Khanza hanya berniat mengambil cuti untuk menghadiri pernikahan sepupunya di desa. Namun, bosnya, Reza, tiba-tiba bersikeras ikut karena penasaran dengan suasana pernikahan desa. Awalnya Khanza menganggapnya hal biasa, sampai situasi berubah drastis—keluarganya justru memaksa dirinya menikah dengan Reza. Padahal Khanza sudah memiliki kekasih. Khanza meminta Yanuar untuk datang menikahinya, tetapi Yanuar tidak bisa datang.
Terjebak dalam keadaan yang tak pernah ia bayangkan, Khanza harus menerima kenyataan bahwa bos yang sering membuatnya kesal kini resmi menjadi suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Semua karyawan sudah berkumpul di aula dimana Reza akan mengumumkan bahwa Khanza adalah istrinya.
“Katanya Pak Reza mau umumkan sesuatu,"
“Pasti proyek besar, atau merger lagi.”
“Ah, mana tahu. Tapi kok wajah beliau kelihatan beda, ya?”
Khanza berdiri di samping Reza, tangannya dingin dan gemetar.
Ia menunduk, tak berani menatap ratusan pasang mata yang mengarah kepadanya.
Reza merasakan itu, lalu diam-diam menggenggam jemari istrinya erat.
“Tenang, Za. Aku ada di sini,” bisiknya.
Reza maju kedepan dan meminta Karyawan untuk diam.
"Selamat pagi dan terima kasih kalian sudah berada disini. Pagi ini saya ingin mengumumkan bahwa Khanza Az-Zahra adalah istri saya."
Semua karyanya yang mendengarnya langsung terkejut.
Mereka sangat tahu bagaimana Khanza dan Reza seperti tom dan Jerry jika ada di kantor.
Pak Joni langsung memberikan tepuk tangan dan diikuti oleh karyawan lainnya.
"Selamat Pak Reza, Ibu Khanza. Semoga pernikahan kalian samawa." ucap Pak Joni.
Para karyawan lainnya juga memberikan selamat kepada Reza dan Khanza.
Khanza tersenyum tipis dan ia tidak sengaja melihat Janet yang sedang menghapus air matanya dan pergi dari Aula.
"Mas, aku ke belakang dulu." ucap Khanza.
Reza menganggukkan kepalanya dan ia juga membubarkan pertemuan di pagi hari dengan karyawannya.
Khanza mengejar Janet yang masuk ke dalam kamar mandi.
"Jan, kamu kenapa nangis? Ada apa, Janet?" tanya Khanza
PLAKKK!
Suara tamparan yang dilayangkan oleh Janet ke pipi Khanza.
"Kamu masih berani tanya, Za? Kamu teman paling munafik, Za!"
Khanza masih memegang pipinya yang memerah menahan sakit.
"Munafik? Kapan aku munafi, Ja?"
Janet yang mendengarnya langsung tertawa terbahak-bahak.
"Za, aku mencintai Pak Reza dari pertama aku kerja disini. Dan sekarang kamu merebutnya dari aku! AKU BENCI SAMA KAMU, ZA!!"
Khanza tidak pernah menyangka kalau Janet menyimpan perasaan itu.
“Ja, aku nggak pernah tahu perasaan kamu ke Mas Reza. Tapi aku juga nggak pernah bermaksud merebut dia dari siapa pun,” ucap Khanza dengan suara bergetar.
“Bohong! Kamu pura-pura polos, pura-pura nggak tahu, padahal diam-diam kamu menikah sama dia! Kamu tahu nggak, selama ini aku selalu berharap bisa ada di posisi kamu?!”
Khanza menggenggam tangannya sendiri erat-erat, menahan diri untuk tidak terpancing emosi.
“Ja, aku minta maaf kalau kamu sakit hati. Tapi pernikahan ini bukan rekayasa. Aku juga nggak pernah menyangka hidupku akan berakhir seperti ini. Aku…”
Belum sempat Khanza melanjutkan perkataannya, pintu kamar mandi terbuka.
Reza melihat istrinya yang sedang memegang pipinya.
"Za, kamu kenapa?!" tanya Reza.
Janet langsung keluar dari kamar mandi dan meninggalkan mereka berdua.
"Aku nggak kenapa-kenapa, Mas. Cuma ada nyamuk tadi." ucap Khanza yang tidak mau memperpanjang masalah ini.
Reza menatap wajah istrinya yang jelas-jelas memerah, bekas tamparan masih terlihat.
“Za, jangan bohong sama aku. Siapa yang berani menyakitimu?” tanyanya tegas, suaranya berat menahan amarah.
“Mas, tolong jangan perbesar masalah. Aku nggak apa-apa, sungguh.”
Reza mengangkat dagu istrinya perlahan, memaksa Khanza menatap matanya.
“Za, aku suamimu. Aku nggak akan diam kalau ada orang yang melukaimu, apalagi sampai buat kamu nangis.”
"Mas, ini semua salahku. Aku yang sudah menyakiti hati Janet. Janet menyukai kamu, Mas."
Reza menghela nafas panjang saat mendengar perkataan dari istrinya.
"Lalu, apakah kamu akan menyerahkan aku ke Janet? "
Khanza menggelengkan kepalanya dan langsung memeluk tubuh suaminya.
"Mana mungkin aku akan menyerahkan kamu ke Janet, Mas. Kamu suamiku dan sampai kapanpun kamu tetapi suamiku." ucap Khanza.
Reza tersenyum tipis dan mencium kening istrinya.
Banyak karyawan yang melihatnya karena pintu kamar mandi tidak ditutup oleh Reza.
Ia ingin menunjukkan kepada mereka kalau Khanza wanita pilihannya.
Setelah itu ia mengajaknya untuk ke ruangan kerjanya.
"Lho, Mas. Ruangan kerjaku kan disana?" tanya Khanza.
"Sayang, mulai hari ini kamu satu ruangan dengan aku ya." jawab Reza.
Khanza melihat meja kerjanya yang ada di samping meja kerja suaminya.
Reza menarik kursi dan menunjuk ke meja yang baru disiapkan.
“Mulai hari ini, kamu kerja di samping aku. Aku mau lihat langsung kalau kamu memang serius dan profesional,” ucap Reza tenang, tapi nadanya tak memberi ruang protes.
Khanza menatap meja barunya yang rapi, dengan satu vas kecil berisi bunga segar dan sebuah nama kecil bertuliskan 'Khanza A.Z. R'
"Khanza A.Z.R itu maksudnya apa, Mas?” tanya Khanza dengan dahi berkerut, pura-pura tidak mengerti.
Reza menyandarkan tubuhnya di kursi kerja, lalu menatap istrinya dengan senyum tipis penuh arti.
“Itu singkatan, Za. Khanza Az-Zahra Reza. Karena kamu sekarang resmi milik aku.”
Pipi Khanza langsung seperti udang rebus saat mendengar jawaban dari suaminya.
Disaat mereka sedang mengobrol tiba-tiba Bimo masuk ke dalam.
"Selamat pagi Pak, Khanza." ucap Bimo.
"Selamat pagi, Bim. Dan tolong mulai sekarang panggil Ibu Khanza." ujar Reza yang tidak suka jika ada seseorang yang memanggil hanya nama saja.
Bimo yang mendengar itu langsung kaget, matanya melebar.
“I-iya, Pak. Maaf, Bu Khanza…” ucapnya gugup.
Khanza buru-buru melambaikan tangan, wajahnya merah padam.
“Bimo, panggil aku Khanza saja. Nggak usah terlalu formal begitu.”
Reza menatap istrinya tajam, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit.
“Za, kamu ini sekarang statusnya istri CEO. Wajar kalau mereka menghormatimu. Jangan pernah merendahkan dirimu sendiri.”
Khanza terdiam saat mendengar perkataan dari suaminya.
Bimo menunduk, lalu menyerahkan beberapa berkas.
“Pak, ini laporan yang harus segera ditandatangani.”
Reza mengambilnya sekilas, lalu meletakkannya di meja.
“Baik. Kamu boleh keluar, Bim. Dan ingat, mulai sekarang Khanza bukan hanya rekan kerja kalian, tapi juga Ibu kalian di perusahaan ini. Jadi perlakukan dia dengan hormat.”
“Baik, Pak. Selamat pagi, Bu Khanza.” ucap Bimo yang kemudian keluar ari ruangan kerja Reza.
Reza mengambil bolpoin dan akan menandatangani berkas yang diberikan oleh Bimo.
"M-mas, aku periksa dulu. Sepertinya ada yang aneh dengan laporan ini." ucap Khanza yang kemudian memeriksa laporan Bimo.
Khanza memeriksanya satu persatu dan banyak sekali biaya yang tidak masuk akal.
“Mas, ini aneh. Ada pos biaya baru yang ditulis sebagai ‘tunjangan tambahan untuk ibu hamil’. Jumlahnya besar sekali, padahal setahuku belum ada kebijakan baru dari perusahaan.”
Reza menarik kursi mendekat, membaca laporan itu bersama Khanza.
“Ini jelas manipulasi. Aku nggak pernah keluarkan instruksi ini. Siapa yang buat laporan ini?”
“Bukankah ini tanda tangan dari Bimo? Tapi bagian keuangan tetap yang menyusunnya, kan?” jawab Khanza ragu.
Reza mengetukkan jarinya ke meja, wajahnya kembali dingin khas seorang CEO.
“Aku nggak suka ada permainan kotor di dalam perusahaanku. Kalau sampai ada yang berani menggelapkan dana dengan alasan seperti ini…”
Khanza meminta suaminya untuk tenang dan biar dia yang menyelesaikannya.