Bu Bakir sudah siap untuk pergi ke Jakarta, saat ini dia sedang berpamitan pada anak semata wayangnya.
"Ibu pamit ya, Ndhuk. Kamu baik-baik di sini, kalau ada apa-apa, kabari Ibu."
"Iya, Bu. Ibu juga hati-hati di Jakarta sana. Bila di sini akan selalu do'ain Ibu," kata Nabila sambil terisak.
"Kamu belajar yang baik ya, supaya nanti bisa diterima di SMA Negri yang dekat rumah Mbah Kung!"
"Iya, Bu, Bila akan selalu ingat pesan Ibu," kata Nabila sambil menyenderkan kepalanya ke pundak Ibu.
"Sebenarnya Ibu berat Nduk, ninggalin kamu sendiri di sini, tapi harus bagaimana lagi. Hanya ini satu-satunya cara yang bisa kita lakukan."
Ibu menghela napas, untuk sekedar mengurangi beban yang membuat dadanya sesak.
"Iya, Bu, Nabila ngerti kok, Bu. Ibu jangan khawatir, Bila sudah besar, sudah bisa menjaga diri."
"Andai bapakmu kelakuannya gak kayak gini, pasti hidup kita gak akan terlunta-lunta kayak gini."
"Sudahlah Bu, gak perlu di sesali juga. Toh belum tentu juga kan Bapak bersalah. Semoga saja ini semua cuma salah tangkap."
"Kamu jangan belain bapakmu terus, Nduk, Ibu itu istrinya. Ibu lebih tau gimana bapakmu timbang kamu. Dari dulu kelakuan bapakmu sudah begitu. Entah setan apa yang membuat Ibu dulu sampai mau diperistri sama bapakmu."
"Udah, Ibu jangan marah-marah. Gak ada gunanya juga kan? Sebentar lagi kan Ibu mau berangkat, kalau Ibu kesal nanti takutnya bakal ada apa-apa di jalan."
"Ya udah, Nduk, tolong bilang ke Lek Dika, kalau Ibu sudah siap!"
"Baik, Bu, Ibu tunggu sebentar ya, Bila mau ke rumah Bulek Winda dulu!"
Nabila bergegas ke rumah sebelah, rumah pasangan Paklek Dika dan Bulek Winda. Meraka tetangga yang paling dekat dengan keluarga Nabila. Nabila sering di minta mereka membantu menjaga anak mereka yang masih balita.
"Paklek Dika ada, Bulek?"
"Ada Bil, tadi masuk kedalam, mungkin ngambil kunci motor. Ibumu sudah siap?"
"Sudah, Bulek, makanya Bila kemari, mau kasih tau Paklek kalau Ibu sudah siap."
"Iya, kamu tunggu aja paklekmu di sini sebentar. Oh iya Bil, nanti selama Ibumu gak ada, kamu gak usah masak, makan di sini aja. Toh makanmu paling juga dikit, dari pada kamu repot-repot!"
"Iya, Bulek. Trima kasih ya, keluarga Bulek sudah baik banget dengan keluarga Bila," kata Nabila tulus.
"Sudah kewajiban kita sebagai umat Tuhan untuk saling tolong menolong Bil. Kalau sekarang Bulek dan Paklek menolong keluarga kamu, mungkin suatu saat nanti, kami yang perlu bantuan dari keluargamu."
Dika tampak keluar rumah sambil mengendong Si kecil Tasya.
"Ibumu sudah siap, Bil?" tanya Dika.
"Sudah, Paklek, Ibu sudah siap."
"Tasya ikut Mama dulu ya! Papa mau anterin Bude Bakir ke stasiun, nanti kita main lagi kalau Papa udah pulang."
"Iya, Pa. Tapi nanti kalau Papa pulang dari stasiun, beliin Tasya martabak ya Pa!"
"Oke, Sayang, nanti Papa beliin. Sekarang Tasya sama Mama dulu ya, jangan nakal!"
Tasya memeluk papanya manja, mencium pipinya, kemudian berlari ke arah mamanya.
"Yuk, Bil, kita ke rumahmu!"
"Bila pulang dulu ya, Bulek, nanti setelah Ibu berangkat Bila ke sini lagi."
"Iya, Bil, sampaikan salam Bulek sama Ibumu. Maaf Bulek gak bisa ikut antar, Bulek ada pasien yang mau melahirkan."
"Iya, Bulek, nanti Bila sampaikan. Ibu pasti ngerti juga kok, maaf sudah merepotkan."
Winda berprofesi sebagai bidan yang buka praktek di rumahnya. Saat ada pasien yang melahirkan, biasanya Ibu atau Bila membantu mengasuh Tasya. Nabila segera naik ke boncengan motor Dika, dan mereka berdua segera berlalu.
"Sudah siap, Mbak Yu?" tanya Dika ketika sampai di rumah Pak Bakir.
"Udah nih, Dik. Mbak titip Bila ya, tolong awasi dan jaga selama Mbak gak ada."
"Iya, Mbak Yu, gak usah khawatir. Aku dan Winda sudah menganggap Bila seperti anak sendiri kok. Bahkan kalau Mbak Yu mengijinkan, biar Bila tinggal saja di rumah kami. Winda tak tega kalau Bila harus tinggal di rumah sendirian. Takut kenapa-napa."
"Iya gapapa kalau seperti itu, Mbak merasa lebih tenang ninggalin Bila kalau begitu. Karena ada kalian yang jagain, Mbak jadi gak khawatir."
"Iya, Mbak Yu. Mbak Yu tenang aja, kami janji akan menjaga Bila."
"Trima kasih ya, Dik. Sampaikan juga trima kasih Mbak buat istrimu!"
"Iya, Mbak. Ayo berangkat sekarang, takutnya nanti ketinggalan kereta."
"Ibu pergi dulu ya, Nduk. Jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa kamu ngomong aja sama Bulek, sama Paklek!"
"Iya, Bu. Kalau sudah sampai, kasih kabar ya Bu," kata Bila sambil memeluk Ibu.
"Iya Nduk," kata Ibu sambil mencium putrinya.
Ibu telah berangkat bersama Paklek Dika, Nabila yang tak enak di rumah sendirian, bergegas pergi ke rumah Winda. Setelah mengantarkan Ibu ke stasiun, Paklek Dika mengunjungi Pak Bakir di kantor polisi.
"Apa kabar, Mas?"
"Ya kamu lihat sendiri, Dik, keadaanku gak bisa dibilang baik-baik saja," kata Pak Bakir lesu.
Dika hanya menghela nafas panjang, sadar telah menanyakan pertanyaan yang salah ke Pak Bakir.
"Aku barusan abis nganterin Mbak Yu ke stasiun, Mas."
"Mbak Yu? Ibunya Bila maksudnya?" tanya Pak Bakir.
"Iya, Mas, Mbak Yu akan pergi ke Jakarta. Apa Mbak Yu gak pamit sama Mas?" tanya Dika heran.
"Mbak Yu mu belum pernah sekalipun menemuiku sejak aku ditangkap Dik. Emang Mbak Yu mu mau ngapain ke Jakarta Dik? Apa Bila juga ikut?"
"Mbak Yu kerja di Jakarta Mas. Sepupunya yang bernama Murni kan katanya buka warteg yang laris di sana. Nah Mbak Yu mau kerja sama sepupunya itu. Kalau Bila, untuk sementara tinggal sama kami, nunggu lulus SMP, setelah itu dia mau ikut Mbah Kung nya," jelas Dika.
Pak Bakir merasa sedih, istri dan anaknya berencana tapi tidak memberi tau dia.
"Mas titip Bila ya, Dik. Kasian sekali anak itu, hidup menderita karena kelakuan bapaknya," kata Pak Bakir sedih.
"Yang sabar ya, Mas, mungkin Mbak Yu masih belum bisa menerima Mas ditangkap. Tapi aku yakin, Mas akan segera bebas karena memang tidak bersalah," kata Dika.
"Entahlah, Dik, aku saja gak tau, kenapa aku bisa ditangkap. Tuduhan yang dijatuhkan padaku benar-benar tak kulakukan. Kamu percaya kan sama aku, Dik?" tanya Bapak.
"Iya, Mas, aku percaya. Mas itu orang baik, tak mungkin juga Mas membunuh orang. Nepuk nyamuk aja Mas gak tega kok," kata Dika.
"Mas boleh minta tolong gak, Dik?" tanya Pak Bakir.
"Minta tolong apa, Mas?" tanya Dika.
"Tolong antar Nabila ke sini ya, Dik! Mas kangen banget sama Dia," pinta Pak Bakir.
"Oh itu Mas. Besok kalau aku ada waktu, aku pasti akan antar Bila kemari Mas. Tapi saat ini aku agak sibuk, banyak kerjaan yang lagi DL," kata Dika.
"Iya, sesempat kamu aja, Dik, aku paham kok sama kesibukan mu," kata Pak Bakir.
"Kalau gitu aku pamit dulu ya, Mas, tadi mamanya Tasya ada pasien yang mau melahirkan. Aku harus siap-siap di sana, mungkin bantuan ku diperlukan," kata Dika.
"Iya, Dik, hati-hati di jalan! Sampaikan salam dan trima kasih ku buat istrimu," kata Pak Bakir.
"Iya, Mas, nanti aku sampaikan. Dan aku juga janji, kalau gak besok ya lusa, aku akan antar Bila ke sini," kata Dika.
"Iya, Dik, terima kasih atas semua bantuanmu," kata Pak Bakir.
"Aku pamit Mas."
"Iya, Dik."
Sepeninggal Dika, Pak Bakir kembali merasa bersalah. Karena dia anak dan istrinya menjadi terlunta-lunta. Istrinya harus kerja di Jakarta dan anaknya terpaksa menumpang di rumah tetangga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments