Airin Kharani Putri, 23-tahun.
***
Setelah hampir seharian membersihkan bagian dalam rumah. Sore hari ini Airin membersihkan halaman depan rumahnya yang sudah dipenuhi oleh rumput liar dan dedaunan kering.
"Airin!!" pekik seorang pejalan kaki dengan suara terkejut.
Airin yang sedang menyapu itu menoleh ke arah datangnya suara. "Sarah!"
Wanita berpenampilan modis yang mengenakan rok selutut, dengan atasan blouse berwarna biru itu melangkah memasuki halaman rumah Airin. Mereka adalah teman dekat yang tidak pernah bertemu lagi semenjak Airin diperistri oleh Galang.
"Ya, ampun, Airin! Aku kangen banget sama kamu!" pekik Sarah seraya memeluk Airin.
"Aku juga kangen kamu, Sarah!" Airin membalas pelukan rindu temannya itu.
Setelah beberapa saat Sarah pun mengurai pelukannya. Lalu manik mata Sarah memindai penampilan Airin dari ujung kaki sampai ujung rambut. Semuanya masih sama, tidak ada yang berubah dengan penampilan Airin.
"Kamu kok masih gini-gini aja sih, Rin?" tanya Sarah tanpa maksud menyindir.
"Gini-gini, gimana?" Airin mengkerutkan dahi.
"Ya, nggak ada yang berubah sama penampilan kamu. Kamu kan punya suami kaya, aku pikir kamu sudah berubah jadi wanita sosialita dengan segala penampilannya yang glamour itu, makanya kamu jadi nggak mau lagi datang ke sini lagi," celutuk Sarah.
Airin tersenyum hambar, pernikahannya dengan Galang bukanlah pernikahan bahagia seperti yang dipikirkan orang-orang.
"Aku masih tetap seperti ini, Sar. Dan kenapa aku nggak pernah datang ke sini? Itu karena mantan suami aku nggak pernah kasih aku izin untuk ke sini," jelas Airin.
"Mantan? Apa maksud kamu?" tanya Sarah heran.
"Panjang ceritanya. Masuk, yuk! Nanti aku bakal cerita sama kamu," ajak Airin.
Sarah mengangguk setuju, mereka pun masuk ke dalam rumah. Airin meninggalkan Sarah di ruang tamu, untuk pamit ke dapur sebentar.
Beberapa menit kemudian Airin kembali dengan membawakan 2-gelas teh hangat di tangannya, dia letakkan minuman itu di atas meja sebelum mendudukkan diri di samping Sarah.
Airin menghela napas berat, lalu mulai menceritakan semua yang dia alami selama pernikahannya dengan Galang, sampai akhirnya dia diceraikan setelah memergoki Galang bermain gila dengan adik tirinya.
"Ya, Tuhan ... iblis banget ya mereka!" Sarah ikut merasa panas setelah mendengar cerita Airin.
Sebagai teman dekat Airin, Sarah memang sudah banyak tahu tentang kelakuan busuk ibu dan adik tiri Airin itu.
"Kamu sekarang kerja di mana?" tanya Airin mengalihkan pembicaraan.
"Aku kerja di proyek pembangunan apartemen di ujung kampung kita tuh, bagian pemasaran. Ya gajinya lumayan sih, semenjak kerja di sana aku bisa nabung dikit-dikit. Apalagi misalkan ada unit yang kejual, insentifnya juga lumayan besar," papar Sarah.
"Terus kalau nanti pembangunan apartemennya sudah selesai dan unitnya sudah laku semua, apa kontrak kita langsung diputus?" tanya Airin.
"Bisa jadi iya, bisa jadi nggak. Tergantung kinerja kita juga sih, kalau kinerja kita bagus, masih ada kemungkinan untuk ditarik ke kantor pusat. Lagian aku belum mikir ke sana sih, karena proyeknya itu masih lama. Mereka itu lagi membangun kota mandiri, Airin. Nanti di dalamnya ada komplek perumahan elit, Mall, rumah sakit, pokoknya lengkap deh, nggak cuma gedung apartemen doang. Jadi ya, untuk tiga sampai empat tahun kedepan ini kerjaan aku masih aman."
Airin mengangguk-angukkan kepalanya. "Kira-kira di sana masih ada lowongan nggak? Aku bingung nih mau kerja apa?"
"Kurang tau sih! Tapi kalau kamu memang mau, besok aku coba tanyain sama atasan. Aku bakal bantu kamu sebisa mungkin," ujar Sarah.
Airin mengembangkan senyumnya. "Makasih ya, Sar. Kamu emang best friend aku!"
"Nggak usah sungkan gitu kali, Airin ... aku coba dulu, ya. Semoga aja masih ada lowongan buat kamu."
Airin mengangguk. Berjam-jam mereka mengoborol santai, sampai lupa waktu. Hari sudah semakin sore, matahari pun mulai terbenam di peraduannya, dan Sarah akhirnya pamit pulang.
***
Keesokan harinya Airin pergi belanja kebutuhan pokok ke pasar terdekat, dia harus berhemat karena uang yang ia miliki juga tidak banyak.
"Eh, bukannya kamu Airin, ya?" celutuk seorang wanita.
Airin menoleh ke arah suara yang datang dari samping. Tampak dua orang wanita berpenampilan menor, yang berumur sekitar 40-tahunan sedang memandangi Airin dengan tatapan aneh.
Tentu saja tatapan aneh itu karena penampilan Airin yang tidak berubah, tetap culun seperti sebelumnya, meski sudah diperistri oleh orang kaya.
"Eh, Tante Endang sama Tante Santi," sapa Airin ramah pada dua wanita yang tak lain adalah warga kampungnya itu. "Iya saya Airin, Tante berdua apa kabar?"
"Kalau kita sih seperti yang kamu lihat, terus menjadi semakin cantik setiap harinya. Ya kan, Jeng?" ujar bu Santi kepada temannya.
"Ho'oh, nggak seperti kamu yang penampilannya gini-gini aja," sahut bu Endang sambil memandangi Airin dengan tatapan merendahkan.
"Kirain setelah jadi istri orang kaya, kamu itu penampilannya bakal berubah. Ya ... seenggaknya jadi bisa dandan dikit, lah! Emangnya nggak malu sama status?" imbuh bu Santi.
"Saya nyaman dengan penampilan saya yang seperti ini, Tante ... dan saya nggak ada masalah!" ujar Airin dengan nada yang ditekankan.
"Iya sih, namanya juga udah bawaan orok, pasti susah mau berubah mah!" cibir bu Santi.
"Eh, ngomong-ngomong kamu kapan balik ke sini? Suami kamu mana? Masa iya sih istrinya dibiarin belanja di pasar tradisional seperti ini, kan biasanya orang kaya itu belanjanya di supermarket," cecar bu Endang.
Airin tersenyum hambar, lalu menyahut perkataan bu Endang. "Saya sudah pisah dengan suami saya, Tante. Makanya saya balik ke sini."
"Maksud kamu cerai?" tanya bu Santi dengan mata membola, dan Airin pun menganguk.
"Nggak usah kaget gitu kali, Jeng!" Bu Endang menepuk bahu bu Santi sebelum melanjutkan ucapannya, "Kamu lihat, penampilan si Airin aja seperti ini, ya wajar kali diceraikan suaminya, orang Airinnya nggak bisa ngurus diri!"
"Ho'oh, apalagi orang kaya. Pasti malu dong punya istri model beginian!" Bu Santi menambahkan.
Airin menghela napas jengah, telinganya mulai panas mendengar celotehan dua wanita julid ini.
"Maaf ya, Tante. Saya pamit dulu mau lanjut belanja," ujar Airin hendak membalikkan tubuhnya untuk menjauh dari duo ember itu.
"Eh, Airin ... tunggu bentar dong!" panggil bu Santi.
"Apa lagi, Tante?" sahut Airin mulai kesal.
"Tante ingatin nih, ya ... lebih baik kamu itu belajar dandan dari sekarang. Kalau begini aja, gimana mau laku lagi?" celutuk bu Santi.
"Ho'oh, kamu itu masih muda lho, masa iya mau jadi janda sampai tua!" tambah bu Endang.
Airin mendecakkan bibirnya karena rasa kesal yang sudah memuncak di ubun-ubun. "Tante, dengar baik-baik, ya ... saya nyaman dengan penampilan saya yang seperti ini. Kalaupun saya akan jadi janda seumur hidup, itu urusan saya, dan juga nggak merugikan Tante sama sekali, Kan?"
"Yeee ... dikasih saran malah ngeyel!" kesal bu Santi dan bu Endang bersamaan.
Airin berbalik badan, lalu meninggalkan kedua wanita ember itu dengan perasaan kesal. Memang sejak kecil Airin sudah terbiasa menjadi objek hinaan orang-orang di sekitarnya.
Airin tidak mengerti, entah apa untungnya bagi orang-orang itu merendahkan dirinya, kepuasan batin, kah?
Bersambung.
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan memberi like dan kementarnya, ya.
Terimakasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
martina melati
maaf lho, bukan menghina y... hrsny berubah biar suami gk tergoda sm yg lain
2025-02-22
0
Jupilin Kaitang
cantik pula si arine tu
2022-09-30
0
Dwi Sasi
Penulisnya cowok tapi kok menghayati banget ibu2 julid ya😂
2022-09-27
0