Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.
Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.
Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Tempat yang Telah Terisi
Kevin baru saja keluar dari minimarket, kantong belanjaan masih tergenggam di tangannya. Saat melangkah menuju motor, pandangannya sekilas tertumbuk pada sesuatu di sisi kanan, tepat di sebuah klinik kecil. Seketika dadanya bergetar hebat.
Seorang pria berjas rapi berjalan tergesa, menggendong seorang gadis yang dikenalnya sangat baik.
"Via…"
Nama itu lolos begitu saja dari bibir Kevin. Tanpa sadar, langkahnya berubah cepat, hampir berlari mengejar sosok itu.
“Via, apa yang terjadi?” serunya, suaranya tercekat antara panik dan cemas.
Refleks, Kevia menoleh. Begitu pula pria itu. Yoga.
Namun alih-alih menjawab Kevin, Yoga justru menatap seorang perawat. “Sus, tolong!” suaranya tegas, dalam, tak menyisakan ruang untuk ragu.
Suster itu segera mengarahkan mereka ke ruang tindakan. Kevin mengekor, matanya terpaku pada Kevia yang masih berada dalam pelukan Yoga. Gadis itu sama sekali tidak terlihat canggung. Lengan mungilnya melingkar begitu saja di leher pria itu, seolah menemukan tempat paling aman.
Hatinya mencelos.
Yoga mendudukkan Kevia dengan hati-hati di ranjang pemeriksaan. Ia duduk di sisi gadis itu, menunggu suster membersihkan luka dan dokter mengobatinya. Setiap kali Kevia mendesis pelan menahan perih, tangan Yoga terulur, mengusap lembut punggungnya. Gerakan kecil, tapi sarat ketulusan.
Dan anehnya… Kevia benar-benar merasa lebih baik. Rasa sakitnya seakan berkurang oleh sentuhan itu.
Kevin berdiri kaku di dekat pintu. Ia ingin maju, ingin mendekap Kevia, menenangkan gadis itu. Tapi ruang itu seolah telah penuh. Yoga ada di sana, mengisi celah yang seharusnya ia isi.
Matanya beralih pada Kevia. Gadis itu, yang selama ini selalu menjaga jarak, yang tak pernah membiarkan dirinya terlalu dekat selain sekadar menggenggam tangan… kini sama sekali tidak menolak kedekatan pria itu.
Jantung Kevin berdegup keras. Pertanyaan demi pertanyaan berputar di kepalanya.
"Siapa pria ini? Apa hubungannya dengan Kevia?"
Dan, lebih daripada itu—
Kenapa hatinya terasa sesak melihat mereka bersama?
Dokter menutup kotak peralatan medisnya, menatap Kevia dengan senyum menenangkan.
“Tenang, Nona. Tidak ada yang serius. Hanya luka lecet di tangan dan lutut. Tidak ada retakan ataupun cedera tulang. Saya sarankan beristirahat, jangan banyak berjalan dulu. Jaga luka tetap bersih dan kering. Jika terasa nyeri, minum obat yang saya resepkan. Hindari aktivitas berat sementara waktu, dan pastikan balutan diganti setiap hari.”
Kevia mengangguk kecil, wajahnya masih pucat tapi senyum tipis terbit di bibirnya. Yoga cepat mengambil kertas resep yang disodorkan dokter, mengucap terima kasih padanya, lalu dengan hati-hati kembali menggendong Kevia seolah gadis itu sesuatu yang rapuh.
“Sebentar ya, aku ambil obat dulu,” ucapnya lembut ketika mendudukkan gadis itu di kursi tunggu apotek. Tangannya terulur, mengusap kepala Kevia dengan penuh kasih.
Kevia mendongak, menatapnya lembut dengan senyum tipis yang menghangatkan, seolah seluruh rasa sakitnya mereda hanya karena kehadiran Yoga.
Senyum itu sederhana, tapi membuat dada Yoga menghangat.
Kevin melihatnya dari jauh. Rahangnya mengeras. Senyum itu… bukan senyum yang pernah diberikan Kevia padanya. Ada sesuatu di baliknya, kelembutan, kepatuhan, bahkan keakraban.
Ketika Yoga melangkah ke loket untuk menebus resep, Kevin buru-buru menghampiri. Ia duduk di sebelah Kevia, suaranya terdesak.
“Via… apa yang terjadi? Kenapa kau bisa terluka?”
Kevia menoleh, memberi senyum tipis. Senyum yang berbeda dari senyum yang baru saja ia tunjukkan pada Yoga, dan Kevin merasakannya.
“Aku ceroboh saat menyebrang. Hampir terserempet motor,” jawabnya, sambil menunduk menatap tangannya yang kini diperban.
Belum sempat Kevin bertanya lebih jauh, Yoga sudah kembali dengan obat-obatan di tangan. Tatapannya langsung tertuju pada Kevin.
“Dia…?” gumam Yoga singkat, nada suaranya penuh tanya.
Kevia buru-buru menjelaskan, seakan takut Yoga salah paham.
“Dia temanku, sahabatku sejak SMA. Orang yang selalu percaya sama aku… yang selalu berdiri di sisiku waktu orang lain meragukan dan memojokkan aku.”
Nada suaranya tulus, penuh penghormatan. Hati Kevin hangat mendengarnya, tapi sekaligus getir. Ia diakui sebagai sahabat dan pelindung. Status yang membuatnya senang sekaligus perih, karena hanya sampai di situ tempatnya di hati Kevia.
Yoga mengangguk, senyumnya singkat tapi tulus.
“Terima kasih sudah menjaga Kevia,” ucapnya dengan nada tenang.
Kevin membalas dengan senyum canggung. “Itu memang yang seharusnya aku lakukan.”
Namun ketika Yoga kembali menoleh pada Kevia, tatapannya teduh, suaranya lembut.
“Ayo pulang. Kau harus istirahat.”
Kevia hanya mengangguk. Patuh, tanpa sedikit pun penolakan.
Kevin kembali tercekat. Sikap itu… begitu berbeda dari yang ia kenal.
Yoga menunduk, bersiap menggendong Kevia lagi, namun dering ponsel memotong momen itu. Ia menghela napas berat saat mendengar suara di seberang, wajahnya sedikit tegang.
“Oke, aku segera ke sana,” ucapnya singkat, lalu mengotak-atik layar ponsel sebentar sebelum memasukkannya ke saku.
“Aku ada pekerjaan mendadak. Kamu pulang naik taksi, ya? Aku sudah pesankan, kebetulan posisinya dekat sini. Gak apa-apa 'kan, kalau aku gak bisa antar sampai rumah?” tanyanya lembut, tangannya kembali mengusap kepala Kevia dengan penuh perhatian.
Kevia hanya mengangguk, menatapnya penuh pengertian.
Yoga tersenyum hangat, lalu mengacak rambutnya dengan lembut.
“Gadis pintar.”
Kevin menatap pemandangan itu, dadanya seolah diremas dari dalam. Panas. Sakit. Amarah. Semua bercampur jadi satu. Tatapan matanya memanas saat menyaksikan keakraban itu. Sentuhan, sapaan, senyum, kepatuhan, semua yang tak pernah sekalipun ia dapatkan dari Kevia.
Keakraban mereka terasa begitu alami, sesuatu yang bahkan tak pernah Kevia tunjukkan padanya. Dan itu membuat dadanya terbakar, seolah ia benar-benar tak memiliki tempat di hati gadis itu.
Kevia menoleh, senyum samar masih tersisa di bibirnya.
“Vin, aku pulang dulu,” ucapnya pelan.
Kevin mengangguk, bibirnya terangkat tipis, senyum getir yang dipaksakan.
“Hmm… Hati-hati.” hanya itu yang keluar dari mulutnya.
Kevia hanya mengangguk kecil dan tersenyum tipis.
Yoga sempat mengangguk singkat pada Kevin sebelum berbalik. Langkah pria itu tenang, kontras dengan gemuruh dalam dada Kevin. Jemarinya mengepal hingga buku-bukunya memutih, rahangnya mengeras.
Tatapannya terpaku pada Kevia yang dibawa pergi dalam gendongan Yoga, meninggalkannya sendirian di sana.
"Apa dia… pria yang kamu suka? Pria yang diam-diam sudah mengisi hatimu selama ini?
Apakah dia alasanmu tak pernah bisa menerima cintaku? Alasan jarak di antara kita tak pernah berubah?"
Rahang Kevin mengeras. Jemarinya mengepal di sisi tubuh, seolah ingin menahan rasa yang menggelegak di dadanya. Napasnya berat, matanya meredup mengikuti punggung Kevia yang semakin jauh dari jangkauannya.
Dan untuk pertama kalinya, Kevin benar-benar sadar, ada jarak tak kasatmata yang membentang di antara mereka. Jarak yang kini telah terisi. Atau mungkin… sejak awal memang sudah diisi oleh sosok pria lain?
Taksi melaju meninggalkan keramaian kota, menyisakan denting halus musik dari radio sopir. Kevia duduk bersandar, jemarinya menyentuh perban di tangannya. Bukannya larut dalam rasa sakit, pipinya justru bersemu merah. Ingatannya kembali pada Yoga. Sorot matanya, suara lembutnya, dan cara pria itu mengusap kepalanya penuh kasih.
“Dia manis sekali… dewasa, selalu membuatku nyaman,” batinnya bergetar.
Kehangatan itu membuatnya lupa sejenak tentang pria misterius, juga rasa takut yang masih membekas saat melihat Joni dan Janto mengintainya. Semua menguap, terganti oleh satu nama. Yoga.
Taksi melaju meninggalkan keramaian kota, menyisakan denting halus musik dari radio sopir. Kevia duduk bersandar, jemarinya menyentuh perban di tangannya. Bukannya larut dalam rasa sakit, pipinya justru bersemu merah. Ingatannya kembali pada Yoga. Sorot matanya, suara lembutnya, dan cara pria itu mengusap punggung dan kepalanya penuh kasih.
“Dia manis sekali… dewasa, selalu membuatku nyaman,” batinnya bergetar.
Kehangatan itu membuatnya lupa sejenak tentang pria misterius, juga rasa takut yang masih membekas saat melihat Joni dan Janto mengintainya. Semua menguap, terganti oleh satu nama. Yoga.
Taksi berhenti di depan rumah kontrakan. Kevia turun perlahan, lututnya masih terasa sakit saat digerakkan. Beberapa tetangga yang kebetulan lewat menoleh penasaran. Di depan warung kecilnya, Ardi yang sedang melayani pembeli terpaku, matanya membelalak melihat putrinya dengan perban di tangan dan lutut.
“Via!” serunya panik, meninggalkan pembeli begitu saja.
Dea yang membantu di fotokopi pun ikut terkejut, buru-buru berlari menghampiri.
“Apa yang terjadi, Nak? Kenapa sampai luka begini?” Ardi menatap putrinya dengan wajah penuh cemas.
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
Popy menatapnya dengan wajah tersinggung, rahangnya mengeras. “Gadis yang kau suka? Anak tukang kelontong itu? Gadis miskin—”
“Berhenti!” potong Kevin lagi, kali ini lebih keras. Matanya berkilat penuh amarah. Ia mendekat, suaranya rendah namun tajam bagaikan pisau.
To be continued
Kevia sudah berada di kampus, bisik-bisik terdengar membicarakan kehidupan Kevia yang pastinya akibat ulah Riri dan Popy.
Cari mampus nih duet duo setan Popy dan Riri menempelkan puluhan foto Kevia bersama pria paruh baya yang terlihat tampak mesra.
Kevia sangat kaget melihat foto-foto tentang dirinya berdua dengan pria paruh baya yang adalah klien Yoga.
Popy dan Riri lihat saja kelakuanmu pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal.
tidak sabar nunggu Orang suruhannya Yoga datang ato Yoganya sendiri yang turun tangan untuk nyelametin Kevia.
ya Kevia memang wanita tangguh Yoga...sekatang Keviamu tidak mudah di tindas ia bisa mengatasinya
pasti itu Dea...yang ngadu sama Tuannya...