Sudah hampir seminggu setelah kedatangan keluarga Anggara kerumah, dan sejak saat itu pula tak ada obrolan hangat yang terjadi dikeluarga Bahar.
Zara terlihat sama sekali tak semangat menjalani harinya. Dirinya sibuk memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan jika hidup bersama pria yang sama sekali tak di cintainya.
Bahkan selama seminggu ini pula, Zara mengacuhkan Panji padahal mereka setiap hari bertemu, baik di sekolahan tempat mereka mengajar juga di pesantren saat sore hari mereka mengajar ngaji.
"Apa ada yang salah dengan aku?" pertanyaan Panji berputar putar di pikiran Zara saat ini setelah siang tadi saat jam pulang mengajar, Panji menghadang jalan pulangnya.
Zara yang tak tahu harus mengatakan apa hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil menunduk lesu.
"Jika memang ada yang salah, katakan saja. aku akan memperbaiki semuanya." kata Panji lagi yang sama sekali tak dijawab oleh Zara malah Zara bergegas pergi meninggalkan panji.
Dan itu semua sukses membuat Zara tak tenang saat ini. dikamar sendirian sambil merenung memikirkan saat yang tepat Ia harus mengatakan semuanya pada Panji.
Kata kata panji kembali terdengar di telinga nya membuat Zara akhirnya menangis karena tak tahan lagi harus menahan semuanya.
"Aku mencintaimu, kenapa kita harus mengalami semua ini." batin Zara menelungkupkan kedua tangan diwajahnya.
"Nak..." suara Asih sang Ibu mengetuk pintu kamar Zara membuat Zara buru buru mengambil tisu dan membersihkan wajahnya agar tak terlihat menangis.
"Ada apa Bu? masuk saja pintunya tidak dikunci." suara serak Zara tak bisa membohongi Ibunya jika dirinya baru saja menangis.
Asih menatap lekat wajah putrinya dari pintu lalu berjalan mendekat.
"Apa kamu masih belum bisa menerima semuanya Nak?" tanya Asih sambil mengelus pipi Zara. Tahu betul jika Zara baru saja habis menangis.
"Apa salah bu jika Zara masih sulit menerimanya,"
Asih menggelengkan kepalanya, mengerti dengan apa yang dirasakan oleh putrinya.
"Kamu sangat mencintai Nak Panji?" tanya Asih lagi yang langsung diangguki Zara.
"Jika memang kamu mencintai Nak Panji, Ibu akan memdampingi kamu untuk berbicara dengan Ayah.
"Kita bicara dengan Ayah baik baik, siapa tahu Ayah bisa mengerti dan kamu tak harus menikah dengan anak majikan Ayah itu." kata Asih dengan penuh kelembutan.
Zara malah menggelengkan kepalanya, "Jika aku menuruti egoku dan menolak lamaran tuan itu, sama saja aku sudah membuat Ayah ingkar dengan janjinya Bu.
"InsyaAllah Zara siap menerima, hanya saja mungkin saat ini Zara masih kaget dan tak tahu harus mengatakan apa pada Mas Panji Bu." jelas Zara dan air matanya kembali berlinang didepan Asih.
"Jika memang kamu menerima lamaran Tuan muda itu, ibu harap kamu segera mengatakan pada Nak Panji, agar Nak Panji juga bisa segera mengikhlaskan kamu." kata Asih.
"Rasanya masih berat bu, aku takut mas Panji membenciku." ungkap Zara membuat Asih membawa tubuh Zara ke dalam pelukan nya.
"Jika Kamu hanya diam dan menunda seperti ini, sama saja kamu malah semakin menyakiti Nak Panji." jelas Asih.
"Semua keputusan ada ditangan Zara, entah menerima lamaran Nak Panji atau Tuan muda itu. Ibu tidak akan memaksa. Ibu akan selalu merestui semua pilihan kamu nak.
"Segera pikirkan dan ambil keputusan agar tak ada hati yang kamu sakiti nantinya.
"Shalat istiqarah, minta petunjuk Allah mana yang terbaik buat kamu."
Zara mengangguk, setuju dengan apa yang dikatakan sang Ibu. Sepertinya dirinya memang harus meminta petunjuk kepada sang pemilik kehidupan dengan siapa yang harus Ia pilih nantinya.
Tengah malam, Zara menggelar sajadahnya dan sholat dua rakaat untuk meminta petunjuk pada sang pencipta siapa yang harus Ia pilih. Zara memantabkan hatinya dan berdoa semoga pilihan nya saat ini tepat. Tak hanya baik untuknya namun juga baik untuk kedua orangtuanya.
"Mau kemana nduk?" tanya Asih saat menyapu halaman rumah melihat Zara sudah rapi mengenakan baju muslim siap untuk keluar padahal hari ini hari minggu, Zara libur mengajar di sekolahan.
"Mau ketemu mas Panji bu."
"Alhamdulilah, apa ini artinya kamu sudah memantabkan siapa yang akan kamu pilih Nak?" tanya Asih dengan senyuman mengembang.
"InsyaAllah bu."
"Ya sudah hati hati dijalan. salam buat Nak Panji ya." kata Asih kala Zara berpamitan mencium tangan sang Ibu.
"Assalamualaikum bu." salam Zara lalu berjalan meninggalkan pekarangan rumah.
"Wa alaikumsalam."
"Zara mau kemana Bu?" tanya Bahar mendekati sang istri.
"Lho, memang tidak pamit sama Ayah?" tanya Asih heran.
"Sudah pamit, cuma Ayah nggak nanya mau kemana."
Asih mengangguk paham, "Mau ketemu nak Panji."
Bahar nampak menghembuskan nafas panjang.
"Semua salah Bapak ya Bu?" Bahar merasa sangat bersalah telah memaksakan sesuatu yang tak di inginkan oleh putri semata wayangnya.
"Tidak ada yang perlu disalahkan Yah, semua sudah menjadi takdir Zara dengan siapapun nanti pilihan nya." kata asih mencoba menghibur suaminya.
"Andai saja waktu itu Ayah nggak ngomong aneh aneh sama Tuan Anggara mungkin semua ini tidak terjadi. mungkin sekarang Zara bahagia dengan pilihan nya sendiri." sesal Bahar.
"Semua sudah terjadi Ayah, sekarang kita hanya bisa mendoakan semua yang terbaik untuk Zara."
Bahar mengangguk setuju, Saat ini Ia hanya bisa pasrah dengan apapun nanti yang menjadi takdir Zara. Bahar hanya bisa berdoa semoga Tuan muda Sean bisa membahagiakan putrinya meskipun Bahar sendiri tahu kenyataan pahit yang akan di alami putrinya nanti namun saat ini Bahar tidak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkan putrinya.
"Tadinya aku ingin menjemputmu dirumah, tapi kamu malah menolak." kata Panji yang saat ini tengajmh berada di sebuah taman kecil yang ada di pinggiran kampung mereka.
"Ada sesuatu yang ingin aku katakan sama mas Panji dan aku tak ingin mengatakan ini dirumah." kata Zara.
"Apa yang ingin kamu katakan? hal yang membahagiakan atau membuat sedih?" tanya Panji dengan raut wajah pura pura sumringah, menyembunyikan kesedihan seolah olah mengerti dengan apa yang akan Zara katakan.
"Mas Panji berharap apa?" tanya Zara sambil menahan diri untuk tidak menangis meskipun saat ini matanya sudah memanas ingin menangis.
"Tentu saja aku berharap hal yang membahagikan, seperti kapan aku dan keluargaku bisa datang kerumah mu untuk lamaran resmi kita?
"Aku sudah mengatakan pada orangtua ku jauh sebelum aku melamarmu malam itu. dan orangtua ku setuju aku menikah denganmu.
"Jadi apa memang itu yang ingin kamu katakan? kamu sudah mendapatkan hari kapan aku dan keluargaku bisa datang?" tanya Panji penuh harap membuat Zara akhirnya tak kuasa menahan tangisnya hingga akhirnya Ia menangis didepan Panji.
"Ada apa? apa bukan itu dik? maaf aku salah."
Zara menggelengkan kepalanya tak setuju, "Aku yang salah mas maafkan aku."
Zara mengambil kotak beludru merah yang ada di tas nya, kotak yang berisi cincin pemberian dari Panji sebagai tanda pengikat sementara di antara mereka.
Dengan tangan bergetar, Zara mengembalikan cincin itu pada Panji.
"Maafkan aku mas, aku tidak bisa menerima pinangan mas.
"Ak-aku sudah dijodohkan oleh orangtuaku."
BERSAMBUNG...
jangan lupa like vote dan komen kalau suka...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Nur Cahyani
q tskut zarra disakiti sean😭😭😭
2024-08-02
0
shadowone
kesian... malah dapat yang uda nikah solehot lagi
2024-04-23
0
devymariani
kasian juga kalau sampe berpisah
2023-05-06
0