"Bagaimana Bro, aman gak?" tanya Sueb.
"Sejauh ini sih masih aman, Bro, tapi aku kasian juga sama istri dan anaknya," kata Dika.
"Udah, gak usah mikirin orang, mikir diri sendiri aja!"
"Kamu enak, gak kenal sama mereka. Lha aku? Mereka itu sudah kayak saudara."
"Terus mau gimana lagi, waktu gak bisa diulang, kan?"
"Makanya, biar gak merasa bersalah banget, aku akan merawat anaknya."
"Terserah kamu aja deh, Bro. Lakuin aja apa yang membuat hatimu damai."
Sueb tak mengerti jalan pikiran Dika, menurutnya rekannya itu seorang pria yang lembek.
"Mana ada orang bersalah yang merasa damai? Yang ada, kemana-mana dihantui oleh kesalahan yang dilakukan."
"Terus kita harus bagaimana lho, Bro? Apa kita harus menyerahkan diri ke polisi, dan mengaku membunuh wanita itu?" tanya Sueb.
"Entahlah, bagai makan buah simalakama aja. Dimakan, keluargaku sengsara, gak dimakan, aku yang sengsara."
"Umpama nih ya, Bro, waktu itu yang muncul di sini bukan dia, apa kamu gak merasa bersalah?"
"Mungkin kalau orangnya gak aku kenal, atau cuma sekedar kenal tapi gak terlalu akrab beda lagi ceritanya. Aku gak merasa terlalu terbeban, lha ini tetanggaku lho, tetangga paling dekat malah," kata Dika sedih.
"Anggap aja nasibnya lagi buruk, Bro," kata Sueb enteng.
"Dan nasib buruk itu karena kita, Bro," bantah Dika.
Sueb terpaksa diam, dia males banget berdebat dengan partner kerjanya. Bagaimanapun, Sueb sangat membutuhkan Dika, tanpanya, pekerjaan Sueb akan gagal.
"Terus, kapan lagi nih, Bro, kita mulai beraksi lagi?"
"Aku belum siap, kalau kamu mau bersolo karier, ya silakan!"
"Kamu sih enak, meski gak beraksi, masih punya penghasilan. Selain istrimu yang jadi bidan, kamu juga punya bengkel komputer."
"Harusnya kita alih profesi kali ya, Bro, cari kerjaan lain yang gak nyusahin orang. Pernah gak kamu kepikiran seandainya kita yang jadi korban?" tanya Dika.
Sueb tercenung mendengar pertanyaan Dika. Rasa bersalah mulai menjamah hatinya. Selama ini, mereka sadar, cara mereka mencari rejeki itu tidak halal, serta merugikan orang lain.
"Aku cuma tamatan SD, gak punya kemampuan lain, cuma kerja kayak gini aja."
"Nanti kita cari solusi bareng-bareng ya, Bro. Untuk sementara, kamu boleh deh bantu-bantu di tempat servis ku!"
"Makasih deh, Bro, bukannya nolak sih. Aku merasa gak enak aja, apa sih yang bisa ku kerjain di tempat servis mu?"
"Ya kamu bisa mulai belajar servis lah, Bro. Masa belajar masak sih?" tanya Dika kesal.
"Iya deh, Bro, nanti ku pikir-pikir dulu ya."
"Oke deh, kapanpun kamu siap, datang aja ke tempat servis ku!"
"Iya, Bro. Aku pamit dulu deh, Bro, nanti ku hubungi lagi kalau aku udah memutuskan."
"Iya, kedatangan mu akan selalu ku tunggu. Hati-hati di jalan, Bro, banyak orang yang doanya jelek ke kita, ingat itu!" kata Dika sambil tertawa.
Sueb melambai dan meninggalkan tempat itu.
Dika pulang ke rumahnya. Di teras depan dia melihat Bila sedang menemani Tasya anaknya main boneka.
"Haloo, Papa pulang nih, ada gak yang kangen sama Papa?"
"Ehh Papa udah pulangg..." Tasya menghambur ke arah Papanya.
"Mama mana, Sayang?" tanya Dika sambil mengendong anaknya.
"Mama tadi katanya mau pergi sebentar, tapi Tasya lupa tadi Mama bilangnya mau pergi ke mana. Papa tanya aja deh sama Kak Bila!"
"Bulekmu kemana, Bil?"
"Pergi arisan di rumahnya Bu Camat, Paklek."
"Oh, kirain kemana tuh bulekmu. Ini Tasya udah makan?"
"udah, Pa. Tadi makan bareng sama Kak Bila."
"Yaudah kalau begitu, bagus deh. Papa mandi dulu deh ya, bau acem nih Papa," kata Dika sambil menurunkan Tasya.
"Iya bener, bau Papa acem," kata Tasya sambil menutup hidung.
Dika tertawa melihat ulah anaknya yang mengemaskan, dicubitnya pipi Tasya yang gembil. Pandangan Dika, terpaku pada Bila, gadis itu tampak melamun.
"Bil, kamu mau kalau abis ini kita bertiga jalan-jalan?"
"Mau jalan-jalan kemana, Paklek?"
"Kalau ke tempat bapakmu, mau?"
"Mau banget, Paklek. Aku sudah sangat rindu pada Bapak."
"Kalau gitu, Paklek mau mandi dulu, kamu gantiin baju Tasya! Setelah itu, kita berangkat ketemu bapakmu."
Seketika wajah Nabila tampak ceria, gadis itu mengandeng Tasya, mengajaknya masuk untuk bertukar pakaian.
Sampai di penjara, Nabila segera berlari untuk memeluk bapaknya, ketika pria tua itu tiba di ruang berkunjung.
"Pakk.... Bila kangen banget sama Bapak," kata Bila sambil mencium tangan Pak Bakir.
"Sama, Bapak juga kangen banget sama kamu."
Pak Bakir memeluk anak gadisnya erat, untuk melepaskan kerinduan yang terpendam.
"Bapak gak kangen sama Ibu?"
Pak Bakir tampak sedih mendengar pertanyaan anaknya, pria itu sangat merindukan istrinya. Perpisahan saat ini, adalah perpisahan paling lama, sejak mereka menikah.
"Kok Bapak malah melamun sih?"
"Bapak sangat merindukan Ibumu. Tapi gak mungkin kan buat Bapak ketemu sama Ibumu?" Pak Bakir balik bertanya.
Nabila menghela nafas berat. Teringat lagi saat-saat keluarga mereka masih bersama. Meskipun jauh dari kata kaya, mereka tak pernah merasa kekurangan. Mereka selalu bersyukur dengan rejeki yang diberikan oleh Tuhan.
"Ibumu udah kasih kabar Nduk?" pertanyaan Pak Bakir membuat Bila tersadar dari lamunan.
"Sudah Pak. Ibu sekarang bantuin Bulek Murni dagang di warteg. Kata Ibu sih wartegnya rame, makanya Ibu jarang punya kesempatan untuk telpon Bila."
"Ibumu kerasan ya, kerja di sana? Kota besar, pasti rame, gak sepi kayak di sini."
"Sebenernya Ibu juga gak kerasan, tapi mau gimana lagi, terpaksa."
"Maafkan Bapak ya, Ndhuk! Karena kesalahan Bapak, kalian berdua menderita."
Pak Bakir menghembuskan napas, membuang beban yang membuatnya sesak.
"Bapak gak salah, ini cuma salah paham saja kok."
"Kamu percaya kan, kalau Bapak gak bersalah?"
"Bila selalu percaya pada Bapak."
Pak Bakir menarik anaknya dalam pelukan, keduanya sama-sama menangis, menangisi takdir kejam yang memisahkan keluarga mereka.
Sementara itu di Jakarta, Bu Bakir tampak sibuk membantu di warung sepupunya yang sedang ramai. Tugasnya adalah memasak dan mencuci piring. Sementara Bu Murni sepupunya sibuk melayani pembeli di garis depan.
"Mbak nasi di sini udah habis. Apa yang di belakang udah matang?" tanya Bu Murni.
"Udah, Dek. Sebentar lagi Mbak bawa ke situ."
"Goreng lagi tempe sama tahunya, udah hampir habis nih, Mbak!"
"Tenang aja, udah Mbak goreng kok."
"Wah Mbak ini cekatan sekali, seneng aku di bantuin sama Mbak," kata Bu Murni senang.
"Abis ini, aku ngapain lagi, Dek?"
"Sayur lodeh nya tinggal dikit sih Mbak. Bahan untuk lodeh di dapur masih ada?"
"Masih ada, sekarang masak sayur lodeh?"
"Iya Mbak, itu dulu aja. Hampir habis soalnya," kata Bu Murni.
Bu Bakir tampak sibuk menyiapkan bahan-bahan untuk membuat sayur lodeh. Bu Murni memperhatikan sepupunya itu dari jauh. Ada rasa iba setiap kali mengingat kemalangan yang menimpa keluarga sepupunya itu.
"Besok kita libur aja ya Mbak, aku capek jualan mulu," keluh Bu Murni.
"Aku sih manut aja Dek, kan bosnya tuh kamu, bukan aku," kata Bu Bakir sambil tertawa.
"Emang Mbak gak kepengen gitu, jalan-jalan. Mumpung di Jakarta lho Mbak," kata Bu Murni.
"Ya kamu aja Dek yang jalan-jalan sama suami dan anak-anakmu. Mbak gak ikut, biar Mbak jaga rumah aja," kata Bu Bakir.
"Lha kok gitu sih Mbak? Masa kami jalan-jalan, seneng-seneng, Mbak malah milih di rumah aja. Kan gak seru Mbak," kata Bu Murni.
"Ya mau gimana lagi Dek, aku disini jalan-jalan, anakku di kampung sendirian, ikut sama orang. Rasanya aku gak tega aja sih Dek," kata Bu Bakir sedih.
Bu Murni tercenung mendengar perkataan sepupunya itu. Dia lupa kalau sepupunya itu sedang jauh dari anak gadisnya. Sementara suaminya ada di penjara. Pasti sangat tak enak baginya sedang bersenang-senang, sementara anak dan suaminya menderita.
"Maaf ya Mbak, aku sudah membuat Mbak merasa sedih," kata Bu Murni.
"Gapapa kok Dek, jangan kepikiran ya! Aku sudah bisa menerima semuanya dengan iklhas kok. Jadi udah terbiasa, dan gak sedih lagi," kata Bu Bakir.
"Baguslah Mbak kalau seperti itu. Murni senang melihat Mbak juga senang. Gimana kalau Bila kita bawa ke sini aja Mbak? Biar sekolah SMA di sini?" usul Bu Murni.
"Ya jangan Dek. Kamu kan tau sendiri, bapak dan emakku udah tua. Sementara aku ini anak satu-satunya, kalau gak ada yang muda yang mengawasi kan aku khawatir Dek. Kalau ada Bila di sana kan bisa cepat kasih kabar kalau ada apa-apa sama Mbah nya," kata Bu Bakir.
"Iya juga ya Mbak, aku kok gak mikir sejauh itu. Maaf ya Mbak," kata Bu Murni.
"Lha kenapa kamu minta maaf sih Dek? Kan kamu gak salah," kata Bu Bakir tertawa.
"Iya juga ya Mbak. Haduh error nih aku kayaknya karena kecapekan," kata Bu Murni.
"Ya udah, kita istirahat aja kalau gitu Dek," ajak Bu Bakir.
"Ayuk deh Mbak," Bu Murni mengikuti Bu Bakir yang masuk ke kamar untuk istirahat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments