Di suatu ruangan, tampak seorang kakek sedang mengguncang-guncangkan minuman untuk menyeduhnya. Tampak pula seorang pemuda yang hanya mengenakan boxer sangat pendek dan seorang gadis yang hanya mengenakan BH dan underwear sedang melayani 4 orang pemuda dan 2 orang pemudi yang duduk melingkar di sebuah meja.
“Hei, apa benar Aleka sudah mati?” Tanya Riandra sampil membaringkan kepalanya ke sisi kanan di kedua lengannya yang disilangkan di atas meja.
“Beritanya kan sudah di mana-mana. Untuk apa kamu tanya lagi.” Jawab Rihana seraya meneguk minuman beralkohol berwarna merah dengan sekali teguk.
“Ya itu aku tahu. Tapi aku dengar-dengar dia dibunuh.” Tanya Riandra lagi dengan tetap membaringkan kepalanya sambil menggoyang-goyangkan badannya ke depan dan ke belakang.
“Ya itu benar.” Jawab Rihana singkat sambil meletakkan kembali gelas yang telah habis ke atas meja untuk diisi ulang oleh pelayan.
“Siapa pelakunya?” Tanya Riandra lagi.
Tepat setelah Riandra mengeluarkan pertanyaan itu, Silva tiba-tiba menunjukkan gelagat tidak biasa. Gerakan tubuhnya menunjukkan ketidaknyamanan sambil berpura-pura tenang dengan meneguk minuman beralkohol di tangannya.
“Kaiser?” Jawab Rihana.
“Paaaaak!”
Silva seketika menampar meja dengan alas gelas.
“Apa itu mungkin? Dengan melihat kondisi mayat saja, kita bisa ketahui bahwa itu dilakukan oleh pembunuh profesional. Apa kalian pikir seorang siswa SMA yang bari kelas 1 mampu melakukan hal seperti itu.” Silva dengan emosi mengemukakan pendapatnya.
“Kenapa kamu selalu sensitif begitu mendengar dia dijelek-jelekkan? Kamu sebenarnya benci atau suka dengannya?” Sanggah Araka mendengar pernyataan Silva.
Mendengar hal itu, tampak Tirta mengeletupkan gigi-giginya seraya membelalakkan matanya pada wajahnya yang tertunduk memperhatikan kedua sepatunya.
“Apa maksud ucapanmu? Sejak kapan kamu berhak mengurusi urusan siapa yang kusuka atau tidak?”
“Jadi itu benar?”
“Tentu saja tidak. Dasar Araka goblok.”
“Maaf, maaf kalau itu salah. Tapi hanya sekedar mengingatkan, kamu sadar kan dengan posisi keluarga masing-masing?”
Senyum di wajah Araka mendadak berubah menjadi tatapan yang menakutkan, menatap wajah gadis berperawakan model itu. Silva tampak kaget dan tanpa disengajanya tersentak ke belakang.
“Well. Kembali ke topik, benar atau salah, ya, yang harus kita lakukan hanyalah harus membuatnya benar di mata publik. Bukankah itu tugas seorang wartawan? Berita masa lalu Sang Tuan Muda, rekaman CCTV di mall tepat sebelum kejadian, dan rekaman suara yang dipegang oleh asisten Pak Widarno saat kejadian, bukankah semua itu sudah merupakan bahan yang cukup untuk mengarahkan opini publik?” Sanggah Rihana seraya tersenyum penuh dengan kelicikan.
Araka dan Riandra tersenyum dan mengangguk pertanda setuju. Silva hanya memalingkan wajahnya dengan kesal, sementara Tirta tetap tertunduk pertanda belum lepas dari lamunannya. Adapun Dirga, hanya diam tanpa menunjukkan ekspresi apa-apa.
***
Pukul 22.45 di kantor polisi sehari setelah kejadian, berkumpullah satu tim yang terdiri dari lima orang untuk menyelidiki kasus pembunuhan Keluarga Pak Widarno beserta anak buahnya di Kantor Sungsin Security.
“Silakan mulai laporannya.” Seorang polisi yang tampak paling tua di antara mereka memulai pembicaraan.
“Baik Pak. Berdasarkan kondisi mayat, pembunuhan diperkirakan terjadi di antara pukul 23.00 sampai dengan 01.00 tadi malam. Sayangya tidak ada CCTV di lokasi kejadian. Satu-satunya CCTV yang berhasil didapatkan hanyalah yang berada di pintu gerbang. Dari CCTV terlihat Pak Widarno beserta istri dan beberapa pengawal memasuki halaman gedung pada pukul 19.07 disusul oleh putra mereka sekitar kurang dari 3 jam setelahnya yakni pada pukul 21.55. Tak tampak satupun sosok yang mencurigakan terekam di layar.” Kata polisi di usia 30-an yang tampak lebih kurus.
“Pelaku kemungkinan menyamar sebagai salah satu staf di sana. Apakah kalian sudah menyelidiki kesesuaian antara jumlah orang yang tidak meninggalkan gedung dengan jumlah korban?” Tanya polisi tua itu lagi.
“Itu, kami sudah berusaha memeriksa CCTV yang terletak di gerbang Pak. Untuk saat ini, masih kami simpulkan bahwa semua karyawan yang berada di gedung pada saat itu tewas Pak.” Jawab polisi lain yang juga di sekitar usia 30-an yang tampak lebih gemuk.
“Apa maksud kamu dengan kata masih?” Polisi tua itu menatap tajam dengan jawaban ambigu rekannya.
“Itu karena ada 56 karyawan yang terkonfirmasi memasuki gedung pada malam kejadian Pak di samping Pak Widarno beserta istri dan anaknya. Dari CCTV yang kami periksa, jumlah karyawan yang masuk sama dengan jumlah karyawan yang turut menjadi korban pembunuhan. Namun, kami kesulitan dalam mencocokkan wajah mereka satu-persatu karena banyak wajah yang terhalang oleh badan mobil pada CCTV. Ada kemungkinan pelaku menyamar menjadi karyawan kemudian ikut masuk dengan membawa karyawan yang asli di bagasi. Kemudian setelah pembunuhan, dia baru membunuh dan meletakkan mayatnya di antara tumpukan mayat.” Sanggah polisi di usia 30-an yang tampak lebih kurus.
“Jika seperti itu, pelaku pasti akan terekam pada saat keluar gedung. Apa ada tempat masuk lain yang memungkinkan bagi pelaku?” Sang Polisi tua kembali bertanya.
“Rasanya mustahil Pak karena di belakang dan samping Gedung Sungsin Security adalah jurang dan jika melewati pagar dinding setinggi 10 meter di depan, pasti akan langsung terlihat oleh 4 penjaga gerbang di depan.” Jawab polisi kurus paruh baya itu terhadap pertanyaan seniornya.
“Penjaga gerbangnya baik-baik saja?”
“Ya Pak.”
“Terus, apa mereka tidak mendengar suara jeritan dari dalam?”
“Berdasarkan olah TKP, pembunuhan dilakukan di dalam ruangan gedung yang kedap suara sehingga tidak memungkinkan untuk terdengar dari luar. Serta dinding pagar di dekat pos penjagaan yang tanpa celah menyebabkan pelaku bisa leluasa menyeret korban ke halaman tanpa ketahuan penjaga gerbang di depan.” Jawab polisi paruh baya yang kurus itu lagi pada pertanyaan Sang Polisi Tua.
“Ini masih belum memecahkan misteri bagaimana pelaku bisa masuk-keluar tempat kejadian tanpa ketahuan penjaga gerbang. Bagaimana dengan keterangan keempat penjaga gerbang?”
“Mereka tidak mendengar maupun melihat hal yang mencurigakan Pak.”
“Apa ada kemungkinan penjaga gerbang bekerjasama dengan pelaku.”
“Itu masih sementara diselidiki Pak.”
“Lantas, adakah spekulasi lain bagaimana pelaku kemungkinan masuk-keluar tempat kejadian tanpa ketahuan penjaga.”
“Ini baru sekedar spekulasi Pak, tetapi seperti yang dikatakan oleh Saudara Dono, bahwa kemungkinan pelaku masuk dengan menyamar sebagai salah satu staf di sana sementara staf asli disekap di bagasi mobil, kemudian setelah kejadian, baru staf yang asli itu dibunuh. Mengenai bagaimana pelaku bisa keluar dari sana, kemungkinan dengan berbaur dengan kerumunan yang datang melihat kejadian sebelum polisi sampai di TKP.” Kali ini giliran polisi paruh baya yang gemuk yang menjawab setiap pertanyaan Sang Polisi Tua.
“Bagaimana bisa kerumunan bisa masuk di TKP?”
“Itu… Sebenarnya ada retakan dinding pagar di dekat banyak pemukiman kumuh terletak di sana. Di balik retakan itu, tercium bau yang aneh sehingga banyak warga yang meminta untuk memeriksa ke tempat kejadian. Dan begitulah kejadiannya sehingga banyak warga beserta penjaga gerbang masuk di saat yang bersamaan di tempat kejadian. Pelaku yang kemungkinan bersembunyi di semak-semak memanfaatkan kejadian itu untuk berbaur dengan warga.” Polisi paruh baya kurus menjawab.
“Lantas apakah kalian sudah menginterview warga yang berada di tempat kejadian tentang apakah mereka melihat sosok yang misterius?”
“Itu… Sayangnya mereka ke sana pas habis selesai sholat subuh sehingga langit masih gelap untuk mengamati orang yang mencurigakan.” Polisi paruh baya gemuk dengan skeptis menambahkan keterangannya kepada polisi tua.
“Bagaimana dengan bukti yang tertinggal di TKP?”
“Itu tampaknya dilakukan oleh pembunuh profesional sehingga sama sekali tidak ada bukti yang tertinggal di TKP sampai jejak kaki dan bercak darah pun tidak ada. Namun, kami masih terus telusuri.” Kali ini giliran seorang wanita berusia di akhir 20-an yang merupakan satu-satunya wanita di timnya yang menjawab.
“Tetapi…” Tambah wanita itu tampak ragu dengan ucapannya.
“Katakan!” Kata polisi tua itu menegaskan agar Sang Wanita tidak menahan ucapannya.
“Kami menemukan rekaman suara yang setengah rusak di salah satu mayat. Kami tidak dapat memulihkan data rekaman di akhir-akhir, namun di awal rekaman tampak Aleka, Sang Anak terus mengatakan sesuatu.” Wanita itu tampak semakin ragu mengucapkannya.
“Apa itu?” Tetapi Polisi Tua tak berhenti mendesak Sang Wanita.
“Sebaiknya Bapak dengar sendiri.” Wanita itupun mengeluarkan salinan rekaman suara yang berhasil dipulihkan.
“Aleka, sadarlah! Sejak kapan Ayah punya anak penakut sepertimu!”
“Kaiser akan membunuhku. Kaiser akan membunuhku. Tolong aku Ayah, sembunyikan aku sehingga aku tidak dapat ditemukannya.”
“Paaaak!”
“Sayang!”
“Hah, kenapa anak kita bisa jadi seperti ini? Pengawal, apa yang sebenarnya telah terjadi?”
“Kami juga kurang tahu Bos Besar. Tampaknya orang yang bernama Kaiser ini mengancam Tuan Muda Aleka.”
“Jadi kamu ingin berkata kalau bocah lemah yang tampak seperti kangkung layu itulah yang bahkan belum genap 20 tahun yang membuat Aleka menjadi dalam keadaan menyedihkan seperti ini! Kalian tahu kan bagaimana aku sendiri melatih dia berbagai jenis ilmu beladiri. Apa masuk akal kalau dia bisa ditindas oleh anak lemah seperti Kaiser.”
“Sayang kamu tenang dulu.”
…
“Anak itu, bagaimana dia bisa menjadi lemah seperti ini.”
“Sayang, pokoknya kita harus balas dendam kepada anak itu. Aku akan menggunakan kekuasaan keluargaku untuk menyewa ninja-ninja pembunuh bayaran dari Jepang untuk menghabisi anak itu.”
“Yah, itu tak semudah itu Sayang. Bagaimana pun, dia cucu kesayangan Ducias Dewantara.”
“Aaaah!”
Teriakan istri Pak Widarno mengakhiri suara di dalam rekaman. Rekaman pun terputus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
☾𝕽𝖆𝖓🫡𝖔𝖋𝖋✈︎ ⧗⃟ᷢʷ
keren sekali anak itu
2022-05-28
1
senja
kok bisa ada rekaman ya?
2022-02-20
1
vina
Yo semangat terus up-nya kk
2021-12-27
1