Bab 14

Sueb pulang sambil menenteng tas berisi gamis mahal pesanan istrinya. Senyum merekah menghiasi bibir Sueb yang jauh dari seksi, sejak dia keluar dari butik langganan istrinya. Sambil bersiul senang, Sueb mencari ojek yang akan mengantarnya ke rumah mertua.

Seorang tukang ojek yang tampak lesu, menawarkan jasanya. Sueb mengangguk tanda setuju. Saat ini mereka melaju pelan melewati daerah persawahan yang sepi.

"Penghasilan tukang ojek tuh sehari berapa sih, Pak?" tanya Sueb iseng.

"Ya gak tentu, Mas. Tergantung rejekinya berapa."

"Paling banyak, dapat berapa, Pak?"

"Pernah dapat 200 ribu sih sehari, tapi masih harus dipotong setoran dan bensin. Bersihnya sih 100 ribuan kalau dapat segitu."

"Kalau yang paling apes?"

"Dapat 70 ribu, itu sama aja dengan kerja bakti, Mas. Pas buat setoran dan bensin."

"Kenapa mesti setor? Bukan motor sendiri ya?"

"Kalau punya motor sendiri ya gak nyetor, Mas. Ini kan motor juragan."

"Kenapa gak beli motor sendiri?"

"Pertanyaan yang seharusnya Mas udah tau jawab e. Gak ada duit."

Sueb tercenung, dia merasakan dapat teguran telak dari ucapan tukang ojek ini. Mungkinkah semua korbannya tukang ojek setoran seperti ini? Penyesalan mulai timbul dalam hati Sueb. Membayangkan dirinya yang jadi tukang ojek setoran yang kenal begal, belum lagi kadang ada yang sampai terluka. Ahh, penyesalan pasti datangnya terlambat.

"Udah sampai, Mas."

Lamunan Sueb terpotong, saat tukang ojek sudah menghentikan motornya di depan rumah mertuanya. Diulurkan nya selembar uang berwarna biru ke tukang ojek.

"Ada uang kecil, Mas? Dua puluh ribu ongkosnya, saya gak ada kembalian, dari tadi belum ada penumpang."

"Ambil aja kembaliannya, Pak!"

"Beneran nih, Mas."

"Iya, Pak. Beneran."

"Wah, terima kasih ya, Mas. Semoga Mas nya banyak rejeki."

"Iya, Pak. Sama-sama."

Sueb melangkah masuk ke rumah mertuanya. Tukang ojek yang mendapat rejeki nomplok, meninggalkan tempat itu dengan gembira.

*****

Seorang cewek tampak berjalan tergesa menuju bengkel Dika yang sudah tutup. Tetapi ada pintu yang dibiarkan sedikit terbuka, agar orang tau, di bengkel masih ada orang.

Tok...Tok..Tok

"Eh, masuk Mbak. Nih, udah beres kok laptopnya."

"Wah, bagus kalau gitu, Om. Tadi saya sempat kuatir, laptopnya belum selesai. Ada tugas penting yang DL nya besok," kata Cewek itu.

"Udah kok, Mbak. Saya bela-belain nih, belum pulang, karena nunggu Mbak."

"Makasih banget ya, Om. Berapa nih ongkosnya?" tanya Si Cewek setelah mencoba laptopnya.

"Buat, Mbak, gratis deh."

"Kok gitu sih Om?"

"Iya, karena Mbaknya beruntung, udah jadi pelanggan ke 100 untuk bulan ini."

Dika terpaksa mengarang alasan, dia hanya merasa kasian pada cewek itu, karena sudah kehilangan banyak uang di bengkelnya.

"Wah gitu ya, Om. Makasih ya. Udah boleh dibawa pulang kan, ini laptopnya?"

"Oh iya, Mbak. Udah boleh kok. Kalau mau servis lagi, disini aja ya, Mbak!" kata Dika sambil tersenyum.

"Pasti, Om. Sekali lagi makasih. Pamit dulu ya, Om."

"Iya, Mbak. Sama-sama, hati-hati di jalan ya, Mbak. Bilang sama sopirnya, jangan ngebut!"

"Wih, ngawur nih Si Om. Itu papaku, Om, bukan supir."

Gadis itu tertawa renyah, Dika cuma bisa menggaruk kepala yang tak gatal karena salah tingkah.

*****

Wajah Rio tampak kusut, dia sedang duduk di teras rumah kakek Nabila. Nabila menemani Rio dengan wajah bingung, sedari tadi Rio cuma diam, dan untuk bertanya, Nabila tak ada keberanian.

"Bil!" panggil Rio.

"Ya, kenapa Kak?"

"Mama aku suruh ngajak kamu ke rumah, buat kenalan sama papa aku. Kamu mau?"

Nabila terdiam, ada keraguan untuk bertemu dengan orang tua Rio. Nabila tau, Rio bukan berasal dari keluarga sederhana seperti dirinya.

"Kok diam?"

"Harus sekarang ya, Kak? Bila belum siap nih."

Nabila menunduk.

"Sebenarnya Kakak juga belum siap. Karena Kakak tau, papa Kakak pasti menentang hubungan kita. Tapi...Kakak lebih belum siap buat kehilangan kamu. Kakak sayang banget sama kamu."

Nabila memandang Rio dengan wajah yang penuh tanya, berharap Rio menjelaskan maksudnya, karena untuk bertanya, Nabila tak punya keberanian.

"Kamu tau gak, Bil? Papaku punya standard yang sangat tinggi untuk kriteria pacarku. Beliau masih berpandangan kolot tentang bibit, bebet dan bobot."

Nabila cukup paham, apa yang dimaksud oleh Rio. Tentu saja, papa Rio sangat berharap, anaknya mempunyai pacar yang sederajat dengan keluarganya. Tidak seperti Nabila. Menjadi orang miskin tak membuat Nabila malu, tapi menjadi anak seorang napi, membuat orang lain mempunyai penilaian tersendiri terhadap keluarganya.

"Nabila paham kok, Kak. Dan bisa menerima semuanya, jangan jadi beban buat Kakak. Karena ini tentang takdir, bukan keinginan kita."

"Apa maksud kamu?"

"Kakak mau kita putus kan?"

"Kalau aku mau kita putus, aku gak bakal kayak gitu tau, Bil. Justru aku mau, hubungan kita tetap berlanjut, apapun resikonya."

"Kakak tau kan, kalau itu bisa mengecewakan orang tua Kakak?"

"Aku tau kok, Bil. Tapi aku tetap gak mau, kalau kita putus."

Nabila sebenarnya juga gak mau kalau mereka putus secepat ini. Rio cinta pertama bagi Nabila, dan Nabila sangat tidak ingin, cinta pertamanya kandas hanya dalam hitungan minggu.

"Jadi kita harus gimana, Kak?"

"Jujur saja, aku juga masih bingung. Aku tak tau apa yang harus ku lakukan. Temanku memberi saran, agar kamu berbohong aja saat menjawab pertanyaan papaku."

"Bohong gimana maksudnya?"

"Dengan mengarang cerita, kalau ortumu sedang berbisnis di luar negri. Terus saat ini, kamu tinggal sama kakek dan nenek, di sini."

"Nabila gak mau berbohong."

"Iya, aku juga udah tau kok. Jadi kita harus cari jalan lain."

Keduanya kembali diam, masing-masing sibuk dengan jalan pikirannya.

"Bil....."

"Ya...?"

"Kita back street aja, gimana?"

"Maksud Kakak?"

"Ya kita pacaran diam-diam aja, hanya kita berdua saja yang tau. Di depan yang lain, kita bilang kalau kita udah putus."

"Bila sih gak keberatan kok, karena dari awal juga Bila gak ingin ada yang tau kalau kita pacaran."

"Kamu malu, punya pacar kayak aku?"

Nabila tertawa, menurutnya, omongan Rio barusan terkesan lucu.

"Kok malah tertawa sih?"

"Habisnya Kakak lucu, mana ada Nabila malu jadi pacar Kakak. Yang ada, Kakak tuh yang harusnya malu, punya pacar kayak Nabila."

"Kok gitu?"

"Kita ini berasal dari keluarga yang sangat berbeda, Kak. Kalau diibaratkan, bagai langit dengan bumi. Kakak berasal dari keluarga yang sangat terpandang, sedangkan Nabila, cuma anak seorang napi."

Rio tertegun mendengar omongan Bila barusan. Kata-kata terakhir membuat Rio sangat shock, Rio merasakan kalau pendengarannya salah.

"Apa kamu bilang tadi? Anak seorang napi?"

Nabila terkejut mendengar pertanyaan Rio. Nabila segera mendekap mulutnya yang keceplosan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!