NovelToon NovelToon
The Absurd Girl And The Cold Flat Boy

The Absurd Girl And The Cold Flat Boy

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos
Popularitas:409
Nilai: 5
Nama Author: Irma pratama

Gimana jadinya gadis bebas masuk ke pesantren?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Penyamaran Arabella Yang Gagal

...BAB 23...

...PENYAMARAN ARABELLA YANG GAGAL...

Kaisar berdiri tegap, hendak mengulurkan tangan, ingin menghentikan langkah Arabella. Bibirnya nyaris membuka untuk menjelaskan, tapi...

“Heh! Gue nggak butuh penjelasan dari orang yang suka ninggalin!” ucap Arabella mendahuluinya. Suaranya tajam, matanya berkaca-kaca.

Tanpa memperhatikan sekeliling, Arabella berbalik dan berjalan cepat. Namun...

KKrreeekk...

Langkahnya terhenti. Bukan karena kata-kata Kaisar... tapi karena kaki kirinya tanpa alas menghantam batu kerikil di halaman pesantren. Arabella langsung meringis. Baru sadar kalau sepatu sebelahnya hilang!

ck... auuw...

Seisi pesantren yang tadinya menahan napas... kini tak bisa menahan tawa.

“HMM... CINDERELA HILANG SEPATU NIH CERITANYA!” teriak Devan dari belakang sambil menahan ngakak.

“Tapi cinderelanya bawa senjata eh, sepatu tadi mana?” celetuh Balwa sambil melihat ke kiri dan ke kanan.

“Sumpah ya, ini sih cinderela versi barbar! Kalo yang nyari sepatu bukan pangeran, tapi... korban!” timpal Balwi, membuat suasana jadi pecah tawa.

Arabella langsung menatap tajam ke arah mereka bertiga.

“DEVAAAANNNN!!BALWAAA!!! BALWII!!!! KALIAN BERTIGA YAA??? DASAR BIANG MASALAH!!!”

Sandal jepit yang entah dari mana, kini sudah di tangannya lagi, melayang ke arah trio absurd itu. Mereka berlari sambil cekikikan, membuat para santri makin tak tahan untuk tidak ikut tertawa.

Sementara Kaisar hanya menatap punggung Arabella yang makin menjauh. Masih dengan sepatu sebelah, masih dengan tingkah absurd yang sangat dia rindukan. Namun dalam senyum geli Kaisar, terselip satu hal... Rasa Sakit.

Hah...

Bukan karena tawa orang lain, tapi karena Arabella belum tau alasan di balik kepergiannya.

Raiya... kalo kamu mau dengar... saya bisa jelasin semuanya. Tapi gimana caranya kalo kamu terus lari kayak gitu... bahkan dengan cuma sepatu sebelah...

Ustaf Jiyad menghampiri Kaisar, menepuk pundaknya sambil menahan tawa.

“Kamu yakin dia masih gadis yang kamu kenal dulu?”

Kaisar mengangguk pelan senyumnya lembut.

“Meskipun dia sedikit beda dari penampilannya, tapi dia masih Raiya. Masih gadis yang bisa bikin saya gila dalam semua versinya.”

*****

Arabella masuk kamar deangan napas memburu, wajah merah padam entah karena marah, malu atau bingung. Dia langsung menjatuhkan diri ke kasur bawah dengan satu sepatu masih terpasang dan satu kaki polos penuh debu.

Dina, Elis dan Sari yang sedang lipat mukena langsung menoleh bersamaan.

“Eh.. itu sepatu sebelahnya mana, Bell?” tanya Elis polos sambil mengerutkan alis.

Arabella mengangkat tangan, melempar tasnya ke pojokan sambil mendesah keras.

“HILANG DI TENGAH KRISIS IDENTITAS!”

“Tunggu, maksud kamu... yang manggil kamu ‘Raiya’ tadi itu siapa?! Gila itu cowok ngegas banget, loh! Semua orang diem, bahkan Ustadzah Rahmah aja kayak patung.” Ucap Sari heboh.

Arabella berguling-guling di kasur sambil menutupi wajah pakai bantal.

“Aaaarrgghhhtttt... Astaga gue pengen jadi semut... ngilang ke lobang kecil dan ga balik lagi!” teriak Arabella terpedam.

Dina melihat tangan di dada, menatap Arabella dengan tatapan tajam-tajam lucu.

“Jangan-jangan... cowok itu cowok yang dulu ninggalin kamu ya? Yang sempet dibahas sama Nisa waktu kita di rumah sakit?”

Arabella langsung terdiam. Hening...

“KAISAR AR_RAYAN” gumam Arabella pelan, hampir tak terdengar.

Ketiga sahabatnya langsung saling pandang.

“ASTAGA... SERIUSANNYA?!” teriak Elis dan Sari bersamaan.

“Jadi itu dia? Lelaki yang ninggalin kamu? Yang bikin kamu semaleman bengong di taman?” tanya Dina penasaran.

Arabella mengangguk lemah, lalu langsung bangun duduk.

“Tapi kenapa dia balik, sih?! Kenapa juga harus sekarang?! Dan kenapa dia harus manggil gue ‘Raiya’ mana di depan seluruh pesantren lagi?! Sekarang kan semua orang pasti mikir gue ini tokoh sinetron atau anime!”

“Tapi kok aku malah ngerasa adegannya romantis, ya. Kayak adegan FTV spesial Ramadhan.” Celetuk Sari tiba-tiba.

“FTV sih FTV, tapi ini mah udah kayak kisah viral Tiktok! ‘Ketika mantan yang kau rindukan, kembali dengan status sepupu Ustad ganteng...’” timpal Elis.

Arabella langsung melempar bantal ke arah mereka berdua.

“YAELAAAHHH JANGAN DIBIKIN KONTEN WOY!”

Mereka pun tertawa bersama, tawa hangat yang sedikit mencairkan ketegangan di dada Arabella. Tapi dalam senyum itu, matanya tetap menyimpan tanya, Apa yang Kaisar mau? Kenapa dia kembali? Dan... kenapa hatinya masih bereaksi sama seperti dulu?

*****

Senja turun perlahan, mewarnai langit dengan semburat jingga yang sendu. Angin berhembus pelan, menyapu dedaunan taman pesantren yang sunyi.

Kaisar duduk di bangku taman, menatap kosong ke depan. Bayangan Arabella masih tertinggal di pelupuk matanya, terutama tatapan matanya yang memuat luka... dan rindu yang tertahan

.

Langkah kaki terdengar perlahan. Ustad Izzan datang pertama, wajahnya tetap datar seperti biasa. Di susul oleh Ustad Azzam yang ramah, Ustad Jiyad yang ceria dan Ustad Hamzah yang penuh wibawa. Tidak ada yang langsung berbicara. Mereka duduk mengelilingi Kaisar, membiarkan angin dan hening berbicara sejenak. Dan, akhirnya Ustad Azzam memecah keheningan.

“Kai, boleh kita tau... siapa sebenarnya Arabella buatmu?”

Kaisar menarik napas panjang, sebelum menjawab dengan suara berat, namun tenang.

“Dia adalah... gadis yang dulu gue kejar. Yang gue perjuangin diem-diem.”

Semua Ustad menoleh. Bahkan ustad Izzan yang biasanya dingin, menatap Kaisar dengan penuh ketegangan.

“Dulu kita emang deket. Dan nggak banyak yang tau juga sama kedekatan kita, soalnya gue emang nggak mau umbar. Tapi pas gue ngerasa Raiya mulai ngebuka hati, justru gue yang harus pergi.”

“Pergi?” tanya Ustad Jiyad, mengernyit.

Kaisar mengangguk pelan.

“Kalian ingat kan, pas bokap nyokap gue kecelakaan. Kondisinya kritis. Gue harus pulang, ngurus perusahaan keluarga, ngurus keluarga... dan akhirnya pindah kuliah ke Yaman.” Ucap Kaisar dengan suara mulai lemah. “Waktu itu gue nggak sempet bilang ke Raiya. gue nggak tau perasaannya waktu itu... dan gue juga takut kalo tau jawabannya.”

Semua terdiam. Hening menggantung begitu berat. Ustad Izzan menunduk, mengepalkan tangan di atas lututnya. Wajahnya tak terbaca, tapi matanya merebut.

Ustad Azzam menyandarkan pungungnya ke sandaran bangku. Suaranya pelan, nyaris tak terdengar. “Jadi... dia masih mencintaimu?”

“Gue sih nggak tau. Tapi dari cara dia natap gue tadi... gue yakin, kalo dia belum selesai sama gue.” Ujarnya menatap Azzam.

Azzam hanya tersenyum pahit. “Hah... Pertanyaannya sekarang itu... apa saya masih berhak memperjuangkannya?”

Kaisar masih terdiam, membiarkan angin malam menyapu wajahnya. Tapi kalimat terakhir Ustad Azzam terus terngiang di telinganya. Namun tiba-tiba Kaisar mengerutkan dahi, memutar kepala menatap Ustad Azzam dengan tatapan penuh tanya.

“Azzam... tadi lo bilang memperjuangkan Arabella?”

Nada suara Kaisar terdengar bingung, nyaris tak percaya. Ustad Azzam hanya tersenyum kecil, lalu menatap lurus ke depan, matanya seperti menembus gelapnya malam.

“Iya, Kai... Saya menyukainya.” Suaranya tenang, tapi mengandung kejujuran yang dalam. “Gadis absurd itu... dengan semua tingkah anehnya, kejailannya, cara dia menyapa dengan suara keras padahal orang baru bangun tidur, tentah sejak kapan, dia mencuri perhatian saya.” Lanjutnya mendeskripsikan Arabella.

Kaisar nyaris tak bisa menyembunyikan kerterkejutannya.

“Lo...?!”

Tapi sebelum Kaisar bisa merespons lebih jauh, Ustad Izzan yang sejak tadi diam, mengdongak perlahan.

“Bukan hanya Azzam, Kai. ” ujarnya datar, namun mengandung beban. “Tapi saya juga...” dia menghela napas pendek. “Saya juga menyukai Arabella.” Tegas Ustad Izzan dengan kejujurannya.

what???

Kaisar seperti terkena palu besar di kepalanya. Dia terdiam mematung. Matanya menatap Izzan dan Azzam bergantian. Dua orang sahabat, dan satu orang sepupu... Yang ternyata memendam rasa untuk gadis yang sama. Ustad Jiyad melirik Kaisar dengan canggung.

“Jadi... kalian bertiga?”

Ustad Hamzah hanya mengangguk pelan, seperti baru menyadari betapa rumit benang yang sedang terbentuk di antara mereka. Kaisar menghela napas berat.

“Aah pantes aja kalian ngeliatin gue kayak gitu. Kalian juga sama sama perjuangin dia ya...”

Ustad Azzam tersenyum getir.

“Kami bahkan belum tau siapa yang paling dicintainya. Tapi jelas... Arabella bukan gadis biasa, Kai. Dia memang istimewa.” Ucap Ustad Izzan menambahkan tanpa ekspresi.

“Dan dia bukan hadiah yang bisa direbut. Kalau dia memilihmu, saya akan mundur. Tapi kalau tidak, saya masih akan memperjuangkannya, sampai dia meminta sebaliknya.”

Ustad Azzam mengangguk mantap. “Sama.”

Kaisar hanya diam. Benar kata mereka Arabella bukan milik siapa pun, bukan gadis yang bisa dimiliki karena obsesi atau nostalgia. Tapi hati Kaisar kini bergemuruh. Dia pernah memiliki harapan. Tapi kini, harapan itu harus bersanding dengan kenyataan bahwa dia bukan satu-satunya yang mencintai Arabella.

Tiga hati. Satu nama. Satu takdir yang belum terungkap. Dari balik jendela n’dalem yang sedikit terbuka, Uma Salma dan Kiyai Hasyim yang baru saja hendak keluar untuk mengecek suasana pondok malah tanpa sengaja mendengar percakapan empat pemuda yang duduk di taman. Suara mereka cukup jelas di telingan dua orang tua itu.

Awalnya Uma hanya ingin menegur santri yang belum masuk kamar, tapi langkahnya terhenti begitu mendengar nama Arabella disebut. Dia tak berniat menguping, namun kalimat demi kalimat yang terucap membuatnya terdiam.

“Saya juga menyukai Arabella.”

“Kami bahkan belum tau siapa yang paling dicintainya.”

“Kalau dia memilihmu, saya akan mundur.”

Uma Salma menoleh cepat ke arah suaminya, lalu membelalakan mata.

“Ya Allah, Abi... kamu dengar itu?” bisiknya panik tapi penasaran.

Kiyai Hasyim yang kalem hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, tangannya tetap memegang cangkir teh yang mulai dingin.

“Hah... santri putri absurd satu itu ternyata yang menyimpan badai di hati para pemuda.” Uma Salma mendengus kecil, masih tak percaya.

“Aku kira yang diperebutkan itu nak Shaliha, nak Zafira... perempuan kalem dan lemah lembuh. Lah ini... Arabella, anak tukang ngebanyol, barbar, ngomongnya suka ngagetin, larinya kayak dikejar harimau.”

Kiyai Hasyim tertawa pelan, “Barangkali justru itu yang bikin mereka jatuh hati. Gak semua laki-laki mencari yang diam dan kalem. Ada yang butuh kehidupan, warna dan kejujuran.

Uma Salma mencubit pipinya sendiri pelan. “Uma pusing, Abi. Gimana ini? Yang naksir Bella itu Izzan anak kandung kita... dan Kaisar, ponakan yang kita anggap anak juga. Terus Azzam juga... Astagfirullah, ini cinta segi tiga, atau segi empat?”

Kiyai Hasyim menepuk pundak istrinya dengan lembut. “Tenang, Uma. Kita gak bisa ikut campur urusan hati mereka. Yang bisa kita doakan semoga siapapun yang berjodoh dengan Arabella itu yang terbaik.”

Uma mendesah panjang, matanya menatap kosong ke luar jendela. “Tapi... teap aja, aku ini Ibu. Gimana nggak mikir? Kalau aku dukung Izzan, kasihan Kaisar. Tapi kalau aku dukung Kaisar, Izzan bisa patah hati. Aku nggak tega sama dua-duanya.”

Kiyai Hasyim tersenyum bijak. “Mungkin bukan soal siapa yang kita dukung, tapi siapa yang Arabella pilih. Hati perempuan, Uma... hanya dia yang tau siapa yang benar-benar membuatnya merasa aman.”

Uma Salma terdiam. Dalam hatinya, dia berdoa semoga tidak ada hati yang hancur, dan semoga pilihan Arabella adalah yang bisa menjaga dan membimbingnya dalam cinta yang di ridhai Allah.

*****

Adzan magrib menggema dari masjid utama pesantren milik Kiyai Hasyim, menggema merambat lembut di antara lorong-lorong asrama santri.

Arabella yang baru saja selesai mencuci muka dan berganti baju menatap bayangannya di cermin dengan gelisah.

“Astagfirullah... harus jamaah.. harus ngaji.. harus ketemu dia?” gumamnya pelan, panik sendiri.

Wajahnya yang biasa Absurd kini menegang. “Gimana kalo dia muncul? Gimana kalo dia duduk deket? Gimana kalo dia manggil ‘Raiya’ lagi di depan semua orang?! Hah.. matilah gue!”

Dina, Sari dan Elis yang baru masuk kamar dengan mukena di tangan langsung memandangi Arabella yang bolak-balik di depan cermin seperti cacing kepanasan.

“Bell... kamu kenapa sih? Kok dari tadi kayak orang habis nonton film horor?” tanya Dina.

Arabella langsung berbalik, matanya menyala penuh ide. “Gue nggak bisa ketemu dia. Gue belum siap. Jadi... gue bakal nyamar!”

“HAH?!” seru ketiganya hampir bersamaan dan menjatuhkan mukena mereka.

Dengan semangat barbar khas Arabella, dia mengobrak-ngabrik lemarinya. Dia mengambil mukena polos warna hitam, kemudian mengenakan masker besar, ditambah kaca mata bulat besar seperti kacamata renang, dan hoodie abu-abu yang sudah luntur warnanya.

“Udah kayak ninja,” celetuk Sari sambil nahan tawa.

Arabella memutar tubuhnya, gayanya seperti model runway gagal.

“Gimana? Keren gak? Dijamin dia gak bakalan ngenalin gue!”

Elis geleng-geleng, “Bell, kamu yakin mau ngaji atau ngelamar jadi intel?”

Dina menahan ketawa sampai perutnya sakit. “Kalau Kaisar gak kenal sih iya... tapi bisa-bisa Ustadzah Rahmah malah nyuruh kamu ruqyah.”

Tapi Arabella tetap teguh dengan niatnya.

“Yang penting gue nggak ketemu dia dalam versi Arabella! Hari ini... gue adalah ‘Anti Raiya’!”

Akhirnya dengan penuh perjuangan, Arabella berangkat ke masjid dengan penampilan absurd anti malu, menyelinap di antara santri lain yang hanya bisa menatap heran. Bahkan beberapa santri berbisik.

“Itu siapa sih? Emak-emak pindahan dari planet pluto ya?”

 Namun bagi Arabella, tak ada yang lebih penting daripada menyembunyikan luka dan debar di dadanya. Karena baginya, bertemu Kaisar lagi... adalah pertempuran yang belum siap dia menangkan.

Masjid utama pesantren milik Kiyai Hasyim mulai dipenuhi oleh santri. Aroma harum sandal kayu, wangi sabun mukena, dan suara sayup\=sayup doa menyati dalam suasana jelang magrib yang tenang.

Namun ketenangan itu seketika pecah... saat sesosok makhluk misterius melangkah masuk ke area wudhu santriwati. Pakai mukena hitam longgar, hoodie belel menutupi kepala, masker besar menutupi wajah, dan kacamata bulat super tebal bak karakter anime gagal desain. Langkahnya pelan tapi mencurigakan. Sesekali mukenanya nyangkut di sendal orang.

Devan, Balwa dan Balwi yang baru saja keluar dari tempat wudhu langsung membeku.

“WOY, WOY, WOY! LIAT ITU!” bisik Devan sambil menepuk pundak Balwa.

Balwa menggigit bibir, “Astagfirullah... itu tuyul nyasar?!”

Balwi menyipitkan mata, “Itu sih bukan tuyul... itu Bella.”

“Pake hoodie? Di bawah mukena??”

“Cuma Bella yang bisa nyatuin gaya ninja, emak-emak pasar dan penyusup alien dalam satu outfit,” komentar Balwi datar tapi mantap.

Mereka bertiga langsung ngakak pelan sambil sembunyi-sembunyi menunjuk.

“Mau ngumpet dari siapa tuh anak absurd... pasti ada sesuatu,” tambah Balwa sambil nyengir lebar.

*****

Di sisi lain, para Ustad muda yang baru duduk— Ustad Izzan, Ustad Azzam, Ustad Jiyad dan Ustad Hamzah—ikut nenperhatikan pergerakan makhluk misterius itu.

Tatapan mereka kompak menajam. Saling lirik saling menghela napas. Ustad Izzan mengangkat satu alis, datar seperti biasa.

“Dia pikir menyamar bisa menyembunyikan energi absurdnya?”

Ustad Azzam menahan senyum. “Kalau bukan Arabella, siapa lagi yang bisa bikin masjid berasa jadi panggung cosplay misterius.”

Ustad Jiyad cengengesan. “Bahkan dari gaya jalan dan sendal kebalik pun udah ketauan ya...”

Ustad Hamzah hanya menganggguk pelan. Dengan nada penuh wibawa.

“Itu dia... sang legenda.”

*****

  Sementara itu, Kaisar yang sedang melipat sajadah di sisi pojok depan, menoleh pelan saat suara sendal nyeret khas terdengan. Matanya langsung membulat.

“Itu... dia?” gumamnya dalam hati.

 Langkah makhluk misterius itu memang tak asing baginya. Bahkan cara menyeka keringat pakai ujung mukena pun... adalah signature khas Arabella. Kaisar berdiri setengah. Matanya tak lepas dari sosok yang kini duduk dan terus membenahi mukena sambil melirik kanan-kiri.

“Ya Robb... dia nyamar? Seabsurd inikah caranya ngehindarin gue?” Kaisar mengusap wajahnya. Antara geli, sedih dan... makin jatuh cinta.

Kaisar duduk kembali, menatap langit-langit masjid sambil senyum kecil.

“Raiya... bahkan saat menyamar pun, lo tetep mencolok. Gimana gue bisa berpaling coba?”

*****

 Niat hati ingin menyamar, tapi apa daya, keringat menetes seperti air hujan di bulan Juli. Arabella duduk bersimpuh di shaf paling belakang, sambil terus menarik-narik hoodie yang sumpek dan menahan masker yang sudah lembab. Kacamata bulatnya mulai turun ke ujung hidung. Napasnya nggos-ngosan.

“Astagfirullah... panas banget... siapa sih yang nyuruh gue pake ini semua?” gerutunya pelan sambil menepuk-nepuk mukanya pakai ujung mukena.

Dina, Elis dan Sari yang duduk di sampingnya Cuma bisa geleng-geleng sambil nyengir tahan tawa.

“Udah aku bilang, Bel... bukan kamu banget gaya nyamar kayak gitu,” bisik Elis.

“Kamu tuh kayak anak ayam nyasar nyamar jadi ninja,” tambah Sari sambil nyolek pelan.

Arabella menatap mereka dengan tatapan penuh penderitaan.

“Gue takut ketemu dia... gue belum siap.”

Namun belum sempat drama internal itu berakhir...

Ssssttt...!

Beberapa santri di sekitar mulai menoleh karena suara bisik-bisik mereka terlalu heboh. Dan...

BRAK!

Kacamata jatuh. Masker kebuka. Hoodie tersingkap setengah. Rambut acak-acakan yang tertutup rapih tadi, kini tampak dari sela-sela mukena yang kusut.

“BELAAA?!?” bisik hampir seluruh shaf belakang serempak.

Devan, Balwa dan Balwi di saf cowok langsung bersin kronis karena menahan tawa.

“Kan... gue bilang juga apa?!” ujar Devan sambil ngikik.

“Mission Failed.” Komentar Balwi penuh simpati palsu.

“Cinderela jadi ninja gagal,” tambah Balwa dengan ekspresi pura-pura serius.

Dari kejauhan, Kaisar yang baru saja selesai dzikir hanya bisa menghela napas...

“Kamu emang nggak pernah bisa sembunyi dari gue, Raiya.”

Tatapannya hangat, tanpa senyum, tapi penuh rasa yang belum terucap. Sementara itu, Ustadzah Rahmah yang hendak mulai kajian memincingkan mata...

“Arabella? Dari tadi kamu di sini? bukannya kamu...”

Arabella buru-buru berdiri sambil melipat mukena, “Hehe.. saya... teleport, Ustadzah...” jawabnya dengan polos.

Semua santri ketawa tertahan. Dan Arabella? Pasrah dengan muka memelas dan bibir yang cemberut, membuat siapa saja yang melihatnya menahan gemas. Yang penting dia nggak pingsan karena kostum penyamarannya yang hampir bikin dia mandi keringat.

1
Tara
jodohmu kaga jauh ...smoga cepat bucin ya...🤭🫣🥰😱🤗👏👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!