Tantangan Baru

Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi, memberi tanda bahwa para siswa bisa meninggalkan kelas dan kembali ke dunia bebas mereka setelah berjam-jam dihadapkan dengan pelajaran yang kadang nggak ada habisnya. Para siswa berhamburan keluar, berharap bisa segera bebas dari rutinitas membosankan yang baru saja mereka jalani.

Di gerbang sekolah, Ray sudah bersantai, menunduk, dan menyender di pagar. Matanya tampak menerawang ke jalan yang kosong. Reno dan Dika, dua sahabatnya yang selalu setia menemani, berdiri di sampingnya, berusaha mencerna suasana yang entah kenapa terasa sedikit aneh. Ketiganya tahu hari ini tidak akan semudah yang mereka kira. Ada yang berbeda.

Reno: "Jadi… lo nunggu siapa di sini?" tanya Reno dengan suara setengah penasaran, setengah becanda.

Ray cuma senyum dan ngelirik temannya itu. "Nunggu seseorang."

Dika: "Jangan bilang lo nunggu Nadya?" Dika menatap Ray sambil mengangkat alis, pura-pura terkejut. "Gila, sih! Lo bisa-bisanya nungguin cewek kaya gitu."

Ray cuma mengangkat bahu, senyumnya makin lebar. "Pinter, bro."

Reno dan Dika langsung ngakak. Mereka berdua bisa baca ekspresi Ray yang nggak pernah kelihatan bimbang. Ray itu cowok yang selalu tampil percaya diri, kadang sok tahu, tapi selalu berhasil membuat situasi jadi menarik.

Reno: "Lo serius nih? Tapi yaudah deh, kita lihat aja nanti."

Saat mereka lagi asyik ngobrol, akhirnya Nadya muncul dari gerbang sekolah, berjalan menuju mereka dengan teman-teman cewek yang lain. Wajahnya tampak bingung, sedikit cemas—kayak orang yang bingung mau ke mana.

Ray langsung bergerak cepat, senyum nakalnya langsung muncul. "Nadya! Pulang bareng yuk!" ucapnya dengan gaya santai, seakan semuanya sudah pasti.

Nadya langsung berhenti di tengah langkahnya, matanya menatap Ray dengan bingung. Liana dan Citra, dua temannya, sudah menatap tajam ke arah Ray, penuh tanda tanya.

Liana: "Wah, dia makin berani ya?" bisiknya sambil menatap Ray.

Citra: "Iya! Gimana, Nadya? Mau dianter sama si cowok berandalan?"

Nadya mendengus pelan, langsung menatap Ray dengan ekspresi datar. "Maaf, aku nggak bisa."

Ray tetap tersenyum, senyum khasnya yang nggak pernah hilang meski dia baru saja ditolak. "Oh, kenapa? Takut jatuh hati kalau sering bareng aku?" godanya dengan nada main-main.

Nadya: "Enggak, sorry, udah ada yang jemput."

Reno langsung terbahak, ketawa terbahak-bahak sambil menepuk pundak Ray. "Duh, sakit banget tuh, bro!"

Dika: "Udah biasa, sih. Dari dulu juga gini terus. Ditolak cewek, udah jadi makanan sehari-hari buat Ray."

Ray cuma terkekeh, meskipun tampaknya dia sedikit kesal. "Hahaha, biarin aja. Yang penting gue udah coba. Kalau lo berdua, mana pernah berani ngajak cewek secantik Nadya pulang?"

Dika langsung mendengus. "Gue? Nyari cewek gampang, nggak kayak lo."

Reno: "Gue sih mending tidur di rumah daripada dapet malu kayak lo."

Ray cuma terkekeh dan ngangkat bahu, nggak peduli sama komentar mereka. Dia tahu persis apa yang ada di pikirannya. Hari ini, dia nggak nyerah begitu saja.

Tapi sebelum Ray bisa ngomong lebih lanjut, suara motor terdengar mendekat dari kejauhan. Semua orang menoleh, dan pemandangan yang muncul langsung bikin suasana jadi berubah.

Sebuah motor sport hitam berhenti di dekat mereka. Seorang cowok tinggi, rambut rapi, dan pakai jaket kulit keluar dari motor, membuat semua orang di sekitar terkesima. Cowok ini punya aura berbeda—dingin, tajam, dan penuh kepercayaan diri.

Ini Adrian, pacar Nadya.

Nadya langsung berjalan mendekat dan naik ke motor Adrian tanpa berkata apa-apa. Liana dan Citra langsung berbinar-binar, tergila-gila dengan penampilan Adrian.

Citra: "Waaah! Pacarmu ganteng banget!"

Liana: "Iya! Keren banget."

Nadya cuma tersenyum tipis, nggak ada yang terlalu spesial di ekspresinya. Tapi dia nggak menanggapi mereka lebih lanjut. Di sisi lain, Ray, Reno, dan Dika cuma bisa terdiam, melihat pemandangan yang tiba-tiba berubah itu.

Reno akhirnya memecah keheningan, suara serius tapi ada sedikit empati. "Bro… lo kalah jauh."

Dika: "Gue udah bilang kan? Lo nggak ada harapan dari awal. Cewek kayak Nadya butuh cowok yang ‘selera tinggi’—bukan lo yang cuma modal nekat."

Adrian sempat menoleh sekilas ke arah mereka, tapi hanya memberikan tatapan dingin penuh penilaian. Setelah itu, tanpa berkata apapun, dia menyalakan motornya dan pergi, meninggalkan debu-debu kecil beterbangan di sekitar gerbang sekolah. Nadya berada di belakangnya, tidak banyak bicara, tapi tampaknya bisa merasakan ketegangan di udara.

Begitu motor itu menghilang, Reno dan Dika nggak bisa berhenti tertawa. Mereka berdua merasa kasihan tapi juga geli dengan situasi Ray.

Reno: "Jujur deh… lo sakit hati nggak?" tanya Reno pelan, penuh rasa kasihan.

Ray cuma terkekeh, memasukkan kedua tangannya ke saku celananya, wajahnya tetap tenang meskipun ada sedikit ketegangan. "Dikit."

Dika menggelengkan kepala. "Udah lah bro, lo nggak bakal bisa saingan sama dia. Cowok itu beda kelas jauh sama lo."

Ray cuma tersenyum kecil, lalu mengangkat bahu. "Siapa bilang ini selesai?" katanya santai tapi penuh tekad. "Ini baru mulai."

Reno: "Lo tuh kebangetan positif thinking, bro."

Ray tetap tertawa ringan, seakan nggak ada yang perlu dipusingkan. Untuknya, ini cuma tantangan baru dalam hidup. Dan buat Ray, tantangan adalah sesuatu yang selalu menarik untuk ditaklukkan.

Dengan langkah santai, Ray berjalan meninggalkan gerbang sekolah menuju jalanan luas di depan sana. Di belakangnya, Reno dan Dika masih bergurau, meski kali ini ada sedikit rasa simpati yang tak bisa mereka sembunyikan.

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download MangaToon APP on App Store and Google Play