Masih kuingat jelas kebahagiaan keluarga yang pernah kurasakan sebelumnya. Tepat sebelum aku menginjak masa remaja, betapa hangatnya pelukan Ayah dan Ibu. Berlapiskan senyum mekar berpantulkan cahaya senja di teras rumah, mereka menyambutku dengan senang sehabis bermain bersama kawan. Mereka menanyakan bagaimana hariku, apakah bahagia atau tidak. Aku selalu menjawa bahwa hari yang kulewati begitu menyenangkan karena sudah bermain seharian bersama teman-teman.
Tidak ada kata kasar yang terucap dari mereka karena kenakalanku. Tidak ada tangis yang pecah akibat perlakuanku. Tidak ada kata benci yang kuucapkan ketika sikap keluargaku berlain arah dengan harapan. Begitu hangat di dalam pelukan sebuah keluarga. Aku begitu merasa nyaman, tidak ingin pergi berlama-lama.
Namun, semua itu berubah ketika aku sudah mengenal dunia luar. Aku terpana dengan derasnya arus pertemanan. Kami bebas melakukan apa saja selagi masih berada pada batas wajar yang kami genggam. Aku meraih banyak prestasi berkat olahraga karate dan sepak bola. Aku dikenal banyak orang berkat pergaulan yang luas. Tidak ada satu pun warga sekolah yang tidak mengenalku. Anak tinggi semapai nan tampan yang selalu mengharumkan nama sekolah di luar sana, itulah aku ketika di masa jayanya.
Aku salah, itu semua ternyata tipu daya semata. Aku sibuk menatap jalan yang kutempuh, namun tidak pernah melihat ke belakang. Mereka ialah keluarga yang menitipkan sebuah harapan dalam setiap doa yang mereka panjatkan. Mereka menginginkan aku jadi seperti Rina yang selalu juara satu di kelas, memenangkan berbagai olimpiade, bahkan diterima di universitas terfaforit di kotaku.
Kebencianku terkobar oleh penolakan demi penolakan oleh Ayah dan Ibu. Tidak ada malam yang tersisa hanya untuk bertegur sapa, semuanya habis untuk membahas perdebatan yang belum habis di hari-hari sebelumnya. Aku tertekan dan sempat ingin kabur dari rumah. Perlakuan mereka padaku membuatku tidak menyukainya. Pertahanan diriku memaksa untuk melawan. Kata kasar, teriakan, dan bentakan merupakan hal yang biasa kulakukan.
Kau tahu? Menyesal datangnya di akhir cerita. Aku dihukum Tuhan untuk menjalani dunia tanpa orangtua. Tuhan membalikkan fakta bahwa merekalah yang meninggal, bukan aku. Harusnya aku sudah mati berkat tragedy itu. Namun, Tuhan Maha Berkehendak dengan segala keinginan-Nya. Aku harus menjalani dunia ini, walaupun dengan keterpaksaaan.
Aku pulang tanpa ada siapa pun. Rina masih mengurusi toko buku peninggalan Ayah. Tidak seperti anak pada umumnya yang disambut gembira oleh keluarga di rumah. Tidak ada makanan yang tersaji di meja makan, tidak ada gelak tawa adik yang sedang bercanda di depan TV, dan hal-hal lainnya yang kuinginkan sekali saja terjadi padaku lagi.
Tangaku bergerak di atas kertas catatan untuk menuliskan bahwasanya Rina harus datang ke sekolah esok pagi. Aku tahu tidak akan sempat menyampaikanya kepada Rina. Ia akan pulang larut malam dan tidak mungkin jika aku menyampaikannya secara mendadak esok pagi, mengingat ia begitu sibuk mengurusi toko buku dan beberapa pegawainya.
Seseorang datang dengan membawa bunyi ketukan pintu ketika aku berusaha menempelkan catatan itu ke pintu kulkas. Tidak biasanya seseorang mengetuk pintuku ketika di malam hari. Rina? Ia tidak pernah sekali pun mengetuk pintu jika memanggilku.
Di balik tirai mataku memandang seorang wanita tengah berdiri di depan pintu. Tangnnya yang melipat menyiratkan bahwa ia sedang menunggu. Aku langsung membuka pintu. Tampak wajah datar wanita yang memandang padaku melewati kacamata bergagang hitam.
"Vena, lo ngapain ke sini?" tanyaku.
"Gue mau ketemu Kak Rina. Ada nggak?' balas Vena.
Aku berpikir sejenak, bagaimana bisa Vena kenal dengan kakakku?
Pikiranku masih bingung mengenai hubunga ia dan Kakak. "Hmm ... dia masih di toko buku. Ada urusan apa sama Kakak?"
"Oh gitu." Vena mengangguk. "Itu ... gue mau nanya stok buku apa masih ada atau enggak. Gue kan jualan buku. Salah satu pemasoknya dari tokok kakak lo."
"...."
Kami sempat diam untuk beberapa saat. Ia tak kunjung izin untuk pamit. Rasanya canggung menerima tamu seorang wanita.
"Lo enggak nyuruh gue buat masuk atau apa kek?" tanya Vena.
"Iya, juga, ya ...." Aku menepuk jidat untuk berbasa-basi. Sebetulnya aku tidak mau mengajaknya untuk masuk. "Silahkan ..."
Ia duduk di sofa ruang keluarga sembari menghidupkan televisi. Seperti rumah sendiri, ia terlihat santai ketika melipat kaki di atasnya. Aku tahu ia cenderung pendiam ketika di sekolah, namun terlihat percaya diri ketika bersamaku. Merunut dari pernyataannya, kami telah dekat dalam waktu yang lama. Ia berkata bahwa kami sering pulang bersama, bahkan ia tahu rumahku di mana.
"Lo mau minum apa?" tanyaku dari dapur.
"Apa aja, yang penting ada rasa. Lo tahu minuman faforit gue, kan?"
Tanganku berhenti di atas pintu kulkas. Aku benar-benar tidak tahu minuman faforitnya. Jika aku bertanya, ia semakin menganggapku aneh karena lupa segala sesuatu mengenai dirinya.
Persetan dengan itu!!! semua orang suka teh.
Dua cangkir teh kubuat untuk kami berdua. Ia melihatku membawa cangkir teh dengan tangan yang sedikit bergetar.
"Lo lupa sama minuman kesukaan gue?" tanya Vena.
"Hmm ... teh menurut gue lebih enak. Lo bilang yang penting ada rasa, kan?" Tawa kecilku sedikit canggung.
"Iya, sih. Tapi enggak apa-apa. Lo kurang pandai ngeracik kopi yang enak, enggak kaya kakak lo," balasnya.
Untung saja aku bisa mengatasi ketidaktahuanku. Ternyata ia menyukai kopi.
"Ada 2 hal yang ingin gue sampaikan ke elo."
Wajahnya tidak berekspresi walaupun televisi sedang menayangkan acara humor. Tidak lama kemudian ia melihatku dengan tatapn lurus. Tegas sorot matanya seakan membuatku kaku.
"Lo suka sama Cleo?" tanya Vena.
Aku sontak tertawa mendengar pertanyaan konyolnya. Tidak pernah aku memikirkan cinta di dunia asliku dan bagaimana bisa aku sempat membicarakan cinta di tengah dunia dengan semua keanehannya.
"Dari mana lo bisa menyimpulkan kalau gue suka sama Cleo?" tanyaku balik.
Ia menggeleng. Wajahnya berpaling ke arah televisi. Kini ia sedikit berekspresi, tidak seserius seperti yang ia tunjukkan tadi.
"Ya, cuma satu orang di sekolah yang peduli sama Cleo. Satu orang itu elo, Ray." Ia meminum tehnya.
"Berarti lo enggak peduli sama dia?"
Vena bersandar setelah meletakkan cangkir tehnya ke atas meja. helaan napasnya terdengar olehku. Rasa canggung bercampur malu akibat pertanyaannya masih terngiang. Tidak biasanya aku berdua bersama seorang wanita, apalagi di rumah yang sepi ini. Kukui ia memiliki wajah yang menawan. Hal tersebut semakin membuatku canggung.
"Kadang kita harus mengikuti gaya orang lain untuk bertahan." Ia memejamkan matanya.
"Lo sebetulnya peduli sama dia?'
"Sebetulnya, iya. Lo kira gue tega ngelihat dia di-bully tiap hari? Ya ... biar gue enggak jadi seperti dia, setidaknya gue hanya diam dan enggak ikut nge-bully anak itu."
Aku mengerti dengan maksudnya. Ia diam hanya untuk mempertahankan diri. Jika ia membela Cleo, sasaran bully-an akan tertuju padanya.
"Bagaimana kalau kita membuat Cleo enggak di-bully lagi?" tanyaku.
Ia diam tidak menjawab. Tidak lama kemudian, ia menatap jam tangan.
"Bisa sih, tapi susah banget. Kita enggak bakal bisa. Lagian, lo tahu kan bagaimana Cleo? Kita ajak bicara aja dia malah menghindar," balasnya.
"Setidaknya kita berusaha dulu."
Ia berdiri setelah menghabiskan teh hangatnya. Sedikit merenggangkan otot-ototnya yang kaku akibat duduk, hal itu memperlihatkan lekukan tubuhnya yang indah. Aku mengalihkan pandanganku seketika.
"Gue pulang dulu, udah malam," ucapnya sembari berjalan menuju pintu. Namun, ia seketika berhenti. "Ray, hal kedua yang pengen gue sampaikan. Gue mau minta maaf."
"Minta maaf kenapa? Emang lo punya salah sama gue?"
"Dua tahun lalu. Gue rasanya salah karena udah seperti sama lo. Harusnya gue enggak kaya gitu. Maaf karena mempermalukan lo."
Wanita itu kembali membawaku kepada teka-tekinya. Sesuati yang tidak aku ketahui kembali mencuat dari setiap kalimat yang ia katakana. Entah perlakuan apa yang membuatnya meminta maaf. Aku yakin, itu merupakan hal yang sangat serius. Apa pun itu, aku akan mencari tahu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 236 Episodes
Comments