Kehidupan seorang balita berusia dua tahun berubah total ketika kecelakaan bus merenggut nyawa kedua orang tuanya. Ia selamat, namun koma dengan tubuh ringkih yang seakan tak punya masa depan. Di tengah rasa kehilangan, muncullah sosok dr. Arini, seorang dokter anak yang telah empat tahun menikah namun belum dikaruniai buah hati. Arini merawat si kecil setiap hari, menatapnya dengan kasih sayang yang lama terpendam, hingga tumbuh rasa cinta seorang ibu.
Ketika balita itu sadar, semua orang tercengang. Pandangannya bukan seperti anak kecil biasa—matanya seakan mengerti dan memahami keadaan. Arini semakin yakin bahwa Tuhan menempatkan gadis kecil itu dalam hidupnya. Dengan restu sang suami dan pamannya yang menjadi kepala rumah sakit, serta setelah memastikan bahwa ia tidak memiliki keluarga lagi, si kecil akhirnya resmi diadopsi oleh keluarga Bagaskara—keluarga terpandang namun tetap rendah hati.
Saat dewasa ia akan di kejar oleh brondong yang begitu mencintainya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Bandara sore itu tampak sibuk. Suara roda koper beradu dengan lantai marmer, pengumuman dari pengeras suara silih berganti, dan aroma kopi dari kafe di sudut lorong tercium samar.
Celin berdiri tegak di area VIP dengan setelan blazer abu yang sederhana namun rapi. Di sampingnya, Arka dan Aksa tampak gelisah menunggu. Empat bulan bukan waktu sebentar. Meski komunikasi lewat video call rutin dilakukan, tetap saja rindu tak bisa sepenuhnya terobati.
Pintu kedatangan terbuka. Seorang perempuan elegan bergaun krem muncul dengan senyum lebar. Arini. Di belakangnya, pria tegap berjas hitam melangkah mantap: Bagaskara.
“Mama!” Celin segera menghampiri, memeluk Arini erat.
“Sayangku… Celia Aurora. Mama kangen sekali,” bisik Arini sambil mengecup keningnya.
Bagaskara menyusul, menepuk bahu Arka dan Aksa sebelum merangkul Celin. “Papa dengar semua laporanmu luar biasa, Nak. Kamu sudah jadi tangan kanan Papa.”
Celin hanya tersenyum, menahan air mata. “Aku cuma berusaha menjaga semuanya tetap berjalan.”
“Dan kamu berhasil,” jawab Bagaskara tegas.
Suasana hangat menyelimuti mereka. Bagi Celin, itu seperti kepulangan sepotong jiwanya yang hilang.
---
Sejak kepulangan kedua orang tua itu, kantor pusat Bagaskara Group terasa lebih sibuk. Pertemuan investor, evaluasi proyek, hingga rencana ekspansi baru menumpuk di meja.
“Celia, tolong cek ulang draft kontrak ini. Pastikan pasal 7 tidak ada celah hukum,” ujar Bagaskara suatu pagi, meletakkan map tebal di meja kerja putrinya.
Celin mengangguk tanpa ragu. “Baik, Pa. Sore ini sudah selesai.”
Arini tersenyum bangga melihat putri sulungnya bekerja dengan tenang. “Mama bersyukur kamu ada, Celia. Kalau tidak, bisnis bisa berantakan selama kami di luar negeri.”
Hari-hari Celin kini diisi rapat sejak pagi hingga sore. Malam pun kadang masih berkutat dengan laptop di ruang kerja rumah. Ia seolah lupa bahwa dirinya masih muda, seolah dunia ini sudah menuntutnya jadi dewasa sepenuhnya.
--
Arka dan Aksa, yang biasanya sibuk dengan kegiatan sekolah dan OSIS, tiba-tiba sering muncul di sekitar Celin.
Suatu malam, Celin sedang mengetik laporan. Arka mendekat, merebut laptop dari pangkuan kakaknya.
“Ka—!”
“Stop. Malam ini kamu istirahat. Aku nggak mau kakakku jadi zombie kerja.”
Celin tertawa kecil. “Arka, ini penting.”
“Lebih penting kesehatan Kak Celin.” Arka menjatuhkan kepala di pangkuannya, bersikap manja.
Aksa datang sambil membawa segelas susu hangat. “Minum dulu. Katanya kalau kerja sambil stres bisa bikin sakit kepala. Aku nggak mau Kak Celin sakit.”
Celin menatap dua adiknya dengan senyum haru. “Kenapa kalian kompak banget akhir-akhir ini?”
“Karena Kak Celin terlalu sibuk ngurus kantor. Kalau bukan kami yang jagain, siapa lagi?” jawab Aksa.
Mereka sering bergiliran menemani Celin makan malam, atau sekadar duduk di sofa sambil bercerita tentang sekolah. Semua dilakukan dengan satu tujuan: menahan Celin agar tidak terlalu dekat dengan orang lain, terutama Cakra.
---
Cakra tahu. Ia tahu Celin makin sibuk, makin sulit ditemui. Ia tahu Arka dan Aksa makin lengket, seolah membentuk benteng tak kasat mata di sekeliling kakaknya.
Di kelas, ia sering diam, menatap kosong papan tulis. Teman-teman sibuk meributkan study tour, tapi pikirannya hanya pada Celin.
Suatu sore, ia lewat depan gedung Bagaskara Group. Dari kaca besar lantai lima, samar-samar ia melihat bayangan Celin yang sedang berdiskusi serius dengan beberapa staf. Ia berhenti, menatap lama.
“Dia terlihat dewasa sekali… begitu jauh dari jangkauanku.”
Hatinya mencelos. Tapi sekaligus, ada bara kecil: cemburu.
---
Sabtu sore, keluarga Bagaskara makan malam bersama di restoran hotel bintang lima. Celin duduk di samping Papa Bagas, sementara Arka dan Aksa bergantian menyuapkan potongan daging ke piring kakaknya.
“Celin, jangan cuma kerja terus. Kamu juga harus jaga kesehatan,” ujar Bagaskara.
“Iya, Pa. Aku usahakan,” jawab Celin.
Arka menyela, “Pa, Kak Celin kemarin hampir lembur semalaman. Untung aku paksa dia tidur.”
Aksa menimpali, “Aku juga selalu pastikan Kakak makan tepat waktu.”
Semua tertawa hangat. Kecuali Cakra.
Dari meja seberang, ia melihat pemandangan itu. Ya, ia kebetulan juga ada di restoran itu bersama keluarganya. Pandangannya terkunci pada Celin yang tersenyum bahagia diapit dua adiknya.
Tangannya mengepal di bawah meja. Ada rasa asing yang menyesakkan dada: iri, cemburu, sekaligus takut kehilangan.
---
Malam itu, Cakra kembali berhenti di ujung jalan depan rumah Bagaskara. Dari sana, ia bisa melihat balkon kamar Celin. Lampu redup menyala, bayangan Celin terlihat tengah membaca berkas.
“Dia bahkan bekerja di rumah…” gumamnya lirih.
Suara tawa tiba-tiba terdengar dari dalam rumah. Arka dan Aksa. Mereka masuk ke kamar Celin, membawa bantal dan camilan. Dari kejauhan, Cakra melihat siluet mereka bercengkerama, bercanda sambil membuat Celin tertawa.
Hatinya perih.
“Kenapa aku merasa seperti orang luar yang hanya boleh melihat dari jauh?”
---
Keesokan harinya, Aksa kembali menemuinya di sekolah.
“Cakra.”
“Kenapa?” jawab Cakra dingin.
“Gue udah bilang, jangan terlalu dekat sama Kak Celin.”
Cakra menatap balik, sorot matanya tajam. “Gue nggak bisa pura-pura nggak peduli.”
“Lo sadar nggak, Kak Celin sekarang makin sibuk? Dia nggak butuh tambahan masalah.”
“Kalau keberadaanku masalah, kenapa dia selalu tersenyum tiap kali ketemu gue?” balas Cakra pelan, tapi menusuk.
Aksa terdiam. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak punya jawaban.
---
Celin sendiri… lambat laun mulai merasakan sesuatu yang ganjil. Setiap kali Cakra muncul dengan alasan kecil—mengantar buku, menanyakan tugas—ada rasa hangat di dadanya. Ia tidak menyadari bahwa perhatian kecil itu sudah mulai menumbuhkan benih perasaan samar.
Namun, ia selalu menepisnya. “Dia teman Arka dan Aksa. Aku cuma kakak mereka.”
---
Suatu sore, Celin pulang dari kantor lebih awal. Di halaman rumah, ia bertemu Cakra yang kebetulan lewat dengan sepedanya.
“Kak Celin? Pulang cepat?” tanya Cakra.
Celin mengangguk. “Iya, capek sekali hari ini.”
“Boleh aku bawakan tasnya?”
Celin tertawa kecil. “Boleh.”
Mereka berjalan berdampingan menuju pintu rumah. Dan tepat saat itu, Arka dan Aksa muncul dari dalam.
Arka langsung mendekat, merebut tas dari tangan Cakra. “Aku aja yang bawain, Kak.”
Aksa berdiri di samping Celin, menepuk pundaknya. “Kak, masuk dulu. Kamu pasti capek.”
Cakra tercekat. Dalam sekejap, ia tersisih. Seolah kehadirannya tidak pernah diperlukan. Senyum Celin tetap ramah, tapi perhatian penuh terarah ke dua adiknya.
Malam itu, di kamar, Cakra menatap langit-langit gelap.
“Apakah aku selamanya hanya akan jadi penonton?”
--
Hari-hari berikutnya, rasa cemburu itu makin tumbuh liar. Ia mulai murung di sekolah, kehilangan fokus. Hanya ada dua hal di pikirannya: Celin, dan bayangan Arka–Aksa yang selalu ada di sisinya.
“Aku nggak mau menyerah,” bisiknya.
“Meskipun dunia menolak, aku tetap ingin berada di dekatnya.”
---
Bersambung
cakra msti lbih crdik dong....ga cma mlindungi celin,tp jg nyri tau spa juan sbnrnya....mskpn s kmbar udu nyri tau jg sih....
nmanya jg cnta.....ttp brjuang cakra,kl jdoh ga bkln kmna ko....
kjar celine mskpn cma dgn prhtian kcil,ykin bgt kl klian brjdoh suatu saat nnti.....
ga pa2 sih mskpn beda usia,yg pnting tlus....spa tau bnrn jdoh....
nongol jg nih clon pwangnya celine.....
msih pnggil kk sih,tp bntr lg pnggil ayang....🤭🤭🤭