4. Ingatan Budi

Setelah melihat anaknya yang seakan tidak bernyawa, mama pun menghampiri pak Bujang.

"Bagaimana keadaan anak saya pak Bujang? Apa yang sebenarnya terjadi pada Budi? Mengapa dia selalu kerasukan?"

"Aku belum bisa mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada anak kalian. Karena aku juga belum tahu apa penyebab sebenarnya. Tapi kalian jangan cemas, aku akan berusaha mencari tahu penyebabnya."

"Tolong kami pak Bujang. Tolong bantu anak kami agar terbebas dari gangguan makhluk halus itu," kata papa pula.

"Aku sedang berusaha. Kalian jangan cemas."

"Ma ... minum," ucap Budi dengan lemas.

"Ibud, kamu sudah sadar, Nak? Kamu mau minum?"

"Iya ma."

"Baiklah, tunggu sebentar," ucap mama sambil bergegas ke dapur.

"Bagaimana keadaan kamu, Bud?" tanya papa.

"Sakit, Pa."

"Apanya yang sakit?"

"Semuanya."

"Semua?"

"Iya. Seluruh tubuhku rasanya sakit semua."

"Budi, ini air minum yang kamu minta, nak," kata mama sambil membawa segelas air putih.

Budi mengumpulkan semua tenaga yang tersisa hanya untuk mengangkat tangannya. Tangannya begitu gemetar dan terlihat sangat lemah.

Mama yang melihat hal itu, sekuat tenaga menahan air mata agar tidak jatuh. Tapi tetap saja, air mata itu mengalir dengan sendirinya.

"Biar--biar mama bantu, Nak," ucap mama sambil menyeka air mata.

"Gak papa ma. Aku masih kuat."

"Nak .... "

Mama tidak bisa menahannya lagi. Ia langsung memeluk Budi dengan erat.

"Ma .... "

"Kenapa kamu seperti ini, Nak?"

"Ma, jangan nangis."

"Apa salah anak ku ya Tuhan?"

"Mama, sudahlah. Jangan seperti ini. Biarkan Budi istirahat. Dia pasti sangat lelah," ucap papa.

Mama mengangguk pelan. Ia baru ingat kalau pelukannya mungkin akan menambah kesakitan saja buat Budi. Dengan berat hati, mama melepaskan pelukan itu.

"Sayang, kamu istirahat ya, nak. Mama sama papa selalu ada kapan pun kamu butuhkan," kata mama sambil membelai lembut pucuk kepala Budi.

Budi mengangguk sambil memperlihatkan senyum pada sang mama. Senyum dari wajah pucat itu bukannya membuat hati sang mama senang, melainkan bertambah sedih dan gelisah.

Saat papa membuka pintu kamar Budi, Irfan sudah ada di sana. Ia berdiri tegak tepat di depan pintu kamar.

"Pa .... "

"Ada apa, Fan?"

"Pak Bujang sedang menunggu papa di ruang tamu."

"Oh," jawab papa singkat.

"Hmm Ma .... "

"Apa?" tanya mama dengan nada kesal.

"Bolehkah aku menemani abang?"

"Gak."

"Ma, biarkan Irfan menemani abangnya," kata papa.

"Tapi, pa .... "

"Udah, ma. Jangan cemas, papa yakin kalo Irfan gak akan mengulangi kesalahan yang sama."

"Ya udah, kamu boleh temani abang mu, tapi ingat, jangan macam-macam," kata mama dengan tatapan penuh ancaman.

"Iya ma," ucap Irfan dengan nada takut.

Setelah mama beranjak meninggalkan kamar Budi, Irfan pun masuk kedalam. Hati Irfan begitu sedih ketika melihat abangnya yang sedang terbaring lemas.

Irfan ingin membatalkan niatnya ketika melihat Budi terlelap. Ia tidak ingin mengganggu Budi dengan kedatangannya. Irfan memutuskan untuk meninggalkan Budi.

"Fan."

Panggilan dengan suara berat itupun mencegah langkah Irfan yang sudah siap maju ke depan. Sambil menyeka air mata yang tumoah dengan sendirinya, Irfan berbalik dan tersenyum manis pada sang abang.

"Kamu mau ke mana?" tanya Budi.

"Keluar, Bang."

"Gak mau temani aku ngobrol?"

"Bukan gak mau bang, tadi aku lihat kamu sedang tidur. Makanya aku putuskan tidak mengganggu kamu dahulu."

Irfan berusaha sebisa mungkin menyembunyikan wajah cemasnya. Namun, sekuat apapun dia berusaha menutupi rasa cemas, Budi sebagai abang masih bisa melihat raut cemas dari adiknya.

"Sini. Duduk samping aku," kata Budi sambil menunjuk samping kasurnya.

Irfan mengikuti apa yang abangnya katakan. Tanpa banyak tanya dan juga kata, dia duduk di samping Budi yang masih terbaring.

"Apa yang kamu cemaskan?" tanya Budi.

"Tid--tidak ada," jawab Irfan gelagapan.

"Jangan bohong, aku abang mu, aku tahu apa yang sedang kamu rasakan."

Irfan tertunduk. "Apa itu sakit?"

"Yang mana?"

"Yang ini," ujar Irfan sambil menyentuh merah kebiru-biruan yang terdapat di legan Budi.

"Tidak," ucap Budi enteng seperti tanpa beban.

"Jangan bohong, Bang. Aku tahu kalo itu pasti sakit."

"Sudahlah, jangan dibahas lagi. Aku gak papa."

"Oh ya, aku ingin cerita sedikit padamu. Apakah kamu ingin menjadi pendengar dari ceritaku?" tanya Budi lagi.

"Ceritakan saja apa yang ingin kamu ceritakan, aku akan menjadi pendengar mu dengan senang hati."

"Aku harap kamu gak akan bilang aku orang gila jika sudah mendengarkan cerita yang akan aku sampaikan padamu."

"Maksud abang?"

"Hmm ... sebelum aku bercerita, aku ingin katakan satu hal terlebih dahulu padamu. Irfan, abang mu ini masih sangat waras. Aku tidak akan melakukan perjanjian apapun dengan makhluk halus hanya karena seekor anak sapi. Jadi aku minta, singkirkan pikiranmu yang tidak-tidak tentang aku."

Irfan sangat kaget dengan apa yang Budi katakan. Bagaimana tidak? Apa yang Budi katakan barusan tidak pernah Irfan ucapkan sama sekali. Ia hanya baru berpikir sebuah kemungkinan saja, belum sempat mengucapkan dengan kata-kata.

"Ba--bagaimana kamu tahu tentang apa yang aku pikirkan?"

"Hmmm .... " Budi tidak menjawab. Dia hanya tersenyum manis pada Irfan.

"Apakah kamu ingin tahu apa yang terjadi sebelum aku hilang?"

"Apakah kamu ingat?" tanya Irfan bersemangat.

"Ya, aku ingat."

"Ayo katakan padaku apa yang kamu ingat."

Terpopuler

Comments

✤͙❁͙⃟͙Z͙S͙༻ɢ⃟꙰ⓂSARTINI️⏳⃟⃝㉉

✤͙❁͙⃟͙Z͙S͙༻ɢ⃟꙰ⓂSARTINI️⏳⃟⃝㉉

kasian si budi masih kcil saja sering kerasukn,knp hantu ska bnget merasukinya kn msh kcil,kshn

2023-02-24

0

Putri Minwa

Putri Minwa

Dibalik kesetiaan Nayla mampir ya thor

2023-01-12

0

$uRa

$uRa

salam..penasaran tor ..

2022-12-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!