Ketika cinta dan takdir bertemu, kisah dua hati yang berbeda pun bermula.
Alya gadis sederhana yang selalu menundukkan kepalanya pada kehendak orang tua, mendadak harus menerima perjodohan dengan lelaki yang sama sekali tak dikenalnya.
Sementara itu, Raka pria dewasa, penyabar yang terbiasa hidup dengan menuruti pilihan orangtuanya kini menautkan janji suci pada perempuan yang baginya hanyalah orang asing.
Pernikahan tanpa cinta seolah menjadi awal, namun keduanya sepakat untuk menerima dan percaya bahwa takdir tidak pernah keliru. Di balik perbedaan, ada pelajaran tentang pengertian. Di balik keraguan, terselip rasa yang perlahan tumbuh.
Sebab, cinta sejati terkadang bukan tentang siapa yang kita pilih, melainkan siapa yang ditakdirkan untuk kita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dinar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Pagi ini Raka baru saja pulang mengantarkan Alya ke kantor cabang, memang betul Raka memutuskan untuk menemani sang kekasih sampai tugasnya selesai. Tentu saja Bagas sang Papa sudah memberikan izin dan dengan senang hati menggantikan kehadiran sang anak di kantor, meskipun Raka masih tetap memantau dan mengerjakan pekerjaan secara autopilot.
" Apakah Alya sudah berangkat, Nak?".
Harun dan Raka kini sedang duduk bersama menikmati sarapan pagi, keduanya larut dalam obrolan ringan yang memusatkan pada satu orang yaitu Alya.
" Sudah, Om".
" Panggil Ayah saja, sebentar lagi kalian akan bersama dalam ikatan suci". Harun menyeruput kopi hitamnya dengan pelan karena masih panas.
Keduanya kembali menikmati makanan yang hampir habis, jika Raka memutuskan untuk menemani Alya. Berbeda dengan Harun yang akan kembali siang ini, karena tujuannya sudah terealisasi malam tadi meskipun penuh emosi dalam dadanya.
Setidaknya setelah obrolan bersama dengan Alya, kini Harun lebih memahami dan akan belajar untuk lebih baik dalam memperlakukan sang Anak. Bukankah anak perempuan lebih sensitif jika dibandingkan dengan anak laki-laki yang lebih cuek?.
" Nak, terimakasih banyak sudah memberikan Ayah kesemp untuk bisa berbicara empat mata dengan Alya. Banyak sekali yang baru Ayah ketahui tentang perasaan seorang anak perempuan yang diabaikan, bahkan rasanya sangat campur aduk. Ada rasa sakit yang begitu dalam Ayah torehkan.... Sampai untuk menangis saja Alya sudah tidak mampu".
Harun kini menatap sendu wajah Raka dihadapannya, ada banyak harap yang tidak terucapkan namun benar-benar menyimpan kepercayaan yang begitu besar.
" Sudah seharusnya seperti ini Yah, karena sebenarnya saling mengutarakan dan saling mendengarkan satu sama lain adalah yang paling dibutuhkan agar tidak ada kesalahpahaman yang berlarut".
Raka menyenderkan tubuhnya ke sofa, kedua tangannya kini berada diatas paha. Menetralisir asupan oksigen yang kini terasa kurang didadanya.
" Ayah sangat menyesal, tapi benar kata Alya. Itu tidak akan merubah apapun, ternyata selama ini Ayah terlalu egois...."
Raka mengerutkan keningnya menunggu Harun melanjutkan ucapannya yang sempat terhenti.
" Selama ini Ayah terlalu fokus pada kehidupan baru, terlalu memanjakan Fahri karena rasa bersalah. Padahal Alya juga korban, bahkan sampai-sampai Ayah melupakan hati seorang anak kecil yang sampai dewasa ternyata menantikan kehadiran Ayahnya secara utuh".
Harun mendudukkan kepalanya, gelengan yang lemah kini terlihat sangat menyayat. Namun, setiap perbuatan yang kita lakukan bukankah ada konsekuensi yang harus diterima?.
" Raka paham Ayah, tapi dengan keterbukaan yang terjadi semalam semoga menjadi salah satu jalan menuju kebaikan. Alya dan Ayah masih membutuhkan waktu untuk menata hati dan saling menerima kembali, Alya bukan tipe pendendam Yah. Disudut hati kecilnya masih tersimpan dengan rapih rasa sayang dan rindu untuk Ayah".
Harun membenarkan ucapan Raka, selama ini Alya memang masih menghargai dan menghormati dirinya bahkan Maya dan Fahri. Tidak ada ucapan bahkan sikap buruk yang ditunjukkan oleh Alya.
" Terimakasih sudah hadir bahkan menerima dengan baik kehadiran Alya, semenjak kehadiranmu Alya terlihat bahagia. Maaf karena Ayah yang telah abai pada anak sendiri, Ayah sangat berhutang padamu, Nak".
Harun mendudukkan kepalanya, suaranya kembali bergetar apalagi kilatan kejadian dan ucapan Alya semalam yang masih berputar rapih dikepalanya.
" Jangan bicara seperti itu Yah, ini adalah salah satu tugas dan tanggungjawab Raka. Alya adalah calon istri yang bahkan sebentar lagi akan menjadi istri Raka, tidak ada alasan untuk Raka menyakiti perempuan sekuat dan sebaik Alya". Raka dengan tegas menjawab.
" Sudah cukup selama ini dia memendam rasa sakitnya seorang diri, kini hanya ada kebahagiaan yang harus dia terima". Raka kembali melanjutkan ucapannya.
Harun menghela nafas panjang dan dalam dadanya terlihat pergerakan yang lambat namun berat.
" Ayah sangat berharap dan percaya kepadamu, tolong jangan pernah lelah untuk selalu berada disampingnya. Menemani sedihnya, bahagia bahkan ceritanya, karena Ayah tidak yakin jika waktu yang tersisa akan bisa mendapatkan kepercayaan dari Alya".
" Jangan pernah meragukan Raka Yah, karena setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk membahagiakan pasangannya. Hati tidak akan pernah salah menyimpan tempat terbaik yang dirasakan, luka itu masih bisa diobati yang penting konsisten saja".
Harun menganggukkan kepalanya kembali, kopi yang terasa nikmat entah mengapa pagi ini terasa sangat hambar.
" Maaf jika ada ucapan Ayah yang menyinggung perasaanmu, Ayah percayakan Alya kepadamu. Ayah juga berjanji akan memperbaiki tugas dan tanggungjawab sebagai seorang Ayah yang utuh untuk anaknya".
Raka mendengar ucapan sang calon Ayah mertua kini menyunggingkan senyumnya, ada perasaan lega yang dirasakan.
" Alya hanya membutuhkan kehadiran secara utuh Yah, tidak menuntut banyak. Semoga semuanya akan kembali membaik, Tuhan memiliki takdir tapi manusia memiliki usaha dan kerja keras".
Harun kini menepuk pundak Raka dengan pelan, menyalurkan rasa terimakasih yang begitu besar. Kemarin ketika dirinya menemui Raka untuk meminta bantuan dengan senang hati Raka membantunya.
Dan kali ini kesempatan yang dimiliki oleh Harun tidak akan disia-siakan, ketika kembali teringat bagaimana ucapan Alya yang menggambarkan rasa sakitnya selama ini.
Harun tidak merasa sakit hati atas ucapan sang anak, justru dirinya berterimakasih karena sang anak masih mau jujur dan terbuka bukankah itu salah satu bukti jika dirinya masih mendapatkan kepercayaan?.
Seseorang tidak akan berani terbuka bahkan berbicara panjang lebar, jika lawan bicara mereka adalah orang asing.