Arjuna dikenal sebagai sosok yang dingin dan datar, hampir seperti seseorang yang alergi terhadap wanita. la jarang tersenyum, jarang berbicara, dan selalu menjaga jarak dengan gadis-gadis di sekitarnya. Namun, saat bertemu dengan Anna, gadis periang yang penuh canda tawa, sikap Arjuna berubah secara drastis.
Kehangatan dan keceriaan Anna seolah mencairkan es dalam hatinya yang selama ini tertutup rapat. Tak disangka, di balik pertemuan mereka yang tampak kebetulan itu, ternyata kedua orangtua mereka telah mengatur perjodohan sejak lama. Perjalanan mereka pun dimulai, dipenuhi oleh kejutan, tawa, dan konflik yang menguji ikatan yang baru saja mulai tumbuh itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ivan witami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 Kepergian Elsa
Anna berjalan lunglai menuju pintu lift khusus. Ia seperti tidak ada semangat lagi untuk bekerja. Ia terus memikirkan Juna sedang apa di Singapore bersama Elsa. Walau yang ia tahu Elsa masih koma.
“Hai semua, selamat pagi,” sapa Anna sedikit lesu saat tiba di lantai atas menyapa rekannya.
“Pagi, Na. Kamu kok kayak lemes gitu. Kurang tidur?” tanya Tiara menghampiri Anna sambil membantunya membawa tasnya.
“Hem, kurang segalanya. Huuaammm!” jawab Anna sekenanya diakhiri dengan menguap dan terus berjalan ke ruangannya diikuti Tiara.
“Na, pak Juna tiga hari setelah dari Paris, kok gak pernah ke kantor? Dia sakit ya?”
Anna masih menguap lalu duduk di kursinya.“ Mungkin,” jawab Anna singkat, mana mungkin dia memberitahu jika Juna sedang menemani Elsa.
“Kok mungkin sih? Kamu kan tunangannya, memangnya pak Juna gak kasih kabar gitu?” tanya Tiara penasaran.
“Gak, aku juga gak tahu, aku gak bakal ganggu dia. Dia ada urusan penting buat hidup dan kebahagiaannya. Sudahlah, walau aku ini tunangannya, tapi kehidupan pribadinya aku tidak banyak tahu. Ya sudah, sana balik kerja. Aku mau tidur lagi.” Anna sekilas mengibaskan tangannya agar Tiara kembali ke mejanya, ia pun menyandarkan kepalanya diatas meja.
“He… jangan tidur. Lima belas menit lagi kita harus ke pabrik lihat produksi brand baju baru kita, Na,” ujar Tiara mengingatkan.
Anna mendongak melihat Tiara.“Kamu aja yang ikut. Aku udah malas kerja, huamm.” Anna kembali menyandarkan kepalanya.
Tiara hanya bisa menggelengkan kepalanya, Andai Anna bukan anak dari rekan bisnis bosnya, mungkin Anna sudah ia tarik dari ruangan.
“Kalau kamu kayak gini terus, gimana nanti aku bisa tenang kerja, Na?” Tiara berkata sambil duduk di samping Anna dan menatap wajah temannya penuh kekhawatiran.
Anna menarik napas panjang, lalu membuka matanya perlahan. Cahaya pagi yang hangat menyusup lewat jendela kaca besar ruangan kantor mereka. Beberapa rak buku dan pajangan minimalis bertumpuk rapi mengisyaratkan bahwa Anna sebenarnya tipe orang yang teratur. Namun hari ini, semuanya tampak tidak beres.
“Aku hanya merasa… kosong, Tiara,” kata Anna lirih. “Ini bukan tentang pekerjaan. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang selama ini jadi penyemangatku.”
Tiara mengangguk paham. “Maksudmu pak Juna, kan?”
“Ya, siapa lagi kalau bukan dia. ” Anna menghembuskan napas berat.
“Kamu boleh cerita sama aku, Na. Aku bisa menjadi pendengar yang baik.”
Anna menghela napas panjang.“ Tidak usah, tidak baik juga mengumbar masalah pribadi sama orang lain, walaupun kamu temanku,” jawab Anna malas , ia juga tidak suka bercerita masalah pribadinya pada orang lain, baginya justru menambah rumit masalah.
Tiara mencibikkan bibirnya tetapi ia tidak kesal det Anna, menghormati keputusan temannya yang tidak mau bercerita padanya.
“Tiara, aku keluar sebentar ya. Ada perlu.” Anna memutuskan untuk menyusul Juna ke Singapore karena perasaan tidak enak.
“Lah… terus ke kunjungan pabrik bagaimana?”
“Kamu saja sama pak Aldo.”
Tiara hanya bisa melongo menatap Anna pergi dari ruangan kerjanya.
***
Singapore
“Tolong… bertahan, Elsa,” suara Juna bergetar, tangan pria itu menggenggam erat tangan Elsa yang dingin di ranjang rumah sakit. Ruang ICU di Singapura itu terasa sunyi, hanya suara dari mesin monitor yang berdetak seirama dengan napas Elsa yang semakin melemah.
Elsa membuka matanya perlahan, dan senyumnya yang lemah membelah wajahnya yang tampak pucat. Senyum itu bukanlah senyum kebahagiaan, melainkan senyum perpisahan yang menyakitkan. “Juna… maafkan aku,” suaranya nyaris tak terdengar, tapi Juna tahu setiap kata yang keluar dari bibir itu penuh dengan rasa penyesalan dan cinta yang mendalam.
Juna menatap wajah Elsa, air mata mengalir tanpa henti dari matanya. “Elsa, jangan bicara seperti itu. Aku di sini, aku takkan pergi kemana-mana,” desah Juna, berusaha menahan kesedihan hatinya yang hampir pecah. “Kenapa kamu harus bilang maaf? Untuk apa?”
Elsa menarik nafas pendek, suara itu hampir tersendat. “Aku hanya ingin kamu… bahagia, Juna. Bahagia bersama seseorang yang mencintaimu,” katanya lirih, lalu sedikit mengusap air matanya yang jatuh di pipi. “Aku tahu, kamu sudah bertunangan dengan Anna, gadis yang cantik dan baik hati, Nuri yang cerita padaku” Elsa menatapnya dengan tatapan penuh kasih.
“Cintailah dia, janji padaku, ya?”
Juna menggeleng, suaranya pecah saat membalas. “Cintaku hanya untuk kamu, Elsa.”
“Mungkin untuk sekarang,” Elsa terisak, “Tapi aku ingin kamu bisa melanjutkan hidup. Jangan biarkan aku menjadi penghalang kebahagiaanmu bersama Anna, berjanjilah,” Elsa menekan tangan Juna sekuat tenaga, lalu detik demi detik, genggaman itu menjadi lemah.
Hati Juna remuk, ia merasakan dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Dengan perlahan, ia meletakkan kepalanya di samping kepala Elsa dan memejamkan matanya. “Elsa… aku janji, aku akan mencoba,” katanya, suaranya penuh dengan keputusasaan dan harapan yang rapuh.
Tiba-tiba alarm monitor berbunyi panjang dan nyaring, memecah hening ruangan itu. Beberapa suster langsung memasuki ruangan, terkejut ketika melihat layar monitor yang menunjukkan tanda-tanda vital Elsa sudah hilang. “Denyut jantungnya berhenti!” seru seorang suster dengan panik.
Juna melepaskan genggaman tangannya dari Elsa, tubuhnya menggigil hebat. “Elsa, jangan tinggalkan aku,” tangisnya pecah sambil memegangi tangan yang telah dingin itu.
Sementara itu, di ruangan dokter yang bersebelahan, Nuri duduk dengan wajah penuh kecemasan. Ia melihat dokter yang sibuk membuka map berisi laporan medis. Suara dokter akhirnya terdengar serius.
“Bagaimana kondisi Elsa, Dok?” tanya Nuri dengan suara setengah gemetar.
Dokter menghela napas panjang, matanya menatap dalam. “Mungkin sudah saatnya saya beri tahu, Nuri… kondisi Elsa sangat kritis. Dia menderita kanker otak stadium akhir yang sudah tidak bisa disembuhkan lagi.”
Nuri menelan ludah, rasa sakit menyelimuti hatinya. “Tapi… kemarin saya melihat dia sempat sadar dan berbicara dengan Juna,” ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
“Itu yang disebut ‘Terminal Lucidity’,” jelas dokter dengan penuh kesedihan. “Fenomena di mana pasien yang hampir meninggal tampak sadar dan lebih jernih untuk sesaat. Namun sesungguhnya itu tanda ia sudah di ambang kematian.”
Nuri menunduk, air mata mulai menggenang. “Tidak mungkin… Elsa…”
“Tolong jangan kehilangan harapan, tapi persiapkan diri kamu, Nuri,” kata dokter lembut.
Seketika suara suster kembali memecah ketegangan. “Dok, denyut nadi Elsa berhenti!” seru suster di ambang pintu.
Dokter dan Nuri berlari keluar dari ruangan, menuju ruang ICU. Sesaat kemudian, Nuri melihat Juna duduk terpaku di kursi ruang tunggu. Matanya merah dan sembab, badai emosinya terlihat jelas. Juna menatap kosong ke arah ruangan kaca, di mana dokter dan suster berjuang melawan waktu.
“Jun,” panggil Nuri dengan suara penuh kepedihan, memegang pundak sahabatnya.
Juna menatap kosong ke arah Nuri, suaranya lemah. “Dia sudah pergi, Nuri. Elsa… dia benar-benar pergi.” Tak dapat menahan tangisnya, ia merangkul lutut dan merintih pilu, jatuh terduduk.
Nuri terdiam sementara air mata mengalir deras di pipinya. “Selama ini aku yang menemani Elsa, tapi… aku tidak bisa melakukan apapun,” ujarnya lirih.
Tanpa mereka sadari, Anna, tunangan Juna, yang tengah berada di koridor itu menyaksikan semuanya. Tatapannya berubah lara melihat lelaki yang dicintainya tenggelam dalam kesedihan. Dengan langkah pelan, ia mendekati Juna dan dengan lembut berlutut di depannya, meraih pundak laki-laki itu.
“Jun,” bisik Anna penuh kehangatan.
Juna menengok ke arahnya, tanpa berkata apa-apa langsung memeluk Anna dengan erat. “Dia sudah pergi, Anna…” suaranya pecah membagikan luka yang menyesakkan. Tangan mereka menggenggam tanda bahwa meski kehilangan menyakitkan, mereka harus saling menguatkan.
Sore itu, langit Singapura tampak dingin, seolah ikut merasakan kepedihan yang merentang di ruang rumah sakit itu. Kisah cinta, perpisahan, dan keikhlasan tumbuh dalam derai air mata yang tak berhenti mengalir. Elsa telah pergi, tetapi kenangan dan harapan yang ia tinggalkan akan terus hidup dalam hati Juna, Nuri, dan Anna. Sebuah perjalanan panjang untuk menyembuhkan luka pun dimulai, dimulai dari saat itu di dalam ruang putih yang sunyi.