NovelToon NovelToon
Cinta Sang Pewaris

Cinta Sang Pewaris

Status: sedang berlangsung
Genre:Playboy / Murid Genius / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: CantiknyaKamu

Argani Sebasta Ganendra adalah pewaris muda dari keluarga yang berdiri di puncak kejayaan. Ayahnya seorang CEO tambang emas, ibunya desainer ternama dengan butik yang selalu menjadi pusat perhatian sosialita. Semua yang ia butuhkan selalu tersedia: mobil sport mewah, sekolah elit dengan fasilitas kelas dunia, dan hidup yang diselimuti gengsi serta hormat dari sekitarnya. Di sekolah, nama Argani bukan sekadar populer—ia adalah sosok yang disegani. Wajah tampan, karisma dingin, dan status pewaris membuatnya tampak sempurna. Namun, di balik citra itu, Argani menyimpan ruang kosong di hatinya. Sebuah perasaan yang ia arahkan pada seorang gadis—sederhana, berbeda, dan jauh dari dunia yang penuh kemewahan. Gadis itu tak pernah tahu kalau ia diperhatikan, dijaga dari kejauhan oleh pewaris yang hidupnya tampak sempurna. Kehidupan Argani semakin rumit ketika ia dipaksa mengikuti jejak keluarga: menjadi simbol keberhasilan, menghadiri pertemuan bisnis, bahkan menekan mimpi pribadinya. Di satu sisi, ia ingin bebas menjalani hidupnya sendiri; di sisi lain, ia terikat oleh garis keturunan dan kewajiban sebagai pewaris

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CantiknyaKamu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ASTORIA

Perjalanan ke Supermarket

Sore itu, halaman rumah terasa sejuk setelah gerimis kecil reda. Latisha sudah berganti pakaian santai: kaos putih longgar, celana jeans biru, dan rambut diikat sederhana. Amar tampak ceria dengan hoodie biru gelapnya, sedangkan bunda mereka memakai cardigan hangat dan kerudung lembut warna pastel.

Sebuah taksi online berhenti tepat di depan rumah. Supir menurunkan kaca jendela, tersenyum ramah.

“Latisha, ya? Ayo, silakan naik.”

“Siap, Pak,” jawab Latisha sambil membantu bunda masuk lebih dulu, lalu Amar, dan terakhir dirinya.

Di dalam mobil, Amar langsung heboh. “Kak, nanti kita beli sereal yang ada mainannya, ya! Aku udah nabung dari uang jajan!”

Latisha terkekeh. “Dasar bocah… yang kamu pikirin cuma mainan. Tapi oke deh, nanti kita cari.”

Bunda ikut tertawa kecil, menoleh pada keduanya. “Kalian berdua dari dulu memang selalu paling senang kalau urusan belanja. Padahal Mama capek jalan lama-lama di supermarket.”

Amar merangkul lengan bunda, manja. “Tapi kan seru, Bun. Kita bisa pilih camilan bareng, bisa nyicip tester kue, terus pulangnya bawa banyak kantong belanja. Itu kayak pesta kecil buat kita.”

Latisha tersenyum hangat, menatap adiknya. “Iya, Ma. Kadang aku juga mikir, belanja bareng kayak gini itu salah satu momen paling indah. Enggak perlu liburan jauh-jauh, asal kita bertiga kumpul aja udah cukup.”

Bunda terdiam sesaat, lalu matanya berkaca-kaca mendengar itu. Ia menggenggam tangan Latisha. “Kamu anak baik, Nak. Bunda bersyukur kalian masih bisa menghargai hal kecil seperti ini.”

Mobil pun melaju di antara jalanan sore Jakarta, dengan cahaya jingga matahari menyapu jendela. Di dalam taksi itu, tawa dan obrolan sederhana mereka membuat perjalanan terasa lebih dari sekadar rutinitas,itu adalah kebahagiaan kecil yang tidak tergantikan.

Di Supermarket

Begitu sampai, Latisha menggandeng tangan bunda sementara Amar sudah melompat kecil ke depan, mendorong troli dengan semangat.

“Amar, pelan-pelan! Jangan nabrak orang,” tegur Latisha sambil cekikikan.

“Tenang aja, Kak, aku pro troli! Nggak bakal kecelakaan,” balas Amar dengan gaya percaya diri. Namun baru dua langkah, troli sudah oleng ke arah rak roti. “Ups!”

Bunda dan Latisha tertawa melihat tingkahnya.

“Dasar, kamu itu bukan pro, tapi bahaya buat roti,” canda Latisha sambil merapikan roti yang hampir jatuh.

Mereka mulai berjalan di lorong sayuran. Bunda memilih tomat dan cabai, sementara Amar dengan penuh misi membawa wortel besar-besar.

“Kak Sha, nanti bikin sup wortel ya. Aku pengen makan tiap hari biar mataku kayak mata elang!” seru Amar.

Latisha menepuk dahinya. “Elang itu kuat bukan karena wortel, Mar. Itu cuma kartun. Tapi oke deh, kita masak sup wortel.”

Bunda terkekeh, “Yang penting anak Bunda mau makan sayur, itu sudah bagus.”

Lanjut ke bagian camilan, Amar berusaha memasukkan beberapa snack ke troli. Latisha buru-buru mengangkat alis.

“Eh, jangan banyak-banyak! Kamu pikir rumah kita supermarket cabang, ya?”

“Tapi Kak, ini diskon! Masa nggak beli? Hemat loh,” Amar membela diri dengan wajah polos.

Bunda hanya tersenyum, lalu menambahkan satu bungkus snack ke troli. “Oke, boleh satu bungkus. Biar Amar senang. Tapi jangan kebanyakan gula ya.”

Amar langsung bersorak, “Yes! Bunda paham aku!”

Saat tiba di bagian minuman, Latisha mengambil susu kotak kesukaan Amar. “Nih, biar kamu nggak cuma minum soda.”

Amar tersipu, “Hehe… makasih, Kak.”

Mereka terus berjalan sambil bercanda kecil. Latisha yang biasanya terlihat kuat, di momen ini tampak seperti kakak penuh kasih, Amar selalu membuat suasana hidup, dan bunda mereka tersenyum tenang melihat dua anaknya akur.

Sampai di kasir, Amar yang paling semangat menata barang di conveyor belt. “Ini kayak main puzzle, Kak! Lihat, susunya pas di tengah, snack di pinggir, perfect!”

Kasir tertawa melihat tingkah Amar. “Adiknya aktif banget ya, Mbak.”

Latisha tersenyum hangat. “Iya, begitulah… kalau nggak ada dia, mungkin hidup saya bakal sepi.”

Bunda yang berdiri di belakang hanya menatap keduanya penuh rasa syukur, seolah momen sederhana ini adalah harta paling berharga.

Kasir sudah menyebutkan total belanjaan mereka.

Latisha membuka dompet, sementara Amar sibuk menata barang-barang ke kantong belanja.

Tiba-tiba, sebuah kartu kredit diletakkan di meja kasir.

“Pakai kartu saya aja, Mbak,” ucap suara tenang dari samping.

Bunda, Latisha, dan Amar serempak menoleh.

Latisha refleks terkejut. “Vion…?” gumamnya pelan.

Benar saja, di sana berdiri seorang cowok dengan kemeja santai dan wajah kalem, Vion.

Tangannya masih menyodorkan kartu ke kasir.

Bunda Indri agak bingung. “Nak Vion… kamu temannya Latisha ya?”

Vion tersenyum sopan. “Iya, Bunda. Kebetulan banget ketemu di sini. Biar saya aja yang bayarin.”

“Eh, nggak usah, Vion. Serius deh, kami bisa bayar sendiri kok,” buru-buru Latisha menolak, wajahnya mulai memerah.

Amar malah nyeletuk polos sambil nyengir, “Kalau aku sih nggak nolak, Kak Sha. Hemat banget tuh!”

“Amar!” Latisha langsung menoleh tajam ke adiknya.

Vion terkekeh kecil, jelas menahan tawa melihat interaksi kakak-adik itu.

“Udah nggak apa-apa, Sha. Anggap aja kebetulan baik hari ini,” katanya ringan.

Kasir menunggu kepastian, dan Bunda Indri akhirnya tersenyum lembut.

“Kalau begitu, terima kasih banyak ya, Nak Vion. Kamu baik sekali.”

“Dengan senang hati, Bun,” jawab Vion sambil sedikit menunduk sopan.

Transaksi pun selesai, dan belanjaan mereka beres dibungkus.

Sambil mengambil kantong belanjaan, Vion menoleh pada Latisha.

“Kebetulan aku bawa mobil, kalau mau aku antar kalian pulang.”

Latisha buru-buru menggeleng. “Eh, nggak perlu repot. Kami udah pesen taksi online.”

Bunda hanya tersenyum, sementara Amar menatap curiga ke arah kakaknya, lalu berbisik kecil,

“Kak Sha… jangan-jangan kakak ditaksir ya sama Kak Vion?”

“Amar!” Latisha langsung menepuk kepala adiknya pelan, wajahnya makin kesal

Vion yang melihat itu hanya tersenyum tipis, matanya menatap Latisha lebih lama dari biasanya,sebelum akhirnya ia berpamitan, “Kalau begitu hati-hati di jalan ya, Sha… Bunda… Amar.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!