Perubahan Sikap Ray

Sejak kejadian di kantin tadi siang, pikiran Nadya terus dipenuhi oleh sikap aneh Ray. Cowok itu tiba-tiba berubah jadi cuek, berbeda dengan biasanya yang selalu menyebalkan tapi tetap saja menggodanya dengan santai. Nadya tidak bisa mengabaikan perasaan janggal ini.

Saat duduk di kelas, Nadya melamun sambil menopang dagunya, matanya kosong menatap ke depan. Pikirannya kembali melayang ke beberapa waktu lalu, ketika Ray berusaha mengubah dirinya. Meski terkenal sebagai anak nakal yang sering terlibat masalah, Nadya bisa melihat usaha Ray untuk menjadi lebih baik. Dia ingat bagaimana Ray menolongnya, bagaimana dia mulai mengurangi kebiasaannya mencari gara-gara, dan bagaimana dia selalu bersikap santai meski sering dicuekin olehnya.

Tapi sekarang, kenapa Ray justru menjauh?

Bel pulang sekolah berbunyi, membuyarkan lamunannya. Nadya segera berkemas, tapi sebelum pulang, dia memutuskan untuk mencoba berbicara lagi dengan Ray. Mungkin dia hanya sedang bad mood, atau mungkin ada hal lain yang mengganggunya.

Begitu keluar dari gerbang sekolah, Nadya melihat Ray bersama Dika dan Reno yang sedang ngobrol sambil tertawa-tawa. Dengan sedikit ragu, Nadya melangkah mendekat.

"Ray," panggilnya pelan.

Ray menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada percakapannya dengan Dika dan Reno, seolah tak mendengar panggilannya.

Nadya menghela napas, namun tetap mencoba lagi. "Ray, aku mau ngomong sebentar."

Ray hanya menatapnya sejenak, lalu dengan suara datar berkata, "Ngapain?"

Jawaban itu membuat Nadya sedikit terkejut. Biasanya, Ray akan menyeringai atau melontarkan komentar usil, tapi sekarang? Dingin dan tak bersemangat.

"Aku cuma..." Nadya menggigit bibirnya, bingung harus berkata apa. "Kamu kenapa? Kenapa tiba-tiba jadi cuek begini?"

Ray tidak langsung menjawab. Dia hanya mengangkat bahu, lalu berkata, "Nggak kenapa-kenapa. Udah, kalau nggak ada yang penting, aku duluan."

Tanpa menunggu balasan, Ray berbalik dan berjalan pergi bersama Dika dan Reno. Nadya berdiri di tempatnya, menatap punggung Ray yang semakin menjauh. Perasaan kecewa mulai menyusup ke hatinya. Dia tidak mengerti kenapa Ray berubah seperti ini.

Akhirnya, Nadya hanya bisa menghela napas panjang dan melangkah pulang. Meski dia tahu seharusnya ini bukan masalah besar, tetap saja hatinya terasa sedikit berat.

Sesampainya di rumah, Nadya langsung masuk ke kamarnya dan menjatuhkan diri ke kasur. Dia menatap langit-langit kamar, pikirannya dipenuhi oleh Ray.

‘Kenapa aku terus kepikiran dia?’ gumamnya dalam hati.

Dia memejamkan mata, mengingat kembali semua momen yang pernah mereka lalui. Dari pertama kali bertemu di angkot, bagaimana Ray selalu jahil padanya, bagaimana dia menolongnya, dan bagaimana Ray selalu ada di sekitarnya. Semua terasa begitu natural—sampai Ray tiba-tiba berubah.

Nadya merasakan dadanya sedikit sesak. ‘Apa aku… jatuh cinta sama dia?’

Pikiran itu membuatnya terkejut sendiri. Dia segera duduk, memegangi dadanya seolah ingin memastikan perasaannya sendiri. Tidak mungkin… kan? Tapi kalau bukan, kenapa dia merasa kehilangan saat Ray menjauh?

Dia menghela napas dalam-dalam. Mungkin hanya ada satu cara untuk mencari tahu.

‘Besok, aku harus menemui Ray lagi,’ tekadnya dalam hati.

Dengan perasaan yang bercampur aduk, Nadya berusaha tidur, meski pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan seorang Ray.

Ray duduk di bangku taman sekolah, menatap langit sore yang mulai berubah jingga. Sejak beberapa hari terakhir, dia berusaha menghindari Nadya, mencoba menekan perasaan yang tak ingin dia akui. Tapi semakin dia menjauh, semakin hatinya terasa aneh.

“Apa aku segitunya?” gumamnya pelan, tak percaya dengan dirinya sendiri.

Sejak melihat Nadya bicara dengan Reza di kantin, ada perasaan asing yang muncul dalam dirinya. Sesuatu yang tidak nyaman, yang membuatnya memilih diam dan bersikap dingin. Tapi kini, setelah melihat bagaimana Nadya tetap berusaha menyapanya meski dia bersikap cuek, Ray mulai merasa bersalah.

“Nadya nggak salah apa-apa,” pikirnya. “Aku aja yang aneh.”

Dia mengacak rambutnya frustasi. Tidak bisa dipungkiri, dia merindukan interaksi mereka yang dulu. Walaupun Nadya sering cuek dan malas menanggapinya, setidaknya dia tidak perlu berpura-pura tak peduli seperti sekarang.

Saat Ray sedang melamun, suara langkah kaki mendekatinya. Dia mendongak dan melihat Nadya berdiri di depannya dengan tangan disilangkan.

“Kamu masih mau bersikap seperti ini terus?” tanya Nadya dengan nada datar, namun ada sedikit rasa kesal di matanya.

Ray terdiam. Nadya tidak langsung pergi seperti sebelumnya. Kali ini, dia benar-benar menunggunya bicara.

Ray menghela napas panjang. “Aku nggak ada maksud apa-apa.”

“Bohong,” potong Nadya, tatapannya tajam. “Aku tahu kamu berubah. Tiba-tiba jadi dingin dan ngejauhin aku. Aku salah apa?”

Ray menunduk, tidak langsung menjawab. Sebenarnya, dia ingin berkata jujur, tapi rasanya terlalu canggung untuk mengakui bahwa dia merasa… cemburu.

Nadya menatapnya lekat-lekat, menunggu jawaban, tapi Ray tetap diam. Dengan kesal, Nadya berbalik hendak pergi, namun kakinya tersandung batu kecil di tepi jalan setapak taman. Dia hampir jatuh jika saja Ray tidak cepat menangkap pergelangan tangannya.

“Eh, hati-hati,” ujar Ray spontan.

Nadya mendongak, melihat tangan Ray yang masih menggenggam tangannya. Untuk beberapa detik, mereka terdiam, hanya saling menatap. Nadya tiba-tiba merasakan sesuatu di dadanya—sesuatu yang selama ini ia coba abaikan.

Ray perlahan melepaskan tangannya, sedikit canggung. “Kamu nggak apa-apa?”

Alih-alih menjawab, Nadya justru merasa matanya panas. Tanpa sadar, air mata mulai mengalir di pipinya.

“Ray… kamu kenapa berubah?” suaranya bergetar. “Aku nggak suka.”

Ray terkejut melihat Nadya menangis. Nadya yang biasanya selalu kuat, yang cuek terhadap banyak hal, sekarang berdiri di depannya dengan air mata mengalir. Ada sesuatu yang menyesakkan di dada Ray.

Ray menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, sebelum akhirnya mengusap wajahnya sendiri. “Aku nggak tahu… mungkin aku cuma…”

“Cuma apa?” Nadya menunggu, suaranya penuh harap.

Ray menatapnya dalam-dalam, lalu akhirnya tersenyum kecil. “Aku cuma terlalu bodoh buat sadar kalau aku nggak mau kehilangan kamu.”

Nadya terdiam, namun air matanya berhenti mengalir. Kata-kata Ray barusan membuat hatinya terasa lebih ringan. Dia mengangguk pelan. “Jangan cuek lagi, ya?”

Ray mengangguk. “Janji.”

Nadya tersenyum kecil, lalu menatap Ray dengan lebih tenang. “Aku nggak suka kalau kamu berubah jadi begitu. Aku cuma pengen kamu jadi diri kamu yang dulu.”

Ray menghela napas, merasa sedikit lega. “Aku janji, Nadya. Aku nggak akan ngelakuin itu lagi.”

Sore itu, di bawah langit yang mulai gelap, Ray dan Nadya berdiri bersama, masing-masing merenung dalam diam. Meski perasaan mereka belum sepenuhnya jelas, satu hal yang pasti—mereka mulai saling mengerti dan tidak akan lagi berusaha menjauh.

Saat Nadya mulai berbalik hendak pergi, Ray tiba-tiba tersenyum nakal dan berkata, “Eh, Nadya... jangan terlalu sering nunjukin ekspresi serius gitu, nanti kamu bisa dibilang marah terus sama orang. Biar nggak ketahuan kalau kamu suka sama cowok cool kayak aku.”

Nadya menoleh, tampak bingung dan sedikit malu. “Kamu ini benar-benar...”

Ray tertawa kecil, merasa sedikit lega dengan suasana yang kini lebih ringan. “Maksud aku, jangan terlalu cemberut, nanti orang nggak berani deketin kamu, kan, sayang?”

Nadya menatapnya sekilas dengan mata tajam, tetapi hanya bisa tersenyum kecil. “Jangan kebanyakan ngomong, ya. Nanti kamu jadi kebiasaan.”

Ray hanya tersenyum santai, merasa sedikit lebih ringan setelah percakapan itu.

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download MangaToon APP on App Store and Google Play