12-25
0