Dilarang nangis🛠️
Siapa yang tidak hancur saat istri yang baru saja dinikahinya selepas ijab Qobul tiba-tiba meninggal.
Angkasa Sadewa yang belum rela akan kematian Mendiang Sekar akhirnya mengalami depresi yang sangat berat hingga membuatnya hampir gila.
Sampai suatu ketika Ia dan Ayahnya Pak Dewok bertemu gadis bernama Bulan. Wajah nya begitu mirip dengan Almarhum Sekar. Karena sama-sama membutuhkan Bulan dan Pak Dewok melakukan perjanjian.
Bulan harus berpura-pura menjadi Sekar dan timpal jasanya adalah membayar pengobatan adiknya Fatan yang sedang sakit parah.
Puncak masalah bertambah pelik disaat Bulan malah mengalami Amnesia akibat sebuah kecelakaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sobri Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 29 Angkasa Bikin Keder
Bulan lagi-lagi tak bisa menjawab, mulutnya terbungkam akan ucapan Angkasa.
(Aku tahu, ta_ tapi ada sesuatu yang membuatku belum siap Angkasa dan kamu tidak akan mengerti itu)
"Sweety, aku mohon jangan memaksa, izinkan aku memperlihatkannya jika nanti aku benar-benar telah siap," ucap Bulan dengan penuh permohonan.
Angkasa yang masih sibuk mengolesi bagian dadanya dan hampir menyelusup kebagian dalam, menghentikan aktivitasnya. Ia menatapi wajah istrinya seakan banyak hal yang ingin ditanyakan.
"Apa masalahmu, Sekar? Kenapa kau selalu menolakku? sampai kapan kau akan bersedia menyerahkan apa yang kau miliki sepenuhnya padaku?" Kata-kata Angkasa terdengar pilu. Sebagai seorang lelaki tentu Ia butuh alasan yang masuk akal.
Bulan kembali mematung, untuk yang kesekian kalinya tidak mampu memberikan sebuah jawaban. Angkasa menghela nafas panjang lalu menyerahkan salep itu ketangan Bulan.
"Baiklah, aku akan menunggu sampai malam ULTAH mu dan aku tidak mau dengar lagi ada kata penolakan untuk itu," ungkapnya. "Disaat malam itu tiba aku tidak akan perduli apapun alasan mu." Setelah menyelesaikan perkataannya Angkasa pun berlalu keluar tanpa menoleh sedikit pun.
Disini lah Bulan baru sadar, Ia tidak akan bisa menolak lagi. Ucapan Angkasa dipastikan akan benar-benar terjadi dan itu harus.
"Bagaimana ini? tidak mungkin aku menyerahkan tubuhku pada nya? yang aku sendiri tidak bisa menjamin suatu saat nanti, jika dia tahu aku bukanlah Sekar, dia masih bisa menerima aku?" Bulan melupakan rasa gatalnya berganti dengan perasaan gelisah. Ia tidak akan bisa tenang sebelum Angkasa melupakan obsesinya.
Angkasa memilih duduk di tepi kolam menikmati air yang terlihat sangat tenang tapi berbanding terbalik dengan hatinya yang tengah kacau., hatinya marah. Istri yang baru beberapa pekan dinikahinya tiba-tiba menolak dengan alasan yang tidak masuk akal.
Kata orang, awal pernikahan akan penuh kebahagian, rasa manis dan kebebasan dalam hal apapun. Namun sampai saat ini Ia belum pernah merasakan itu. Bersabar dan menunggu sudah Ia lakukan akan tetapi rasanya tidak ada artinya.
"Sekar!" pekik Angkasa, menekan kepalanya yang serasa menegang. "Haruskan aku memaksamu hanya karena ini? Tidak boleh kah aku memiliki dirimu seutuhnya? kenapa? apa cintamu sudah hilang?" Angkasa tak kuasa meneteskan air matanya. Hatinya kecewa, menerima kenyataan itu. Meragukan cinta Sekar pun mulai menjadi pertanyaan besar.
Beberapa kali ditolak rasanya sangatlah sakit, Ia juga manusia normal yang punya batas kesabaran.
"Angkasa...!" Pak Dewok baru saja datang dan langsung menemuinya seorang diri.
"Ayah...."
Pak Dewok menepuk pundak Angkasa, hatinya ikut iba melihat kesedihan di wajah sang anak. Jujur saja, meski Angkasa tidak pernah ingin di manjakan, Pak Dewok akan tetap melakukannya.
"Apa yang membuatmu sedih, ha?" sama-sama lelaki tentu Pak Dewok memahami perasaan Angkasa.
"Aku tidak sabar ingin punya anak, Ayah. Tapi bagaimana bisa jika Istriku ketakutan seperti itu." Angkasa melepaskan bebannya dengan menceritakan semuanya.
Pak Dewok terenyuh.
(Itu karena Bulan bukan Sekar, Nak)
"Apa setiap wanita akan seperti itu?" tanya Angkasa. Memasang tatapan dalam terhadap sang Ayah.
"Hahaha...." Pak Dewok pura-pura tergelak. "Tentu saja, dulu Ibumu juga begitu,malu-malu kucing saat Ayah berhasil menikahnya."
Angkasa mengerutkan dahi. "Kenapa begitu, Ayah?" tanya Angkasa lagi. Ia mulai tertarik mengetahui lebih jauh.
Pak Dewok mengedarkan tatapannya ke arah taman. Ia sebenarnya tidak tahu harus mulai berbicara dari mana agar Angkasa bisa memahami ucapannya.
"Karena setelah menikah, kehidupan seorang gadis berubah seratus persen, Nak. Dia harus siap mengurusi segala sesuatunya terutama melayani kamu dan mengandung. Mengandung bukanlah perkara mudah, Ia harus rela sakit dan kesusahan membawa perut yang besar selama sembilan bulan. Dan itu menguras tenaga, penampilannya juga akan kurang terurus. Bersabarlah, Ayah yakin Sekar hanya belum siap saja," ujar Pak Dewok memberi pengertian.
Angkasa mulai tenang. "Ayah benar, mungkin aku yang harus bersabar untuk itu. Tapi, Yah. Jujur saja Angkasa tidak sabar merasakan indahnya jadi seorang Ayah."
"Iya, Ayah paham. Setiap pria yang sudah menikah akan menginginkan itu. Kamu tunggu saja waktunya." Pak Dewok mengakhiri percakapan dan membiarkan Angkasa merenungi ucapanya.
Angkasa akhirnya semangat lagi dan memutuskan menemui Bulan yang ternyata sedang menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut dan membelakangi posisinya sekarang.
Angkasa memeluk tubuh Bulan dan menciumi pipinya. "Sayang, apa kau sudah tertidur?"
"Belum, menjauhlah mukaku sudah seperti badak sekarang dan itu memalukan," sahut Bulan dari balik selimutnya.
"Biarkan saja, aku mencintai segala kekurangan mu." Angkasa malah merebahkan diri disampingnya. "Maaf ya, jika aku sudah marah tadi. Aku tahu, kau pasti takut tubuhmu rusak dan kesulitan jika mengandung nanti."
Bulan penasaran, Ia merasa aneh ketika tiba-tiba Angkasa berubah pikiran. Ia pun membuka selimutnya.
"Kau tidak sedang bergurau kan?" tanya nya, memastikan.
Wajahnya terlihat senang.
Angkasa tersenyum dan hendak masuk kedalam selimut Bulan.
"Ehk... jangan masuk aku sedang tidak memakai apa pun." Bulan berusaha menolak namun Angkasa nekat menyelusup.
"Tidak papa, aku hanya akan memelukmu tanpa melakukan apa pun."
Angkasa benar-benar melingkarkan tangannya di perut Bulan yang kini tidak ada kain yang menghalanginya.
(Ya Allah, kenapa aku tidak memakainya lagi tadi)
Bulan deg-degan, nafas Angkasa menerpa telinganya. Jarak wajah mereka sangat dekat dan lama kelamaan pemuda itu justru menempelkan hidungnya dipipi Bulan sambil memejamkan mata menikmati pelukan nya.
Bulan sengaja menggoyangkan tubuh berharap Angkasa akan melonggarkan pegangannya tapi yang terjadi sebaliknya. Angkasa menaikan satu kakinya di kaki Bulan.
"Sweety, bisakah kau menjauhi ku." Bulan tidak bisa berkutik sedikit pun.
"Diamlah, kenapa kau terus bergerak seperti belut sih? aku sedang menikmati suasana ini sebelum kita dipisahkan oleh anak-anak kita yang tidur ditengah nanti."
"Anak-anak?"
"Iya, apa kau akan menidurkan nya dipinggir lalu terjatuh?"
Angkasa, kenapa kau selalu membuatku mengagumimu sih. Sejauh itu kau memikirkan anak yang tidak mungkin lahir dari kita berdua. Rasanya itu sangat mustahil...
"Pasti anak itu beruntung dilahirkan jadi anakmu, belum dibuat saja kau sudah memikirkan keselamatannya," gumam Bulan lirih, namun Angkasa tetap bisa mendengarnya.
"Anak itu anugerah, Sayang," sahut Angkasa lagi, menambah kedekatan tubuh keduanya. Bulan bisa merasakan sesuatu milik Angkasa menempel di pah_anya.
Bulan menikmati wajah Angkasa yang sudah terlelap, wajah tampan yang memikat, tidak dipungkiri Ia menyukai apa yang dilihatnya. Dekapannya begitu hangat, menimbulkan sendi-sendi kebahagian tersendiri.
Aku berharap suamiku akan seperti mu Angkasa
Bulan merasa otaknya sudah tidak beres, Ia sendiri bingung akan perasaanya terhadap Angkasa semakin hari bertambah aneh.
Ada apa denganku? apa aku kebawa perasaan? Jujur saja siapa yang tidak terbuai akan perlakuannya manisnya setiap waktu.
Pluk!
Tangan Angkasa naik dan menyentuh dua bukit kembar miliknya, Bulan langsung melotot merasakan itu.