Matahari mulai condong ke barat, menandakan jam sekolah telah usai. Para murid berhamburan keluar dari kelas, beberapa menuju kantin untuk jajan dulu, sementara yang lain langsung pulang.
Di dekat gerbang sekolah, Ray berjalan santai sambil memutar kunci motornya di jari. Di sampingnya, Dika dan Reno ikut melangkah dengan santai, ngobrol soal hal-hal nggak penting. Mereka tidak terlalu memperhatikan sekeliling hingga akhirnya Ray menangkap sosok Nadya yang berdiri di trotoar, menunggu jemputan mobilnya seperti biasa.
Tanpa pikir panjang, Ray langsung mendekat. “Eh, Nadya,” sapa Ray dengan senyum tengilnya yang khas.
Nadya menoleh sebentar dan tersenyum tipis. “Oh, Ray. Ada apa?”
Ray menyeringai dan dengan percaya diri berkata, “Pulang bareng, yuk?”
Dika dan Reno yang mendengar ajakan itu langsung melongo, tidak percaya.
“Buset, pede banget nih anak,” bisik Reno dengan nada heran.
Dika menepuk dahinya, tampak yakin kalau Nadya pasti akan menolak ajakan Ray. “Siap-siap ditolak mentah-mentah,” ujar Dika sambil memutar bola mata.
Namun, Nadya hanya berpikir sejenak. Dia melirik jam tangannya, lalu menatap Ray dengan ekspresi tenang. Tanpa banyak bicara, dia akhirnya mengangguk. “Oke, aku ikut.”
Ray terkejut sejenak, namun langsung tersenyum lebar. “Serius? Oke, siap-siap!” katanya dengan penuh semangat.
Dika dan Reno terdiam, matanya bulat karena tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. “Serius, Nadya mau ikut?” tanya Reno dengan suara tinggi, masih tak percaya.
Nadya hanya tersenyum dan mengangguk ringan. “Iya, aku ikut kok.”
Ray tersenyum penuh kemenangan. Tanpa membuang waktu, dia segera membuka jok motornya dan memberikan helm kepada Nadya.
Begitu Nadya naik, Ray langsung menyalakan mesin motor dan melaju. Dia sengaja memperlambat laju motor agar teman-temannya dan seisi sekolah bisa melihat kejadian langka ini.
“Bro, Nadya naik motornya Ray, nggak bisa diterima akal sehat!” seru Reno dengan terkejut.
Sementara itu, Dika masih tercengang. “Ini luar biasa, loh! Kayaknya dunia bakal kiamat kalau terus begini!” ejek Dika, meski masih merasa terkejut.
Di sisi lain, beberapa teman Nadya yang berada di dekat gerbang, seperti Citra dan Lidya, juga ikut kaget. Mereka melihat kejadian ini dengan mulut terbuka, tidak percaya.
“Serius? Nadya?” Citra berkata dengan nada kaget. “Dia beneran naik motor Ray?”
Lidya menggelengkan kepalanya. “Gila, aku nggak pernah nyangka dia bakal mau pulang bareng Ray!”
Ray hanya tertawa puas, merasa menjadi cowok paling keren di sekolah pada hari itu.
Di belakangnya, Nadya menatap pemandangan dengan senyum kecil. “Bisa lebih cepat nggak?” tanyanya sambil tertawa ringan.
“Tentu bisa,” jawab Ray dengan santai, tapi dia tetap melaju dengan pelan untuk menikmati momen ini lebih lama.
Hari itu, Ray merasa seperti pemenang, karena—untuk pertama kalinya—Nadya, yang biasanya menghindarinya, akhirnya menerima ajakannya pulang bareng. Sementara itu, Dika, Reno, Citra, dan Lidya masih terdiam, merasa tak percaya melihat kejadian langka tersebut.
.
Langit yang tadinya cerah mendadak mendung, dan angin mulai berembus kencang. Di atas motor bututnya, Ray melirik ke langit sekilas lalu menyeringai kecil.
"Kayaknya mau hujan," katanya santai.
Di belakangnya, Nadya merapatkan jaketnya sambil tetap memegang ujung jok motor. "Kalau tahu bakal hujan, kenapa nggak ngebut aja?" tanyanya.
Ray tertawa pelan. "Tenang, aku tahu jalan pintas."
Namun, baru saja dia selesai bicara, tetesan air mulai jatuh dari langit. Dalam hitungan detik, hujan deras mengguyur jalan.
"Duh, beneran hujan," gumam Nadya, menatap hujan dengan wajah sedikit khawatir.
Tanpa berpikir panjang, Ray segera menepikan motornya di depan ruko kosong di pinggir jalan dan mematikan mesin. "Kita neduh di sini dulu," katanya sambil menarik standar motornya.
Nadya segera turun, mengusap sedikit bajunya yang mulai basah. Angin dingin bertiup, membuatnya merapatkan lengannya sendiri untuk menghangatkan diri.
Ray meliriknya dan tanpa banyak bicara, dia melepas jaketnya lalu menyampirkannya ke bahu Nadya. "Pakai ini, nanti kamu masuk angin."
Nadya menoleh, sedikit terkejut. Dia menggenggam jaket itu erat-erat, merasakan kehangatannya yang masih tersisa. "Makasih, Ray," ucapnya pelan.
Ray hanya tersenyum kecil, lalu kembali menatap hujan. Nadya ikut diam, membiarkan kehangatan jaket Ray menyelimuti tubuhnya.
Tiba-tiba, beberapa anak kecil dengan pakaian lusuh berlarian ke arah ruko untuk ikut berteduh. Beberapa dari mereka membawa gitar kecil dan alat musik sederhana—anak-anak pengamen jalanan.
Saat mereka melihat Ray, wajah mereka langsung berseri-seri.
"Bang Ray!" seru salah satu anak laki-laki, sekitar sepuluh tahun, dengan senyum lebar.
Ray menoleh dan tersenyum. "Eh, bocah-bocah! Masih eksis, ya?"
Nadya yang tadinya hanya berdiri diam, langsung menoleh dengan bingung. "Kamu kenal mereka?"
Anak-anak pengamen itu segera mengelilingi Ray dengan wajah ceria. Ada yang menggoyang-goyangkan gitar kecilnya, ada yang menarik lengan jaket Ray, dan ada juga yang langsung duduk santai di dekatnya.
"Bang, kita baru dapat lagu baru, nih!" seru salah satu anak perempuan, mengangkat gitarnya dengan bangga.
"Oke, coba mainin," kata Ray, duduk di lantai ruko dengan santai.
Tanpa ragu, anak-anak itu mulai memainkan lagu sederhana dengan gitar kecil mereka, sementara yang lain ikut bernyanyi dengan suara polos khas anak-anak jalanan.
Nadya yang menyaksikan semua itu hanya bisa diam, matanya sesekali melirik ke arah Ray.
Dia berbeda.
Di sekolah, dia dikenal nakal, usil, dan genit. Tapi di sini, dia terlihat hangat, ramah, dan akrab dengan anak-anak jalanan ini.
Nadya tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Seolah menyadari tatapan Nadya, Ray melirik ke arahnya dan tersenyum kecil. "Kenapa? Kaget aku kenal anak-anak ini?" tanyanya santai.
Nadya mengangguk pelan. "Aku cuma… nggak nyangka aja."
Ray menghela napas dan menatap hujan di luar. "Dulu, aku sering main di jalanan. Ketemu mereka waktu masih kecil, jadi ya… bisa dibilang mereka kayak adik-adikku sendiri."
Anak-anak itu tertawa kecil sambil menggoda Ray, seolah mereka juga setuju.
Nadya diam sejenak, meresapi setiap kata yang diucapkan Ray. Hatinya terasa hangat melihat sisi lain dari cowok yang selama ini ia anggap hanya sekadar bad boy yang suka cari masalah.
Nadya menggenggam jaket Ray lebih erat. "Kamu berubah, ya," gumamnya tanpa sadar.
Ray melirik ke arahnya. "Maksudnya?"
Nadya tersenyum tipis. "Nggak ada."
Ray menatapnya beberapa saat sebelum kembali tersenyum kecil. "Kalau aku berubah, mungkin karena ada seseorang yang bikin aku ingin jadi lebih baik."
Nadya terdiam, tapi jantungnya berdetak lebih cepat.
Ray lalu menatapnya lebih dalam. "Nadya... aku suka sama kamu."
Nadya terkejut, wajahnya sedikit memerah. Dia menatap Ray, mencoba memastikan apakah cowok itu serius atau hanya bercanda seperti biasanya. Tapi kali ini, tatapan Ray begitu tulus.
Nadya kebingungan, pikirannya dipenuhi oleh banyak pertanyaan. Apa yang membuatnya merasa seperti ini? Kenapa hatinya berdebar begitu kencang? Dia mengalihkan pandangan ke hujan yang mulai mereda, mencari jawaban dalam pikirannya sendiri.
Ray masih menatapnya, menunggu jawaban. Nadya menggigit bibirnya, masih ragu. Tapi saat dia merasakan kehangatan jaket Ray yang menyelimuti dirinya, dia sadar bahwa perasaan ini bukan sesuatu yang bisa dia abaikan begitu saja.
Akhirnya, Nadya menghela napas pelan dan menatap Ray dengan senyum kecil. "Aku juga... tapi kalau kita jadian, kamu harus benar-benar berubah jadi lebih baik, Ray."
Ray tersenyum lebar. "Aku janji."
Nadya mengangguk pelan. "Oke."
Ray tertawa kecil, lalu dengan iseng mengacak rambut Nadya. "Akhirnya, ya."
Nadya mendengus kesal, tapi tak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya.
Hujan perlahan mulai reda, tapi kehangatan yang baru saja tumbuh di antara mereka tetap ada. Dan di bawah langit yang masih mendung, mereka akhirnya menjadi lebih dari sekadar teman.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Comments