Permintaan Maaf

Ray berdiri bersandar di dinding luar kelas Nadya, menatap langit sore yang mulai memudar. Wajahnya sulit dibaca, penuh dengan pikiran yang mengganggu. Sejak insiden kemarin, Nadya benar-benar menghindarinya. Setiap kali Ray berusaha mendekat, Nadya selalu menemukan cara untuk pergi lebih dulu. Biasanya, dia tak akan peduli dengan hal-hal seperti ini. Tapi kali ini... rasanya berbeda.

Akhirnya, setelah beberapa menit menunggu, pintu kelas Nadya terbuka. Dengan cepat, Ray melangkah mendekat. "Nadya, sebentar. Bisa kita bicara?" serunya.

Nadya meliriknya sekilas tanpa berhenti berjalan, lalu melanjutkan langkahnya menuju taman belakang sekolah. Ray, yang tidak ingin menyerah, segera mengikutinya. Mereka terus berjalan hingga sampai di tempat yang cukup sepi. Nadya berhenti, menoleh padanya dengan ekspresi datar.

"Apa lagi?" tanya Nadya, suaranya dingin.

Ray menggaruk tengkuknya, merasa canggung. "Aku... aku cuma mau minta maaf."

Nadya menyilangkan tangan di dada, menunggu penjelasan lebih lanjut. "Minta maaf untuk apa?"

Ray menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata. "Untuk semuanya. Aku nggak tahu apa yang bikin kamu marah, tapi aku yakin ada sesuatu yang aku lakukan yang bikin kamu kesal. Aku nggak mau kita jadi kayak orang asing."

Nadya menatapnya beberapa detik, mencoba menilai niat Ray, sebelum akhirnya berbicara dengan nada yang lebih tegas. "Ray, kamu selalu bertindak tanpa mikir panjang. Kamu nggak sadar kalau tindakanmu itu bisa berdampak ke orang lain?"

Ray terdiam. Ini pertama kalinya Nadya berbicara sefrontal itu padanya.

"Kamu mungkin santai menghadapi semua masalah," lanjut Nadya, "tapi nggak semua orang bisa begitu. Aku marah bukan cuma karena kejadian kemarin, tapi karena kamu nggak pernah peduli dengan konsekuensinya. Kamu asal bicara, asal bertindak, seolah semuanya cuma permainan. Tapi ini bukan permainan. Kenapa sih kamu selalu menyelesaikan semuanya dengan kekerasan?"

Ray menundukkan kepala, kata-kata Nadya seperti masuk dalam pikirannya. Untuk pertama kalinya, dia merasa sesal yang nyata. Setelah beberapa saat, dia mengangkat kepala, menatap Nadya dengan ekspresi yang serius. "Aku nggak pernah mikir semuanya cuma permainan. Aku cuma... nggak tahu cara menghadapi sesuatu dengan benar."

Nadya menghela napas panjang, merasa sedikit lega meski masih ada rasa kecewa yang mendalam. "Aku cuma pengen kamu sadar kalau tindakanmu punya dampak. Aku nggak benci kamu, Ray. Aku cuma kecewa."

Ray tersenyum tipis, ada secercah harapan yang muncul di dalam dirinya. "Jadi masih ada harapan buat kita berteman lagi?"

Nadya menatapnya sejenak, ragu. Namun setelah beberapa detik, ia mengangguk kecil. "Coba tunjukkan kalau kamu bisa berubah. Baru kita bicara soal itu."

Ray terkekeh pelan, ada semangat baru dalam dirinya. "Tantangan diterima."

Nadya hanya menggelengkan kepala, meski sedikit tersenyum, lalu berbalik dan berjalan pergi. Ray berdiri di tempatnya, menatap punggungnya yang semakin menjauh. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa ada sesuatu yang layak diperjuangkan. Dia merasa ingin berusaha lebih baik.

Setelah bel istirahat berbunyi, suasana sekolah kembali tenang. Sebagian murid sudah kembali ke kelas, sementara yang lainnya masih bersantai di kantin atau nongkrong di lorong. Nadya berjalan menuju mushola untuk melaksanakan shalat Dzuhur.

Saat melewati lapangan, langkah Nadya sempat melambat begitu melihat Ray, Dika, dan Reno yang duduk santai di bangku. Mereka tampak asyik bercanda, berbicara tentang hal-hal konyol. Namun, Nadya cepat-cepat mengalihkan pandangannya dan melanjutkan langkah menuju mushola.

Tapi, Ray ternyata memperhatikan gerak-geriknya.

“Eh, Nadya ke mushola?” gumam Ray pelan.

Ray, yang masih mengingat kata-kata Nadya kemarin tentang ingin melihatnya menjadi lebih baik, berpikir bahwa ini mungkin kesempatan terbaik baginya.

Reno yang sedang mengelus kaki karena pegal, melirik Ray dengan bingung. “Terus, emang kenapa?”

Ray menyeringai. “Ya udah, kita ikut juga lah.”

Dika langsung mendengus. “Sejak kapan lo rajin shalat, bro?”

Ray mengangkat bahu, berusaha terlihat santai. “Emang harus ada alasan?”

Reno menggaruk kepala. “Yah, lu mah ada maunya… Ya udah, gue juga udah lama nggak shalat di mushola sekolah…”

“Nah, gitu dong! Itu baru sahabat gue!” Ray tertawa sambil melangkah menuju mushola.

Dika menghela napas panjang dan mengambil embernya. “Yaudah deh, sekalian biar kita nggak kelihatan buruk-buruk amat.”

Akhirnya, mereka bertiga berjalan menuju mushola dengan niat ibadah... meskipun tetap dengan gaya tengil mereka sendiri.

Sesampainya di mushola, mereka melihat Nadya sudah berada di dalam, sedang mengambil wudhu. Ray sekilas melirik ke arahnya, tetapi langsung bersikap biasa, berusaha tak terlihat terlalu peduli.

Setelah mengambil wudhu, mereka masuk ke dalam mushola dan melihat beberapa siswa lain yang juga bersiap untuk shalat.

“Nah, siapa yang jadi imam?” tanya Reno sambil mengeringkan tangannya.

Dika langsung maju dengan percaya diri. “Gua aja!”

Ray dan Reno saling pandang, bingung.

“Lo yakin?” tanya Ray dengan setengah tersenyum.

“Ya iyalah!” jawab Dika dengan sok keren.

“Perasaan gue nggak pernah liat lo shalat, apal banget bacaan shalatnya?” timpal Reno.

“Tenang, gini-gini gue juara Adzan antar kampung, bro. Udah percaya sama gue!” jawab Dika penuh percaya diri.

Dika langsung maju ke depan dan bersiap untuk jadi imam. Ray dan Reno hanya bisa pasrah mengikuti dari belakang.

Shalat pun dimulai. Awalnya, semuanya berjalan lancar. Dika dengan suara lantang membaca takbir dan memimpin rakaat pertama dengan cukup baik. Namun, begitu memasuki rakaat ketiga, terjadi kejanggalan.

Dika tiba-tiba tahiyat akhir, padahal seharusnya dia berdiri untuk rakaat keempat. Ray dan Reno yang ada di belakangnya langsung melongo kebingungan.

“Eh, dia ngapain?” bisik Reno pelan sambil menahan tawa.

“Mana gue tau? Dia yang pede tadi,” jawab Ray, suaranya jelas terdengar geli.

Mereka tetap mengikuti gerakan Dika demi menjaga kekhusyukan jamaah lain di mushola, meskipun dalam hati mereka hampir meledak karena menahan tawa. Shalat yang dipimpin Dika semakin berantakan hingga akhirnya selesai dalam keadaan kacau balau.

Begitu selesai salam, Ray langsung menepuk bahu Dika dengan ekspresi serius, meski matanya jelas-jelas menahan tawa. “Bro… lo tadi shalat apa?”

Dika mengerutkan dahi, bingung. “Shalat Dzuhur, lah!”

Reno ngakak keras, sampai harus menutup mulutnya agar tidak terlalu ribut. “Lo tau nggak? Lo cuma shalat tiga rakaat!”

Dika langsung membeku. “Serius?!”

Ray mengangguk sambil menyeringai jahil. “Ah bego lo, katanya juara Adzan, shalat Dzuhur malah tiga rakaat.”

Dika langsung menyeringai, mencoba menahan malunya. “Aduh, sorry bro, itu juaranya waktu gue TK, jadi lupa… hehehe…”

Sementara itu, dari kejauhan, Nadya diam-diam memperhatikan kejadian itu dari tempat duduknya di mushola perempuan. Ia mencoba menahan senyum melihat tingkah konyol mereka bertiga—terutama Ray—yang biasanya selalu terlihat percaya diri, tapi kali ini justru terlihat konyol. Untuk pertama kalinya sejak mengenal Ray, Nadya benar-benar ingin tertawa.

Setelah selesai shalat dan berdoa, Nadya keluar lebih dulu dari mushola. Namun, sebelum ia benar-benar pergi jauh dari pintu mushola, suara Ray memanggilnya.

“Nadya!” seru Ray sambil berlari kecil menghampirinya, diikuti oleh Reno dan Dika yang mengikuti dari belakang.

Nadya berbalik dengan alis terangkat. “Ada apa?”

Ray menyeringai santai seperti biasa. “Mau pulang bareng? Gue anterin.”

Nadya langsung menatapnya tajam, namun tak bisa menyembunyikan senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya. “Nggak usah repot-repot.”

“Bukan repot kok,” balas Ray cepat, dengan nada menggoda. “Anggap aja bonus karena gue udah rajin shalat hari ini.”

Reno dan Dika langsung tertawa mendengar ucapan itu.

“Wih, bonus katanya!” ejek Reno sambil menyikut Dika.

“Ray bener-bener nggak kapok ditolak!” tambah Dika sambil ngakak.

Nadya hanya memutar bola matanya, namun dengan suara tegas ia berkata, “Kalau kamu mau rajin shalat terus seperti hari ini… mungkin kita bisa bicara lagi.”

Ray terdiam sejenak, bukan karena tersinggung, tetapi karena merasa ada tantangan tersirat dalam kata-kata Nadya. Ia tersenyum kecil dan mengangguk santai.

“Deal,” jawabnya pendek sebelum mundur perlahan bersama teman-temannya.

Nadya menghela napas panjang, lalu melanjutkan langkahnya, meninggalkan mereka bertiga yang masih tertawa-tawa di belakangnya. Namun, saat berjalan pergi, Ray teringat akan kata-kata Nadya tentang menjadi lebih baik dan rajin beribadah. Mungkin dia benar; ini saatnya untuk memperbaiki diri dan menunjukkan bahwa dia bukan hanya sekadar si urakan yang dikenal banyak orang.

Dengan semangat baru dalam hati, Ray bertekad untuk membuktikan bahwa dia bisa lebih baik—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang yang peduli padanya, seperti Nadya.

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download MangaToon APP on App Store and Google Play