Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 : SATU-SATUNYA CARA
Keheningan mencekam menyelimuti gudang tua itu setelah kata-kata terakhirku terucap. Udara malam yang tadinya terasa dingin, kini terasa membeku. Andra melepaskan tangannya dari bahuku seolah-olah kulitku baru saja membakarnya.
"Tarik ucapanmu, Shilla," desis Andra. Suaranya bukan lagi penuh kekhawatiran, melainkan kemarahan yang tertahan. "Jangan pernah berpikir untuk merendahkan dirimu sendiri demi membayar kesalahan ayahmu yang brengsek itu."
"Lalu aku harus apa?!" teriakku histeris. "Duduk diam menanti tiga hari berlalu sampai mereka menyeret aku ke rumah bordil? Menunggu sampai mereka menghancurkan rumah Ibu? Aku lebih baik memilih sendiri kepada siapa aku memberikan 'harga' itu, daripada mereka yang mengambilnya secara paksa!"
Doni memalingkan wajah, tidak sanggup menatap mataku yang memerah. Ia menendang kaleng kosong di lantai hingga suaranya bergema nyaring. "Masalahnya bukan cuma soal uang, Shilla. orang itu... dia bukan sekadar penagih hutang. Namanya adalah Mahendra. Dia memegang kendali atas hampir seluruh kasino dan bisnis gelap di wilayah utara. Jika kau mencoba menjual dirimu pada orang lain, dia akan menganggapnya sebagai pencurian aset miliknya."
Aku terduduk lemas di atas peti kayu yang berdebu. Harapan yang tadi sempat muncul seolah dipadamkan paksa. "Jadi aku benar-benar tidak punya jalan keluar?"
"Besok aku akan mengurus pengunduran diri di pabrik," gumamku pelan, menatap langit-langit gudang yang mengelupas. "Entah setelah ini hidupku akan jadi apa."
Doni menoleh, matanya redup namun tegas. "Jangan khawatir, Ashilla. Kami tidak akan membiarkanmu sendirian."
Malam itu, kami bertiga meringkuk di gudang terbengkalai ini. Bagiku, tempat kotor ini lebih baik daripada rumah. Bagi Andra, anak orang kaya yang muak mendengar pertengkaran kakak iparnya, gudang ini adalah pelarian. Sedangkan bagi Doni, tempat ini adalah ruang untuk memendam duka sejak orang tuanya tiada beberapa bulan lalu. Kami tiga jiwa yang terusir, mencari suaka di antara tumpukan barang rongsokan.
Cahaya matahari memaksa masuk melalui celah seng, menusuk mataku yang perih. Tubuhku terasa remuk saat sebuah gedoran keras menghantam pintu.
"Siapa?" Andra bersiaga. Tak ada yang berani datang ke gudang milik orang tuanya ini.
Doni melangkah membuka pintu selagi aku merapikan penampilan seadanya. Aku enggan pulang; membayangkan wajah Ayah hanya membuat dadaku sesak.
"Mas Reyhan?" Napas atau jantungku seolah berhenti. Doni muncul bersama kakak kandungku.
Tanpa kata, Mas Reyhan memelukku erat. Isak tangisnya pecah di bahuku, namun aku hanya mematung. Dingin.
"Ayo pulang, Shilla," ucapnya dengan tatapan penuh sesal.
"Bagaimana Mas tahu aku di sini?" tanyaku datar.
"Semalam Ibu menelepon sambil menangis. Katanya... kamu dibawa orang untuk jaminan utang Ayah. Mas langsung terpikir mencari teman-temanmu."
Aku tersenyum getir. "Seperti yang Mas lihat. Mereka yang Mas anggap berandalan kampung inilah yang membelaku mati-matian."
"Maafkan Mas, Shilla. Ayo pulang, kasihan Ibu."
Tiba-tiba, ponsel di saku Mas Reyhan bergetar.
"Iya, Sayang? Sakit? Baik, aku segera kembali."
Percakapan singkat itu sudah cukup bagiku untuk paham. Mas Reyhan menatapku ragu. "Shilla..."
"Mas pulang saja," potongku cepat. "Mereka bisa menjagaku."
"Maaf, Shilla. Luna sedang hamil tua. Uang lima juta kemarin itu semua yang Mas punya untuk biaya persalinannya." Ia menunduk, tak sanggup menatap mataku.
"Sudah, Mas. Pulanglah."
Ada kebahagiaan kecil melihatnya peduli, namun kenyataan bahwa aku tetap bukan prioritasnya terasa seperti sembilu. Di sudut ruangan, rahang Andra mengeras. Matanya menatap Mas Reyhan dengan amarah yang tertahan.
"Gila," gumam Andra, cukup keras untuk didengar. "Bagaimana bisa dia meninggalkan adiknya yang hancur demi alasan itu."
Mas Reyhan terdiam, lalu berbalik pergi tanpa sanggup menoleh lagi.
Setelah kepergian Mas Reyhan, suasana di gudang kembali hening. Andra menendang dinding seng hingga menimbulkan bunyi dentum yang memekakkan telinga.
"Keluargamu benar-benar lelucon, Shilla," geram Andra.
Aku tidak menjawab. Fokusku beralih pada tumpukan kertas di tas: surat pengunduran diri yang harus kuserahkan hari ini. Aku butuh uang pesangon itu, meski jumlahnya tak seberapa dibanding utang Ayah.
***
Siang harinya, aku dan Andra tiba di pabrik. Saat melangkah keluar dari ruang HRD dengan tangan kosong karena pesangon baru cair minggu depan, aku tak sengaja menabrak seseorang.
Rachel.
Dia adalah primadona pabrik, bukan karena prestasinya, tapi karena "sensasi" dan rumor bahwa dia adalah simpanan banyak orang berpengaruh. Ia berdiri tegak, membetulkan letak tas branded-nya yang miring akibat tabrakan tadi.
"Hati-hati, Shilla. Mata itu dipakai, bukan cuma buat menangis," sindirnya tajam.
Aku menatapnya lekat. Sebuah ide gila muncul. Jika ada orang yang tahu bagaimana cara menjual "aset" dengan harga tertinggi tanpa terdeteksi radar Mahendra, itu adalah Rachel.
"Rachel, bisa bicara sebentar?"
Rachel mengernyit, namun ia mengikuti langkahku ke bangku taman yang sepi. Andra menunggu dari kejauhan dengan wajah gelisah.
"Aku butuh uang. Banyak. Dan aku masih bersih," ucapku tanpa basa-basi. "Bantu aku menjualnya dengan harga paling mahal. Aku tahu kau punya koneksi."
Rachel tertawa renyah, namun matanya menatapku dengan iba yang ganjil. "Kau serius? Sekali kau masuk, tidak ada jalan kembali, Shilla. Dunia ini akan menelanmu bulat-bulat."
"Aku sudah ditelan kenyataan, Rachel. Aku hanya ingin semalam saja, yang bisa merubah hidupku."
Rachel berhenti tertawa. Ia mengeluarkan sebuah kartu nama berwarna hitam emas dari dompetnya. "Nanti malam, aku akan menunggu mu di WinStar club."
Ia mengelus pipiku pelan. "Jika kau beruntung, kau bukan hanya dapat uang, tapi juga pelindung. Tapi ingat, Shilla, harga yang mahal berarti kau menjadi milik mereka sepenuhnya."
**
Aku mengambil kartu itu. Jemariku gemetar, namun hatiku terasa beku. Saat aku berjalan kembali ke arah Andra, ia langsung menyambar lenganku.
"Apa yang dia katakan? Jangan bilang kau benar-benar akan melakukan kegilaan itu," tuntut Andra.
Aku menatap kartu hitam di tanganku, lalu menatap Andra. "Ini satu-satunya cara."
"Aku tidak akan membiarkanmu!"
"Lalu kau punya seratus juta, Ndra?" tanyaku tenang.
Andra terdiam. Rahangnya mengatup rapat, matanya berkaca-kaca karena rasa tidak berdaya yang amat sangat. Di tengah terik matahari pabrik, aku tahu masa remajaku baru saja berakhir.
***
Bersambung...
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,