Setelah kejadian di mushola, Ray merasa terinspirasi untuk menjadi lebih baik. Meski begitu, dia tetap tidak bisa menahan diri untuk melakukan hal-hal konyol yang sudah lama jadi ciri khasnya. Hari itu, suasana sekolah terasa ceria dan penuh semangat, dan Ray bertekad menunjukkan sisi baiknya.
Di kantin, Ray duduk bersama Dika dan Reno, menikmati makanan sambil bercanda. Tiba-tiba, kata-kata Nadya kemarin muncul kembali di pikirannya: “Kalau kamu mau rajin shalat terus seperti hari ini… mungkin kita bisa bicara lagi.” Kalimat itu seolah menjadi tantangan baginya untuk memperbaiki diri.
Gaya Ray berubah serius, dan dia tiba-tiba berkata, “Gue mau jadi lebih baik.”
Dika dan Reno saling melirik dengan bingung. Dika akhirnya bertanya, “Lo serius? Sejak kapan lo peduli sama hal kayak gitu?”
Ray mengangguk mantap, mencoba menunjukkan tekadnya. “Iya! Gue mau mulai rajin shalat dan… berbuat baik. Dan yang paling penting, gue nggak mau berantem atau tawuran lagi.”
Reno langsung terkejut. “Gila! Ini pasti prank!”
Ray cuma tersenyum lebar, tetap tidak terpengaruh ejekan teman-temannya. “Nggak, ini serius! Mulai sekarang, gue akan jadi orang yang lebih baik.”
Dika, yang biasanya suka mengejek, malah menyeringai. “Oke deh, kalo gitu kita lihat seberapa lama lo bisa bertahan.”
Ray hanya mengangkat bahu dan melanjutkan makannya, tapi di dalam hatinya, ada semangat baru yang membara. Dia bertekad untuk membuktikan bahwa dia bisa berubah.
Sementara itu, di sudut lain kantin, Nadya duduk bersama Citra dan Lidya. Mereka membicarakan perubahan yang terjadi pada Ray setelah insiden di mushola.
“Lo perhatiin nggak sih? Ray kayaknya mulai berubah,” kata Citra sambil mengaduk minumannya.
“Iya,” jawab Nadya, matanya mengarah ke Ray yang sedang bercanda dengan Dika dan Reno. “Tapi dia masih aja konyol.”
Lidya tertawa kecil. “Konyol atau nggak, setidaknya dia berusaha untuk jadi lebih baik. Itu yang penting.”
Nadya mengangguk setuju meski masih merasa skeptis. “Semoga aja dia serius kali ini.”
Kembali ke meja Ray, dia tiba-tiba berdiri dan berteriak dengan nada konyol, “Ayo semua! Siapa yang mau ikut shalat sama gue? Gratis!”
Dika dan Reno langsung tertawa terbahak-bahak.
“Lo gila ya? Siapa yang mau shalat bareng orang kayak lo?” ejek Dika sambil menepuk meja.
Ray cuma tersenyum lebar, tetap dengan gaya konyol yang membuat seluruh kantin menatapnya.
“Gue serius! Ayo!” serunya lagi sambil melompat-lompat kecil, seolah-olah menawarkan sesuatu yang sangat menarik.
Mendengar keributan itu, Nadya tidak bisa menahan senyumnya. Ia melihat Ray berusaha keras untuk menarik perhatian orang dengan cara yang konyol, namun tetap menghibur.
“Dia memang aneh,” kata Nadya sambil tersenyum kepada Citra dan Lidya.
Citra mengangguk sambil tertawa. “Tapi setidaknya dia membuat semuanya lebih hidup, kan?”
Nadya merasa sedikit lega. Mungkin perubahan kecil ini adalah langkah awal bagi Ray untuk menjadi lebih baik—meskipun cara yang digunakannya terlihat konyol.
Setelah beberapa saat bercanda, Ray akhirnya duduk kembali di meja mereka dengan napas terengah-engah, tapi semangatnya tak surut. “Jadi… siapa yang mau ikut shalat bareng gue?” tanyanya lagi, kali ini dengan senyum yang lebih lebar.
Dika dan Reno kembali tertawa, namun Nadya hanya bisa tersenyum melihat usaha Ray untuk berubah meskipun tetap dengan caranya yang unik.
Hari itu, sekolah ditutup dengan tawa dan canda—sebuah pengingat bahwa meskipun hidup penuh tantangan, kadang-kadang kita hanya perlu tertawa dan menikmati perjalanan menuju perubahan.
Dengan tekad baru dalam hati, Ray berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan terlibat dalam perkelahian atau tawuran lagi. Dia ingin menjadi contoh yang baik bagi teman-temannya—dan mungkin juga bagi Nadya.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Comments