"Ibu, beneran mau pergi?" tanya Nabila.
"Iya, Bil. Ibu sudah benar-benar gak kuat hidup di sini," kata Ibu sambil memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam sebuah koper usang.
"Terus bagaimana nasib Bila kalau Ibu pergi?" tanya Bila sedih.
"Bila kan sudah besar, sudah kelas 9 lho, sudah bisa mengurus diri sendiri, kan? Nanti, setiap bulan ibu akan kirim uang."
"Tapi Bu, Bila gak mau sendirian di sini, takut."
Bila mulai terisak, tapi tak menggoyahkan niat Ibu untuk mencari kerja ke luar kota.
"Kenapa harus takut, Bila? Di sini aman lho. Tetangga kan juga pada baik sama kita. Cuma gara-gara ulah bapakmu saja mereka jadi sering ngomongin kita."
"Tapi, Bu..."
"Dengar ya, Bila! Bagaimanapun Ibu harus pergi. Ibu harus kerja untuk bisa menghidupi kita berdua. Kamu tau sendiri kan, bapakmu bisa saja dipenjara untuk waktu yang lama. Kita tidak bisa lagi mengandalkan bapakmu, Bila bisa paham kan maksud, Ibu?"
Ibu sudah selesai mengemasi barang-barang yang akan dibawanya. Tidak banyak memang, sekedarnya saja. Ibu duduk di tepi tempat tidur sambil mengelus rambut panjang Bila.
"Bila harus tabah ya, Nak. Kita akan berjuang bersama. Bila fokus sama sekolah Bila, sementara Ibu akan bekerja untuk biaya sekolah Bila."
"Apa Bila harus tinggal sendiri, Bu? Tak bisakah Bila tinggal dengan Mbah Kung dan Mbah Uti?" tanya Bila memelas.
"Dua bulan lagi Bila sudah akan lulus SMP, setidaknya Bila tinggal sendiri cuma selama itu. Nanti setelah lulus, baru Bila bisa pindah ke rumah Mbah Kung dan Mbah Uti untuk melanjutkan SMA di sana."
"Tapi, Bu..."
"Ayolah Bila, ini jalan satu-satunya yang bisa kita tempuh, Nduk. Bila bisa mengerti kan maksud, Ibu?"
"Iya, Bu, Bila mengerti."
"Ibu sudah pesen sama Bulek Winda, buat ngawasin kamu selama Ibu gak ada. Kalau ada apa-apa, Bila minta bantuan saja pada Bulek Winda ya, Sayang!"
Nabila hanya mengangguk tanda mengerti pesan Ibu.
"Kapan Ibu akan berangkat?"
"Besok pagi Ibu akan berangkat. Ibu udah pesan sama Paklek Dika buat ngantar Ibu ke stasiun."
"Di Jakarta Ibu mau tinggal di mana?"
"Ada saudara Ibu, keponakan Mbah Uti, yang tinggal di Jakarta. Namanya Bulek Murni, apa kamu masih ingat sama Bulek Murni, Bil?"
"Kayaknya Bila udah lupa Bu, Bila gak ingat punya saudara yang namanya Bulek Murni," kata Bila setelah beberapa saat mengingat.
"Emang Bulek Murni sudah lama tidak pulang kampung, sejak bapaknya, Mbah Kung Parto, meninggal. Sepertinya sudah lebih dari sepuluh tahun."
"Kalau begitu, pantes aja Bila lupa sama Bulek Murni. Memangnya Bulek Murni kerja apa di Jakarta Bu?"
"Katanya sih Bulek Murni buka warteg, dan warteg nya cukup ramai. Jadi Ibu bisa kerja bantu-bantu di sana."
"Berarti Ibu sudah menghubungi Bulek Murni?"
"Sudah, Nduk. Makanya Ibu jadi nekad pergi ke Jakarta, karena Bulek Murni udah janji buat nampung Ibu di sana."
"Semoga saja kita bisa melewati semua ini ya, Bu. Dan Tuhan berkenan kita segera berkumpul kembali."
"Amin. Kamu doakan Ibu ya, Nduk, supaya usaha Ibu lancar, dan kita dapat bersama kembali," kata Ibu sambil memeluk Nabila.
"Iya Bu, kita akan sama-sama berdoa. Doa orang benar kan sangat besar kuasanya."
"Ya sudah, sekarang kita istirahat. Ini malam terakhir kamu bisa bobok sama Ibu. Besok Ibu kan sudah akan berangkat ke Jakarta."
"Bila akan sangat merindukan Ibu."
Mereka berdua tertidur dengan saling berpelukan, mungkin untuk waktu yang lama, tak akan dapat melakukannya lagi.
Sementara itu di penjara, Pak Bakir tidak dapat memejamkan mata di dalam sel tawanannya. Selain dingin dan banyak nyamuk, sesekali ada juga kecoak yang melintas menganggu tidurnya.
Pak Bakir menghabiskan waktu dengan duduk termenung di pojokan ruang tahanan. Sesekali Pak Bakir melihat tikus mengintipnya dari celah tembok yang berlubang. Pak Bakir bergidik ngeri membayangkan saat dia tidur tikus-tikus itu merambat ke tubuhnya yang kedinginan.
"Pak Bakir, kok belum tidur, Pak," tegur Pak Arman mengagetkan Pak Bakir.
"Saya gak bisa tidur, Pak, banyak nyamuk dan kecoak juga."
Pak Arman mengambil obat nyamuk oles dari dalam tas kecil yang dibawanya, kemudian memberikannya pada Pak Bakir.
"Ini, Pak, saya punya obat nyamuk oles," kata Pak Arman.
"Wah terima kasih banget ya, Pak. Ini obat anti kecoak dan tikus juga gak, Pak?" tanya Pak Bakir polos.
Pak Arman tertawa mendengar pertanyaan Pak Bakir.
"Ya saya kurang tau, Pak, tulisan di bungkusnya cuma tertulis anti nyamuk aja sih. Gak ada tulisan anti kecoak dan tikus," kata Pak Arman masih tertawa.
"Kalau gitu, biar saya coba dulu, Pak. Nanti hasil penelitian saya, akan saya sampaikan ke Pak Arman," kata Pak Bakir serius.
Pak Arman kembali tertawa mendengar omongan Pak Bakir.
"Iya, Pak, nanti kasih laporan yang lengkap ya, Pak! Supaya bisa saya teruskan laporan Bapak ke produsen obat nyamuk oles ini. Siapa tau mereka akan ngasih reward buat Bapak," kata Pak Arman.
"Serius, Pak? Emang bisa kayak gitu?" tanya Pak Bakir penasaran.
"Ya saya gak tau pasti sih Pak. Tapi kan lebih baik di coba dulu, sapa tau berhasil, iyakan?" kata Pak Arman.
Pak Bakir hanya manggut-manggut, padahal dia tidak begitu mengerti, apa maksud Pak Arman.
"Pak Bakir gak bisa tidur pasti karena kangen anak istri ya, Pak?" tanya Pak Arman.
"Kok Bapak bisa tau sih?" tanya Pak Bakir.
"Cuma nebak aja sih, Pak. Bapak belum pernah kan, pisah lama dengan anak istri?" tanya Pak Arman lagi.
"Sejak saya menikah dan punya anak, belum pernah sih, Pak. Kami selalu ke mana-mana bersama," kata Pak Bakir sedih.
"Pasti berat banget ya, Pak? Sebenernya saya gak percaya sih, kalau Pak Bakir itu sanggup menghilangkan nyawa seseorang. Kalau secara tak sengaja sih masih mungkin. Tapi kalau secara sengaja, menurut saya tidak mungkin," kata Pak Arman berpendapat.
"Dari awal juga kan saya bilang, Pak, kalau saya ini memang gak bersalah. Pihak kepolisian saja yang salah tangkap," kata Pak Bakir sedih.
"Ya mudah-mudahan kasus Bapak ini cepat terselesaikan dengan tidak mengorbankan pihak yang memang gak bersalah ya, Pak," kata Pak Arman.
"Amin... Semoga saja, Pak. Saya sudah tidak betah berada di tempat ini, Pak. Saya kangen banget dengan Nabila, putri saya satu-satunya, Pak," kata Pak Bakir.
"Kangen putrinya apa ibunya, Pak?" tanya Pak Arman sambil tersenyum.
"Ya dua-duanya sih, Pak. Yang saya pikirkan tuh, selama saya di sini, siapa yang cari nafkah buat mereka. Istri saya kan gak bekerja, Pak," kata Pak Bakir semakin sedih.
"Apa Bapak gak punya uang tabungan?" tanya Pak Arman.
"Punya Pak, tapi cuma sedikit. Istri saya juga punya sedikit perhiasan, yang dulu dibelinya sebelum menikah sama saya. Penghasilan saya sebagai tukang ojek, kan hanya cukup buat makan aja, Pak," kata Pak Bakir.
"Berarti masih ada yang bisa digunakan istri Bapak untuk mencukupi kebutuhan sementara ini. Ya mari kita berdoa saja, Pak, supaya kasus Bapak cepat selesai dan Bapak terbukti gak bersalah," kata Pak Arman.
"Iya, Pak, terima kasih ya buat doanya," kata Pak Bakir tulus.
"Ya udah, sekarang Bapak istirahat saja dulu. Saya mau lanjut patroli nih, semoga Bapak bisa tidur dengan nyenyak. Tidak lagi di ganggu nyamuk, kecoak dan tikus," kata Pak Arman.
"Iya, Pak, sekali lagi terima kasih, Bapak sudah ngasih saya obat nyamuk oles ini. Mudah-mudahan saya dapat tidur nyenyak tanpa terganggu," kata Pak Bakir.
"Semoga obat nyamuknya manjur ya, Pak. Saya pamit dulu," kata Pak Arman.
"Iya, Pak, selamat menjalankan tugas," kata Pak Bakir.
"Terima kasih, Pak Bakir," kata Pak Arman.
"Iya sama-sama, Pak Arman," jawab Pak Bakir.
Pak Arman meninggalkan ruang tawanan Pak Bakir dan melanjutkan kembali berpatroli. Sementara Pak Bakir mengoleskan obat nyamuk ke tubuhnya yang tidak tertutup pakaian dan merebahkan dirinya. Tak lama kemudian, Pak Bakir pun tertidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Adinda Ramadhanti
lanjut
2024-05-10
0