“Kapten, tim forensik baru saja menemukan bukti penting!” Seorang polisi wanita berlari terangah-engah mengejar pria tua yang dia panggil Kapten.
“Bianca. Ada apa?” Ujar kapten tua itu.
“Tim forensik sudah menemukan bagaimana pelaku keluar-masuk tempat kejadian.” Jawab wanita itu atas pertanyaan kaptennya.
“Apa? Segera panggil anggota tim lain.”
“Baik Kapten.” Wanita itu pun segera mengambil telepon genggamnya dan menelepon ketiga orang anggota tim lainnya.
Di ruangan itu di sebuah meja lonjong, berkumpul 4 orang anggota tim penyelidik kasus pembunuhan di Sungsin Security. Orang yang tidak hadir adalah Fero yang sedang mengintai gerakan mencurigakan Kaiser.
“Telah dipastikan bahwa pembunuh masuk dan keluar gedung melalui pembatas pagar bagian belakang.”
“Apa maksud kamu? Bukankah di sana ada jurang? Dono segera menginterupsi wanita itu.
“Itu benar. Makanya tim forensik sebelumnya juga tidak menduga hal ini. Namun mempertimbangkan pelaku adalah pembunuh profesional dengan kondisi mayat korban, kami memperluas penyelidikan kami untuk menemukan kemungkinan pelaku mampu melewati jurang untuk keluar dari gedung. Dan hasilnya…”
“Klik.” Suara monitor besar yang menyala terdengar.
Di monitor itu, terpampang gambar pembatas pagar setinggi 10 meter. Di salah satu bagian atas pembatas pagar itu, terdapat goresan yang dalam.
“Pelaku kemungkinan keluar dengan memanjat tali, melewati pagar, dan turun ke jurang. Di dekat jurang itu pula, tim forensik menemukan bekas jejak ban sepeda motor. Tapi karena sudah terlalu lama, jejaknya agak buram dan sulit untuk diidentifikasi.” Lanjut Bianca dengan ekspresi sedikit kecewa.
“Wah, pelakunya sangat lincah. Dia pasti mempunyai badan yang ringan. Oh iya, ngomong-ngomong bukankah kebanyakan korban dibunuh dengan digorok lehernya dengan sayatan mengarah ke atas?” Dono dengan cepat mengemukakan pendapatnya di sela-sela presentasi Bianca.
“Ya, itu benar. Empat puluh sembilan dari 59 korban mengalami hal yang demikian.” Mono menjawab pertanyaan Dono.
“Bukankah itu ciri-ciri jika pembunuh lebih pendek dari korban?” Ucap Dono seraya mengusap dagunya dan tersenyum sinis.
“Pelaku bisa saja sengaja menekuk kakinya untuk menghindari serangan balik korban atau ancang-ancang dalam melancarkan serangannya.” Sanggah Kapten Danielo terhadap komentar Dono.
“Mungkin saja. Tetapi sayatannya sendiri dari kiri ke kanan, bukankah itu ciri-ciri pelakunya kidal? Tubuh yang ringan, lebih pendek dari korban yang rata-rata 180 cm, kidal, bukankah itu mengarah kepada seseorang?” Dono mengeluarkan pendapatnya disertai senyum sinis sambil menatap ke arah Bianca.
“Apa yang ingin Anda katakan Saudara Dono?” Tanya Bianca marah.
“Tidak. Aku hanya penasaran, siapa yang bilang kemarin jangan subjektif menginvestigasi.” Dono mengatakan itu sambil menekuk salah satu sudut bibirnya.
“Paaak.” Bianca menepuk meja.
“Itu benar Saudara Dono. Makanya kita tidak boleh menyimpulkan sesuatu sebelum buktinya pasti. Seperti yang tadi dikatakan Kapten Danielo bahwa posisi sayatan ke atas tidak menjamin bahwa pelaku lebih pendek dari korban. Kemudian, orang gemuk pun kalau berlatih, maka badannya bisa lincah. Dan terakhir, orang yang kidal di dunia ini tidak hanya 1 orang saja.” Bianca mengatakan itu sambil menatap Dono dengan penuh kemarahan.
“Sudah. Sudah. Tidak perlu bertengkar. Mono, kamu coba selidiki ke mana perginya jejak ban sepeda motor itu. Cek CCTV terdekat. Bianca, kamu kembali selidiki lokasi di mana pelaku kemungkinan memanjat untuk melarikan diri. Siapa tahu ada DNA pelaku yang tertinggal di sana.
Dan kamu Dono, berhenti untuk selalu menyelidiki anak Pak Lucias Dewantara itu saja. Kamu cari informasi dari orang-orang terdekat korban baik itu Pak Widarno, istrinya, maupun anak mereka Aleka tentang orang-orang yang mungkin menaruh dendam pada mereka.” Ujar Kapten Danielo menengahi perdebatan sengit itu.
Mono tiba-tiba mengangkat tangannya sebelum Kapten Danielo menutup pertemuan itu.
“Maaf Kapten, apa ada kemungkinan bahwa ini adalah kasus serial killer?”
“Apa maksud kamu?” Tanya balik Kapten Danielo yang penasaran mengapa Mono bertanya seperti itu.
“Kartu delapan as sekop di mana salah satu lambang sekop di kartu dicoret yang tertinggal di samping mayat Aleka. Apa ini mengindikasikan bahwa target sebenarnya adalah Aleka dan semua korban lainnya dibunuh karena kebetulan berada di lokasi?
Apakah itu artinya pembunuh masih mengincar 7 target lagi? Jika ini ada kaitannya dengan kasus buli 2 tahun lalu, bukankah itu artinya orang yang terlibat dalam kasus buli itu sedang dalam bahaya Pak?” Mono dengan hati-hati mengutarakan pendapatnya.
Kapten Danielo terdiam sejenak kemudian mengambil keputusan.
“Aku akan menginfokan orang tua calon korban untuk lebih berhati-hati. Mereka itu anak royal, bukan orang-orang biasa. Orang tua mereka bisa menjaga mereka dengan lebih baik ketimbang kita.
Adapun satu pelaku buli lagi kalau tidak salah, bodyguard Silva, salah satu anak yang turut membuli korban. Kalau tidak salah, saat ini dia ditahan di negara asalnya Hongkong kan? Dia akan lebih aman di sana.
Kalau berurusan dengan luar negeri, kita tidak bisa apa-apa jika belum ada bukti yang autentik. Sementara kita awasi saja.” Jawab Kapten Danielo.
Pertemuan pun diakhiri dan masing-masing anggota tim mulai menjalankan tugas yang diamanahkan kepada mereka.
***
Seorang wanita putih tinggi berperawakan model membuka pintu dan masuk di salah satu ruangan VIP bar. Seorang pria berotot yang tinggi dan hanya mengenakan boxer sangat pendek menyambutnya.
“Nona Silva, selamat datang.”
“Oh, Jey, mana yang lain?
“Tuan Riandra dan Nona Rihana berkunjung tadi pagi. Tuan Araka juga tadi datang sekitar jam 7 malam, tetapi langsung pergi. Kalau Tuan Dirga dan Tuan Tirta seharian belum kelihatan.” Pelayan itu, Jey, menjawab setiap pertanyaan Silva dengan sopan.
Silva yang mengarahkan pandangan matanya ke Jey, tidak juga melepaskannya dan malah menatapnya semakin intens dari atas ke bawah.
“Hmm. Nona Silva? Ada apa? Ada sesuatu di badan saya?” Pelayan itu jadi bertanya-tanya melihat tingkah tidak sopan Silva itu.
“Tidak. Aku tiba-tiba saja berpikir bahwa kamu tipe idealku. Tinggi, berotot, dan juga berisi.” Ucap Silva dipenuhi nafsu.
Dia seraya meraba-raba perut pemuda itu. Pemuda itu segera menghindar dari jeratan Silva.
“Maaf Nona. Nona sebaiknya tidak melakukan ini.”
Seakan tidak mengindahkan ucapan pelayan itu, Sang Nona maju mendekat ke arah Sang Pelayan.
“Hei, mau jadi simpananku?” Tanya Nona nakal itu.
“Tidak, terima kasih Nona.” Jawab pelayan tegas.
Pelayan itu segera bergerak mundur, membungkukkan badannya dengan sopan, dan segera bergerak ke arah belakang Silva dan memandu Silva di mejanya.
“Tidak. Hari ini aku mau pulang saja.” Ujar Silva yang tampak kecewa karena keinginannya tidak dipenuhi.
Silva yang sudah bad mood duluan, segera melepaskan perhatiannya pada pemuda setengah telanjang itu dan bergegas pergi.
***
Pagi itu, Aliska pergi bekerja seperti biasanya. Kali ini, dia meliput berita yang bisa dibilang kecil di mana seorang tukang sampah tewas dipukuli massa karena kedapatan mencuri laptop. Namun, hal yang tidak diduganya terjadi pada hasil investigasinya di lapangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
anggita
silvia..😏
2022-02-19
2