3. Kerasukan lagi

Irfan terdiam. Ia tahu kalau apa yang ia katakan salah. Tapi, rasa penasaran akan apa yang terjadi membuat hatinya tidak tenang.

Sementara itu, Budi terus berusaha mengingat apa yang terjadi sehingga dia pingsan.

"Jangan kamu paksakan, Ibud. Jika tidak bisa diingat, maka biarkan saja. Jangan dengarkan apa yang adikmu katakan," kata mama.

"Ya Budi. Jika sudah tidak ingat, maka jangan diingat-ingat. Mungkin lebih baik tidak ingat dari pada ingat tapi menakutkan," ucap papa pula.

Tidak ada jawaban dari Budi. Ia hanya diam tanpa kata dengan peluh membasahi tubuhnya. Tangannya menggenggam erat. Tubuh Budi tiba-tiba kaku dengan mata melotot.

Mama dan papa menyadari kalau Budi sedang tidak baik. Mama berjalan cepat menghampiri Budi yang sedang duduk sambil berkeringat dingin.

"Jangan, Ma!" Papa mencegah niat mama dengan cepat.

"Kenapa, Pa!?"

"Mungkin itu bukan Budi."

"Apa sih maksud papa?" tanya Irfan bingung.

"Jangan banyak tanya. Cepat jemput pak Bujang, bawa dia ke rumah kita."

"Pak Bujang? Pak Bujang yang tinggal di ujung desa itu?" tanya Irfan semakin bingung.

"Iya," jawab papa singkat.

"Cepat Irfan! Jangan bengong lagi," kata mama pula.

"Iy--iya ma. Aku berangkat sekarang."

***

Ketika pak Bujang sampai ke rumah Budi, Budi sudah kehilangan kendali. Tubuhnya ditahan oleh beberapa orang warga agar tidak mengamuk dan keluar dari rumah.

"Pak Bujang cepat! Tolong anak saya pak," kata mama dengan berurai air mata menghampiri pak Bujang yang masih berada di ambang pintu.

"Baik bu Nunung. Saya akan berusaha membantu," ucap pak Bujang.

"Bujang! Kau tidak perlu ikut campur urusan ku!" kata Budi dengan suara tinggi dan berat.

Suara itu bukan milik Budi. Suara itu juga tidak sama dengan suara Budi saat pertama kali ia kerasukan. Suara Budi kali ini tinggi dan berat, lebih mirip laki-laki tua.

Pak Bujang tidak menghiraukan suara itu. Ia tetap berjalan maju mendekati Budi yang terbaring di atas lantai.

"Bujang! Kau sungguh tidak mau mendengarkan perkataan ku? Apa kau tidak sayang dengan peliharaan mu?" tanya Budi lagi.

"Apa maksud mu?" tanya pak Bujang mulai goyah.

"Bujang. Aku tahu kamu punya peliharaan. Dan kau datang juga bersama peliharaan mu itu. Dia berada di samping kiri mu saat ini. Iya kan?"

Pak Bujang terdiam sesaat. Ia menoleh samping kirinya. Pak Bujang seakan berbicara dengan seseorang. Tapi tidak bicara secara langsung. Ia hanya menggunakan isyarat saja.

"Siapa kamu sebenarnya?" tanya pak Bujang pada Budi.

"Aku? Aku Budi. Apa kau tidak bisa melihatnya?" tanya Budi kembali.

"Jangan main-main dengan ku. Aku tidak suka dipermainkan."

"Jika kamu memang punya ilmu, mengapa kamu harus bertanya? Kamu bisa cari tahu sendiri siapa aku," ucap Budi sambil tersenyum santai namun terkesan sangat menakutkan.

Budi bicara. Namun, matanya tertutup dan tangannya menggenggam erat. Tangan dan kakinya juga di tahan oleh warga.

"Jangan banyak bicara. Katakan apa yang kamu inginkan sebenarnya? Kenapa kamu merasuki tubuh anak yang tidak punya salah apa-apa padamu," kata pak Bujang.

"Sudah aku katakan, jika kamu memang benar-benar orang pintar, kamu cari tahu sendiri apa tujuan ku."

Kekesalan pak Bujang kini meningkat. Ia merasakan benar-benar sedang dipermainkan oleh makhluk yang merasuki tubuh Budi.

Selain rasa kesal, pak Bujang juga malu akibat perkataan makhluk tersebut. Bagaimana tidak? Makhluk itu menantangnya secara terang-terangan. Mana didengar dan dilihat oleh warga lagi. Siapa yang tidak malu coba?

"Makhluk terkutuk! Bisa-bisanya kamu mempermainkan aku!" kata pak Bujang sedikit berteriak akibat kesal dan malu.

"Ha ... ha ... ha ... kamu bilang apa Bujang? Aku makhluk terkutuk? Apa kamu gak sadar dengan apa yang kamu katakan itu? Apa kamu tidak takut menyingung peliharaan mu?" tanya Budi sambil terus tertawa dengan keras.

"Diam!"

Pak Bujang sudah tidak bisa menahan rasa kesalnya lagi. Dia membentak Budi dengan sangat keras. Sangking kerasnya, warga lain ada yang terperanjat karena terkejut.

Namun sayangnya, Budi bukanlah Budi. Dia tidak kaget sedikitpun. Jangankan merasa kaget, terpengaruh sedikitpun tidak. Ia bahkan tidak menghentikan tawanya sedikitpun.

"Keluar kamu dari tubuh anak ini!" kata pak Bujang sambil memijat kaki Budi dengan keras.

"Aaaggghhh. Kurang ajar kau Bujang. Berani sekali kamu menyakiti aku," kata Budi sambil meringis kesakitan.

"Keluar kamu!"

"Tidak akan!"

"Keluar aku bilang! Keluar!"

"Aggghhh sakit .... "

"Jika kamu tidak ingin keluar, maka akan lebih sakit lagi," kata pak Bujang sedikit bangga.

"Jangan senang dulu kamu Bujang. Aku tidak ka ... lah. Aggghhh .... "

Erangan itu membuat tubuh Budi terkulai lemas. Mungkin, makhluk halus yang merasuki tubuhnya sudah keluar bersama dengan erangan panjang tersebut.

"Lepaskan dia. Mahkluk itu sudah tidak ada lagi. Dia sudah pergi," kata pak Bujang pada warga yang membantu memegang tubuh Budi.

"Benarkah pak Bujang? Bagaimana kalau dia kembali lagi dan mengamuk jika kita lepaskan tubuh ini," ujar salah satu dari mereka.

"Tidak akan. Dia sudah pergi dan tidak berani kembali lagi. Selagi ada aku, maka kalian tidak perlu cemas."

Mereka pun melepaskan pegangan mereka dari tubuh Budi yang malang. Tubuh itu terlihat agak memar akibat eratnya pegangan warga. Di tambah lagi, kulit Budi yang putih. Warna merah itu terlihat begitu jelas.

Terpopuler

Comments

Ⴆι Ⴆσყ 404

Ⴆι Ⴆσყ 404

busyet dah si pak bujang sakti abis woi.. wah ini ada apa ya sebenarnya kenapa si mahkluk gaib itu bs tau dan kenal sama pak bujang, apa kah ada sesuatu yg di sembunyikan 🤔

2023-02-24

0

Putri Minwa

Putri Minwa

mantap thor

2023-01-12

0

Ratna

Ratna

bagus ceritanya sejauh ini..knp dikit bgt yg baca ya
semangat trs thor..

2021-09-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!