Aleka yang baru pulang pagi hari setelah menghabiskan waktu semalaman berkeluyuran di tempat hiburan malam yang berbeda setelah pergi menahan kesal atas sikap arogan Araka padanya, masuk ke rumah dalam keadaan yang sempoyongan. Dia masuk ke rumah tanpa mengganti sepatunya dengan slipper dan hanya menggantungkan jaket kulitnya di dekat pintu masuk rumah.
Di saat itulah dia berpapasan dengan ayahnya, Pak Widarno.
“Puaaak!” Sebuah tinju yang cukup keras dilayangkan oleh Pak Widarno ke muka Aleka.
“Dasar anak bodoh! Bisakah kamu berhenti mempermalukan Ayah?! Kamu tahu betapa Ayah malu dengan kolega-kolega Ayah karena perbuatan kamu yang gegabah! Bisa tidak sekali saja kamu melakukan pekerjaan dengan benar?!”
“Itu karena orang tua-orang tua lainnya mengarahkan anak mereka dengan baik. Melindungi mereka dengan baik. Sedang lihat apa yang Ayah lakukan! Ketika saya berbuat baik Ayah hanya mengatakan itu sudah sewajarnya, tetapi ketika ada masalah, Ayah hanya memukul saya dan melampiaskan kesalahan semua hanya pada saya. Tidakkah Ayah tahu mengapa saya melakukan semua ini? Ini untuk meningkatkan nama baik saya di hadapan teman-teman yang merupakan anak kolega-kolega Ayah.” Ujar Aleka yang marah seraya membentak ayahnya.
“Kalau begitu lakukan pekerjaan dengan benar. Mengapa kamu sampai bisa ketahuan?!” Pak Widarno tidak mau kalah dan balas membentak putranya dengan suara yang lebih keras.
“Lantas, apa Ayah juga akan menyalahkan saya. Ya benar, semua salah saya karena saya bodoh, tidak seperti anak-anak yang lain.”
“Puaaak!”
Tanpa sadar, sebuah tinju dilayangkan oleh Pak Widarno kepada putranya itu. Aleka yang terjatuh setelah menerima pukulan ayahnya mencoba untuk bangkit dengan sempoyongan lantas berbalik ke arah pintu.
“Creaak!” Pintu pun terbuka.
“Kalau begitu, saya tidak pantas lagi ada di keluarga ini karena saya tidak dapat memenuhi kualifikasi Ayah. Selamat tinggal Ayah. Tidak usah mencari Aleka lagi mulai dari sekarang karena mulai sekarang Aleka bukan lagi bagian dari keluarga besar Putrawardhani.” Ucap Aleka yang sempoyongan. Ekspresi yang penuh derita batin tergambar dengan jelas di wajahnya.
“Keletok.” Pintu pun tertutup menghapus jejak Aleka dari hadapan ayahnya.
Pak Widarno menatap tajam ke arah pintu. Karena tak ada pelampiasan lain, dia pun akhirnya melampiaskan amarahnya itu dengan membanting barang-barang yang ada di sekitarnya.
***
Pukul 14.30 siang. Kaiser yang usai sekolah meminta supirnya dan Agni untuk pulang lebih dulu karena dia dan Andika akan pergi berdua untuk jalan-jalan di mall. Mereka berdua lebih memilih menggunakan tranportasi kereta listrik ketimbang naik mobil pribadi untuk ke sana.
Sesampainya di sana, tempat yang mereka tuju pertama kali tidak lain adalah Game Center. Setelah masuk ke tempat itu, tanpa basa-basi, mereka berdua langsung bermain. Andika menatap Kaiser. Tidak butuh 1 menit, Andika langsung bisa menyadarinya. Dari luar tampak ekspresi Kaiser baik-baik saja, namun sebagai sahabatnya, Andika bisa langsung mengetahui di saat kapan sahabatnya itu sedang gundah.
“Kamu baik-baik saja?” Diapun berusaha menanyakan kabar pada Kaiser.
“Ya tentu saja.” Jawab Kaiser singkat seraya tersenyum ramah.
Andika menatap Kaiser lalu menarik napas panjang dan menghembuskannya.
Andika seraya berkata, “Aku benar-benar benci orang-orang itu. Jelas-jelas mereka menggunakan kekuasaan mereka untuk mengontrol media. Lihat bagaimana media dihebohkan oleh berita dua orang selebriti saling jambak rambut dan melupakan kasus penyerangan rumah sakit. Pasti berat untukmu.”
Andika seraya merangkul sahabatnya yang terlihat pendek di matanya itu. Dia pun melanjutkan ucapannya, “Tapi kamu tahu? Aku akan selalu mendukungmu Kaiser.”
Kaiser melepaskan dekapan Andika di pundaknya itu agar dapat berbalik menatap mata sahabatnya itu. Kedua mata mereka pun saling bertemu.
“Keluargaku juga sedang menyusun langkah yang tepat untuk ini. Apa yang kamu khawatirkan? Keluargaku juga memiliki kekuasaan.” Jawab Kaiser tegas.
“Yah kamu benar. Hehehe.” Jawab Andika seraya menepuk keyboard game dan memalingkan wajahnya ke samping untuk menatap Kaiser lalu tertawa cerah.
Mereka bermain cukup lama di game center. Seiring waktu berjalan ketika mereka bermain, perlahan ekspresi Kaiser kembali cerah dan semangat. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan mereka sebelum pulang dengan shoping di toko alat tulis. Mereka cukup menikmati memilih-milih barang perlengkapan sekolah dan beberapa komik di sana lalu segera keluar toko seusai berbelanja.
“Ah, Kaiser. Kamu bisa pergi duluan ke depan pintu keluar mall. Saya ingin ke toilet dulu sebentar.” Andika mengatakan itu seraya bergegas ke belakang.
***
Kaiser memilih untuk keluar menggunakan pintu keluar belakang mall. Tanpa diduganya, dia bertemu Aleka yang sedang duduk melantai dan bersandar di dinding sambil memegang botol alkohol di tangannya sambil merokok.
Aleka lantas melepaskan botol alkohol di tangan kanannya kemudian berdiri. Dia mengisap kuat-kuat rokok yang ada di tangan kirinya kemudian menghembuskannya.
“Oya, oya, siapa yang kutemui ini? Ternyata Sang Tuan Muda teladan kita. Bagaimana ya jadinya jika muka yang cantik ini terkena pukulan mematikanku?” Ucap Aleka seraya tanpa aba-aba melayangkan tinjunya kepada Kaiser.
Kaiser menangkap tinju itu dengan sigap hanya dengan menggunakan tangan kanannya.
“Kreak!” Suara patahan tulang terdengar.
“Ahhhhhhhh! Lepaskan sialan!”
Aleka mengumpat Kaiser seraya melepaskan cengkeraman Kaiser dan mundur langkah demi langkah. Langkah demi langkah pula Kaiser maju untuk menyamainya. Aleka terus mundur hingga tanpa sadar telah berada di dinding. Dia kemudian duduk tersungkur. Kaiser yang masih berdiri pun, jadi tampak lebih akbar di sudut pandang Aleka yang terduduk.
“Tampaknya kamu sudah lupa pelajaranmu waktu itu ya? Mau aku habisi sekali lagi?” Ujar Kaiser seraya tersenyum dengan ekspresi sadis. Mata birunya berkilauan bagai nyala api, senyumnya lebar dengan gigi-gigi yang berkilau seakan siap menerkam mangsanya.
“Hah, tampaknya kamu lupa kalau aku ini juga anak konglomerat. Saya bukan orang gampangan seperti Dios yang bisa kamu buli seenaknya. Saya punya latar belakang keluarga yang kuat.” Kaiser mengucapkannya seraya melembutkan sedikit ekspresi kejamnya tadi seraya berlutut untuk menyamakan tingginya dengan Aleka. Kaiser lantas kembali tersenyum bengis.
“Apa yang mau kamu lakukan sialan?”
Kaiser mendekatkan bibirnya ke kuping Aleka seraya berkata, “Menurutmu apa yang akan lakukan?”
“Kamu?!” Aleka yang mendengar ucapan ambigu Kaiser lantas mengungkapkan ketidaksukaannya.
“Oh iya, bagaimana keadaan ayahmu? Apa Perusahaan Sungsin Group baik-baik saja setelah mengeluarkan uang ganti rugi yang besar?” Kaiser terus melanjutkan provokasinya kepada Aleka seraya tetap mempertahankan senyum bengisnya.
“Kamu!!!” Aleka semakin marah dan menggertakkan giginya, tetapi insting rasa takutnya kepada Kaiser mengalahkan emosinya. Dia pun akhirnya hanya berani menggonggong.
Sungguh pemandangan aneh di mana Kaiser yang berpostur sedang mampu memberikan tekanan aura yang begitu kuat sehingga membuat Aleka yang berbadan besar jadi menciut dan terduduk kaku.
“Hahahaha. Aku jadi penasaran melihat bagaimana reaksi Pak Widarno yang memiliki anak tak berguna sepertimu.
“Kamu!!!” Aleka menatap tajam ke mata Kaiser, tetapi malah dibalas Kasier dengan tatapan yang lebih tajam.
Aleka ketakutan sehingga membuat rokok yang ada di tangannya lantas jatuh ke pahanya. Aleka yang saat itu hanya mengenakan celana olahraga dengan lingkar paha yang longgar, tak dapat membendung api rokok mengenai kulit pahanya.
“Ahh!” Aleka berteriak kesakitan karena terkejut dengan sakit akibat panasnya api rokok yang mengenai kulitnya.
“Paaaaak!”
Kaiser lantas menginjak rokok tersebut bersamaan dengan paha Aleka.
“Aaaahhhhhhh!”
Jeritan kuat seketika dikeluarkan oleh Aleka.
“Oya, oya, Aleka yang malang, paha kamu pasti begitu sakit ya terkena arang dari rokoknya. Kamu sampai menjerit seperti itu. Sudah aku padamkan kok asap rokoknya. Kamu bisa tenang sekarang.” Ujar Kaiser seraya mendekatkan wajahnya yang masih berekspresi bengis itu ke wajah Aleka.
Mata biru Kaiser ditambah senyumnya yang bengis membuat Kaiser tampak seperti iblis sehingga begitu mengintimidasi Aleka. Detak jantung Aleka pun makin kencang ketika Kaiser yang semula menunjukkan ekspresi seperti iblis tiba-tiba tersenyum ramah di hadapannya.
Mata Kaiser pun tiba-tiba membelalak. Aleka yang melihatnya seketika menjadi shok dan, “Paaaaak!”
Belum sempat Aleka mencerna apa yang telah terjadi, tinju keras dilayangkan oleh Kaiser tepat di samping kepala Aleka. Tinju itu begitu kuat sehingga menimbulkan retakan di dinding. Kaiser sekali lagi mendekatkan wajahnya ke Aleka. Tangan kirinya menepuk bahu kiri Aleka. Bibir Kaiser perlahan mendekati kuping Aleka.
“Tunggu.”
“Apa?”
“Tunggu saja. Aku akan menghancurkan kalian sampai berkeping-keping sehingga hidup pun kalian akan merasa enggan.” Ucap Kaiser dengan mata biru dan senyumnya yang bengis bagai iblis.
Aleka berkeringat dingin dan mungkin karena kebanyakan minum, tanpa disadarinya urinenya membasahi celananya. Tubuhnya bergetar dengan hebat.
“Menjijikkan! Bisa-bisanya kamu pipis di depan umum.” Ucap Kaiser seraya menatap Aleka dengan penuh kejijikan.
Di tengah suasana mencekam itu, telepon Kaiser tiba-tiba berdering. Kaiser pun mengangkat telepon itu. Rupanya itu dari Andika.
“Kaiser, kamu ke mana? Aku sudah dari tadi menunggu di pintu keluar depan mall.”
“Ah, aku ada di pintu keluar belakang mall.”
“Kenapa kamu malah ke situ. Di situ berbahaya tahu! Banyak preman berkeliaran di sana. Bagaimana jika kamu dipukul oleh mereka? “
“Kamu terlalu khawatir. Bukannya aku akan diculik lalu dibunuh atau bagaimana.”
“Kamu ini. Apa yang kamu katakan? Tunggu di sana, saya akan segera menjemputmu ke sana.”
“Tidak perlu. Biar saya saja yang ke tempatmu.”
Kaiser lalu menutup telepon dan meninggalkan Aleka sendirian di sana. Aleka seketika semakin gemetar ketika mulut Kaiser mengeluarkan kata menculik dan membunuh.
“Dia akan membunuhku. Dia pasti akan membunuhku.” Kedua tangannya memegang kepalanya. Dia berusaha menundukkan kepalanya dan menyembunyikannya di balik kedua lututnya. Kondisinya benar-benar pecundang.
***
Di suatu ruangan bertuliskan 801, seorang pemuda dan seorang pemudi keluar dari ruangan. Tampak Sang Pemudi memperhatikan dengan tulus terhadap Sang Pemuda.
“Bagaimana Tuan Muda? Apakah jalan-jalannya menyenangkan?” Tanya Agni tampak mengambek.
“Ya, sangat menyenangkan. Aku akhirnya bisa melepaskan stress dengan bermain game [membuli Aleka] dan habis itu ke toko buku dan mengumpulkan souvenir cerita-cerita terbaru yang menarik [ekspresi pecundang Aleka]. Tapi ngomong-ngomong, kenapa kamu tampak mengambek gitu?” Kaiser balik bertanya mendapati ekspresi tidak wajar dari Agni.
“Soalnya Tuan Muda malah memilih Andika untuk jalan-jalan bersama Tuan Muda ketimbang saya.” Jawab Agni sambil merajuk.
“Agniku yang imut, ada beberapa hal yang hanya bisa dilakukan sesama cowok untuk bersenang-senang.”
[Duh Tuan muda bilang aku imut.] Gumam Agni dalam hati. Dia lantas tersenyum-senyum sendiri.
“Ya ampun anak ini.” Ujar Kaiser yang tak dapat menahan tawa melihat ekspresi imut dari Agni.
“Bagaimanapun aku senang melihat Tuan Muda dapat tersenyum seperti ini.” Agni pun menatap tuan mudanya baik-baik seraya memberikannya senyum penuh ketulusan.
“Terima kasih Agni. Aku berharap kita bertiga dapat tersenyum bersama-sama seperti biasa lagi.” Ucap Kaiser seraya menatap lembut pintu bertuliskan 801 itu.
Tentu bukan pintu yang dimaksudkannya, tetapi seorang pemuda yang ada di balik pintu itu. Tidak lain adalah sahabatnya Dios.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
gu hariʕ´•ᴥ•`ʔ
bapak Lucknut kurang asem, mangkanya Aleka jadi gk bener gitu
2022-06-03
2
anggita
creaak.. pintu terbuka., keletok.. pintu tertutup.😉
2022-02-19
3