Aku tidak akan membiarkan, Saudara tiri dan Ibu tiri menginjak-injak harga diriku.
Ikuti kisah Intan, yang berjuang agar harga dirinya tidak injak-injak oleh ibu tirinya dan kakak tirinya. Tidak sampai situ saja, ikuti kisah perjuangan Intan untuk bisa berdiri di kaki nya sendiri hingga dirinya sukses.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pchela, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
Saat Intan kembali ke kamarnya, Mila dan Maya juga baru pulang dari belanja. Mereka menenteng banyak kresek belanjaan. Mulai dari baju-baju baru, alat makeup dan juga makanan trend yang ramai di media sosial mereka beli dengan boros.
“Bu!!, lihat ini donat yang viral itu ya kan? Aku bakalan postingan di media sosial biar teman- teman sekolah ku pada heran dengan jiwa sosialita kita berdua!! Dan biar mereka pada iri dengan kekayaannya kita!!” Kata mila heboh sambil mengambil gambar dari donat yang baru saja dia beli.
“Ini donat dua ratus ribu, isinya cuma lima. Memang kita harus makan yang seperti ini terus Bu! Lidah ku gatel kalau cuma makan tempe doang!” Ucap Mila tanpa beban, sementara ibunya sibuk mencoba-coba baju yang dia beli.
“Lihat deh ini mil! Baju longreng yang ibu beli! Bagus kan? Belum ada yang bawa lho! Di desa ini! Besok akan ibu pamerin ke ibu-ibu arisan! Biar mereka semua pada iri dengan ibu! Dan biar mereka juga pada tahu bahwa ibu punya selera di atas mereka!” kata Maya yang sibuk mundar mandir mencoba baju barunya.
Melihat istri dan anak tirinya yang baru datang dari belanja. Herman datang menghampiri mereka. “Kalian belanja uang dari mana?” Tanya Herman heran melihat begitu banyak belanjaan yang mereka beli.
“Ya uang dari kamu lah mas! Dari mana lagi! Udah Ahh!! Jangan ganggu!! Aku nggak ada beliin kamu baju!!” Ujar Maya yang kesal melihat kehadiran suaminya. Dia tahu Herman tidak akan suka dengan apa yang dilakukannya sekarang.
“Jangan bilang kamu pakai uang buat bayar sekolah nya Intan? Maya!! Kenapa kamu tega sekali dengan Intan? Padahal aku sudah menganggap Mila seperti putri ku sendiri! Tapi kenapa kamu tidak pernah memperlakukan Intan seperti putri mu juga!!” Kesal Herman saat dugaan tentang uang buat mereka belanja itu, berasal dari uang untuk sekolah Intan.
“Alahh!! Udah lah mas! Ini uang juga ada hak aku juga! Kamu jangan berlebihan seperti itu! Siapa juga yang nyuruh dia sekolah di sma harapan? Padahal masa depannya sudah tidak ada harapan lagi! Mending suruh anak kamu itu kerja mas! Biar dia nggak jadi beban di rumah ini!” Ujar Maya tanpa rasa bersalah sedikit pun.
“Ya bener itu Om! Ngapain juga Intan itu sekolah! Mending kerja saja! Bantu-bantu pemasukan buat rumah ini! Bantu bersih-bersih juga! Kan ada gunanya. Daripada sekolah tapi nggak punya masa depan gitu! Mending dia kerja dan bantu buat nambahin uang jajan aku Om! Kan, lebih terjamin masa depan aku daripada dia Om!” Ucap Mila yang mulutnya sama seperti ibunya, tidak pernah merendah padahal rendahan.
Herman shyok mendengar perkataan ibu dan anak itu. Tanpa rasa bersalah mereka mencaci putri kandungnya, Herman semakin di buat sedih kala melirik ke arah kamar Intan yang ternyata putrinya tengah mengintip dari sela pintu kamarnya yang sedikit terbuka.
“Nak maafkan papa, papa salah! Papa yang buat kamu berada di posisi sekarang. Papa menyesal telah menyia-nyiakan kamu dan ibu kamu. Sekarang papa juga menderita nak, papa menderita melihat kehidupan papa yang berubah seratus delapan puluh derajat. Di tambah papa juga menderita melihat kamu berusaha tegar seperti sekarang, padahal jauh dalam lubuk hati kamu pasti terluka nak” Batin Herman.
“Kalian jangan seperti itu pada Intan! Dia juga anak kamu Maya! Intan juga saudara kamu Mila! Jadi Papa harap kalian saling menyayangi seperti keluarga lainnya” Tegas Herman namun hanya di balas dengusan oleh mereka berdua.
“Duh mass’!! Banyak omong sekali kamu! Sakit telinga ku mas!! Udah ini sate! Aku sudah belikan kamu sate! Sepuluh ribu itu! Besok kamu nggak usah minta uang angkot buat ke pabrik, uang itu udah aku belikan sate buat kamu mas!!” Ketus Maya, dia melemparkan sebungkus sate ayam tujuh tusuk dengan ketupat.
Sambil mengintip dari sela- sela pintunya, Intan merasa sedih pada kehidupannya “pah…ini rumah kita, ini rumah papa. Tapi kenapa papa seperti babu di rumah sendiri! Papa, bisa tegas nggak sih? Sama rumah tangga papa itu! Kalau lama seperti ini aku lebih memilih ngekos sendiri! Tapi uang kos dari mana? Belum lagi aku harus bayar sekolah!? Semoga saja aku menang lomba iklan! Biar pembayaran seragam sekolah tidak perlu aku pikirkan lagi!” Gumam Intan dalam hatinya, dia menyayangkan ketidaktegasan papanya terhadap rumah tangganya itu.
Dulu saat Intan masih kecil, dia sangatlah bahagia dengan kedua orang tuanya. Beserta kakeknya yang saat itu masih begitu sehat. Hidupnya sangat sempurna. Ketika masih kecil Intan memang anak yang pandai dia gemar membaca buku, jadi Herman selalu membelikan Intan buku anak.
Intan juga anak yang rajin, dia selalu dia ajarkan bangun pagi oleh mamanya. Intan juga diajarkan untuk membersihkan tempat tidurnya sendiri, belajar memasak dan juga diajarkan untuk mandiri. Tumbuh lah dia menjadi sosok yang mandiri. Intan juga selalu di manja oleh kakek dan neneknya, saat itu Intan merasakan kasih sayang segala sisi dari keluarganya.
Tapi semenjak Maya menjadi rekan papanya di pabrik. Sifat Herman jadi berubah, dia menjadi jarang pulang. Herman juga menjadi lebih kasar ke Istrinya, kasih sayangnya ke Intan juga mulai berubah. Herman dan mamanya juga sering bertengkar, saling menuduh dan tidak mau mengalah.