NovelToon NovelToon
Sayap Patah Angkasa

Sayap Patah Angkasa

Status: tamat
Genre:Angst / Tamat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Realrf

Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kenangan

Pertanyaan itu melayang di udara yang tiba-tiba terasa dingin, memotong kehangatan sop buntut yang baru saja menyelimuti perut Angkasa. Biru? Ia menyentuh bibirnya sendiri dengan ujung jari. Tidak terasa apa-apa. Hanya kulit yang sedikit kering.

“Biru gimana?” tanyanya, suaranya terdengar lebih bingung daripada khawatir.

Lila tidak menjawab. Ia meletakkan mangkuknya di nakas dan bergerak mendekat, naluri perawatnya mengambil alih sepenuhnya. Matanya yang tajam memindai wajah Angkasa dengan saksama.

“Bentar,” gumamnya, lebih pada dirinya sendiri. Ia menekan lembut kuku jari Angkasa, mengamati warnanya saat tekanan dilepaskan.

Gilang, yang sedari tadi asyik dengan makanannya, kini menatap mereka bergantian dengan alis terangkat.

“Wah, kenapa, Kak? Jangan-jangan dia keracunan sop buntut lo,” celetuknya, mencoba melucu meski ada nada cemas yang tipis dalam suaranya.

“Diem dulu, Lang,” sahut Lila cepat, tanpa mengalihkan pandangannya dari Angkasa.

“Mas, sesak napas, nggak? Pusing?”

“Nggak. Biasa aja,” jawab Angkasa jujur. Ia merasa sedikit canggung ditatap sedekat dan seintens itu. Aroma sampo Lila yang lembut menguar, aroma bunga yang anehnya menenangkan.

“Mungkin cuma efek lampu neon, kali.”

Lila menggeleng, kerutan di dahinya semakin dalam.

“Bukan. Ini sianosis ringan. Tanda oksigen di darahmu kurang.” Ia menoleh ke arah pintu.

“Aku panggil perawat jaga buat cek saturasi oksigenmu, ya.”

“Nggak usah,” cegah Angkasa cepat, suaranya sedikit terlalu tegas.

“Nanti juga hilang sendiri. Gue cuma kecapekan.”

“Kecapekan nggak bikin bibir biru, Mas Angkasa,” balas Lila dengan nada lembut namun tak terbantahkan.

“Ini bukan hal sepele.”

“Gue bilang nggak usah,” ulang Angkasa, kali ini lebih pelan. Ada permohonan di dalamnya. Ia tidak mau jadi pusat perhatian. Ia tidak mau menjadi pasien yang merepotkan. Ia hanya ingin menikmati sisa sop buntutnya dalam damai.

Lila menatapnya lekat-lekat, membaca sesuatu di balik penolakan keras kepala itu. Ia melihat seorang pria yang terbiasa menangani semuanya sendiri, yang menganggap setiap bentuk perhatian sebagai ancaman atau belas kasihan. Akhirnya, ia menghela napas dan mundur selangkah.

“Oke,” katanya pelan. “Tapi janji, kalau mulai pusing atau sesak sedikit aja, langsung pencet bel. Jangan ditahan-tahan. Janji?” Lila menatap lembut pemuda itu.

Angkasa hanya mengangguk.

“Ya udah, habisin makannya,” ujar Lila, mencoba mengembalikan suasana santai seperti semula. Namun, sihir itu telah pecah. Kehangatan ‘rumah’ yang tadi ia rasakan kini bercampur dengan realitas dingin dinding rumah sakit.

Lila kembali duduk dan mencoba mengobrol dengan Gilang tentang sekolah, tetapi Angkasa tahu, sesekali wanita itu melirik ke arahnya, memastikan bibirnya tidak semakin membiru. Perhatian itu, perhatian tulus yang tidak meminta imbalan, terasa asing. Seperti pakaian yang bukan ukurannya. Nyaman, tetapi membuatnya gelisah.

Perhatian itu menyeretnya kembali ke masa lalu, ke sebuah tempat di mana perhatian adalah barang langka yang harus diperjuangkan, atau lebih baik lagi, diabaikan sama sekali agar tidak merasakan sakitnya saat barang itu direnggut.

Flashback on.

Panti Asuhan Bintang Harapan. Namanya terdengar indah, tetapi bagi Angkasa kecil, tempat itu adalah stasiun tunggu tanpa jadwal keberangkatan.

“Nanti liburan, Mama jemput lagi, ya, Sayang,” bisik Laras di telinganya. Pelukannya terasa hangat, tetapi tergesa-gesa.

“Angkasa jadi anak baik di sini. Cuma sebentar, kok.”

Sebentar. Kata itu menjadi mantra bagi Angkasa. Setiap hari ia menghitung. Ia belajar kalender dari poster besar yang ditempel di dinding ruang makan. Ia mencontreng hari demi hari dengan krayon curian, menunggu musim liburan sekolah tiba.

Liburan pertama datang. Anak-anak lain dijemput satu per satu. Tawa mereka menggema di halaman, bercampur dengan deru mesin mobil orang tua mereka. Angkasa duduk di ayunan paling ujung, matanya tak pernah lepas dari gerbang besi yang dicat biru. Ia menunggu sampai senja, sampai Bu Ranti, pengurus panti yang galak namun baik hati, menepuk pundaknya.

“Mama kamu mungkin sibuk, Sa. Besok mungkin,” katanya. Tapi Angkasa tahu, nada suara Bu Ranti sama dengan nada suara dokter yang bicara pada ayahnya dulu. Penuh kepastian yang disamarkan.

Liburan berikutnya, dan berikutnya lagi, polanya selalu sama. Harapan yang membuncah di pagi hari, lalu perlahan mengempis seperti balon bocor seiring matahari terbenam. Ia berhenti mencontreng kalender. Ia berhenti duduk di ayunan. Ia berhenti menunggu.

Ia belajar. Ia belajar bahwa menangis di malam hari hanya akan membuat matanya bengkak dan menjadi bahan ejekan anak-anak yang lebih besar. Ia belajar bahwa mengeluh tentang makanan, nasi dengan lauk tahu atau tempe yang itu-itu saja—tidak akan mengubah menu esok hari. Ia belajar bahwa satu-satunya orang yang bisa ia andalkan adalah dirinya sendiri.

Ia menjadi ahli dalam kemandirian. Ia belajar menjahit kancing seragamnya yang lepas dengan benang dan jarum kasar. Ia belajar menyembunyikan buku-buku bacaan di bawah kasurnya agar tidak dipinjam lalu dihilangkan. Ia belajar menekan rasa rindu yang menusuk-nusuk dadanya setiap kali melihat adegan keluarga di televisi, mengubahnya menjadi bongkahan es yang dingin dan padat di ulu hatinya.

Suatu sore, saat usianya sekitar tiga belas tahun, seorang donatur datang membawa banyak mainan dan makanan. Anak-anak lain berebut dengan riang. Angkasa hanya berdiri di sudut, mengamati. Donatur itu, seorang ibu muda yang cantik, menghampirinya.

“Kamu nggak mau ambil kue, Nak? Ini enak, lho,” katanya sambil tersenyum ramah.

Angkasa hanya menggeleng.

“Kenapa? Kamu nggak suka cokelat?”

“Nggak,” jawab Angkasa singkat.

Wanita itu berjongkok untuk menyejajarkan matanya dengan Angkasa. Ia mengulurkan tangan untuk mengusap kepala Angkasa.

“Anak manis, jangan sedih, ya…”

Refleks, Angkasa mundur selangkah, menghindari sentuhan itu seolah tangan wanita itu adalah bara api. Tatapannya dingin dan kosong.

Senyum wanita itu memudar. Ia menatap Angkasa dengan sorot kasihan. Belas kasihan. Perasaan yang paling Angkasa benci. Ia tidak butuh dikasihani. Ia baik-baik saja. Ia sudah membangun benteng yang tinggi dan kokoh di sekeliling hatinya. Tak ada yang bisa masuk. Tak ada yang bisa menyakitinya lagi.

Ia sudah melupakan rasanya disentuh dengan kasih sayang. Ia sudah meyakinkan dirinya bahwa ia tidak membutuhkannya.

Flashback off.

Sebuah suara lembut menariknya kembali dari lorong waktu yang dingin.

“Mas Angkasa?”

Angkasa mengerjap. Ia pasti melamun cukup lama. Mangkuk di pangkuannya sudah dingin. Gilang sudah terlelap di ranjang sebelah, napasnya teratur. Hanya ada ia dan Lila di dalam keheningan kamar yang hanya dipecah oleh dengung samar pendingin ruangan.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Lila pelan, matanya memancarkan kekhawatiran yang sama seperti beberapa saat lalu.

Angkasa menggeleng, berusaha mengusir bayangan panti asuhan dari kepalanya.

“Nggak apa-apa. Cuma ngantuk.”

Ia meletakkan mangkuk di nakas dan menarik selimutnya. Sebuah kebohongan. Ia tidak mengantuk. Pikirannya justru berisik luar biasa. Interaksi sederhana dengan Lila, sop buntut, kekhawatiran akan bibirnya yang membiru, telah meruntuhkan benteng yang ia bangun selama delapan belas tahun. Retakannya ada di mana-mana. Dan dari celah-celah itu, kerinduan yang ia kira telah lama mati merangkak keluar. Kerinduan akan sosok keluarga. Kerinduan akan rasa aman. Kerinduan akan sebuah sentuhan yang tidak terasa seperti belas kasihan.

“Makasih buat makanannya. Enak banget,” katanya lirih, memunggungi Lila. Itu adalah caranya untuk mengakhiri percakapan.

“Sama-sama. Istirahat, ya,” balas Lila.

Angkasa memejamkan mata, memaksa dirinya untuk tidur. Ia mendengar suara langkah kaki Lila yang menjauh, lalu suara kursi yang ditarik pelan. Wanita itu tidak pulang. Ia duduk di kursi di antara ranjangnya dan ranjang Gilang, menjadi penjaga bagi dua prajurit yang terluka.

Kehadirannya di sana membuat Angkasa semakin sulit untuk tenang. Ia merasa terekspos, rapuh. Bongkahan es di dadanya mulai mencair, dan rasa sakit dari luka lama yang basah itu terasa lebih menyiksa daripada sebelumnya. Akhirnya, setelah pertarungan batin yang panjang, kelelahan fisik menang. Ia tergelincir ke dalam tidur yang gelisah.

Ia tidak tahu berapa lama ia tertidur. Mungkin beberapa menit, mungkin satu jam. Namun, ia terbangun bukan karena suara atau mimpi buruk.

Ia terbangun karena sebuah sensasi.

Sebuah kehangatan yang lembut dan mantap menyelimuti lengan bawahnya, di atas perban infus. Sangat pelan, sangat hati-hati, seolah tidak ingin membangunkannya. Itu bukan sentuhan seorang perawat yang memeriksa denyut nadi. Itu adalah sentuhan yang berbeda. Sebuah sentuhan yang menenangkan, yang seolah berkata, “Aku di sini. Kamu nggak sendirian.”

Napas Angkasa tertahan di tenggorokannya. Dengan gerakan yang nyaris tak kentara, ia membuka matanya.

Lila duduk di sana, sedikit mencondongkan tubuhnya, matanya terpejam seolah sedang berdoa. Tangannya masih berada di lengannya. Saat merasakan gerakan kecil di bawah telapaknya, mata Lila terbuka perlahan.

Tatapan mereka bertemu di tengah temaram lampu tidur.

Tidak ada keterkejutan. Tidak ada rasa canggung. Hanya ada keheningan yang tebal dan sarat makna. Di dalam sorot mata Lila yang lelah, Angkasa tidak melihat belas kasihan yang ia benci. Ia melihat sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam dan rumit. Pemahaman. Empati. Dan mungkin… sesuatu yang lebih hangat, yang membuat jantungnya berdebar dengan cara yang aneh dan menakutkan.

Tangan Lila tidak beranjak. Mata Angkasa tidak berpaling. Di antara dua ranjang rumah sakit, di bawah cahaya lampu neon yang pucat, waktu seakan berhenti, menahan napas bersamanya.

1
Puput Assyfa
Laras kah yg datang
Puput Assyfa
walaupun hanya seminggu waktu yg tersisa setidaknya Angkasa merasakan kebahagiaan disisa hidupnya bersama orang yg dicintainya yaitu Lila
Puput Assyfa
semakin kesini makin menyesakan da2 😭 angkasa yg malang
Puput Assyfa
apa keinginan terakhir mu kasa? apa km ingin menikah dgn Lila
Realrf
berasa nggak 😩
Puput Assyfa
hingga Angkasa sekar4tpun Laras tidak muncul untuk menemuinya, hanya Gilang dan Lila yg setia menemaninya disaat2 terakhir Angkasa
Puput Assyfa
nyesek bgt ya Allah 😭😭
Puput Assyfa
keinginan Angkasa sungguh mulia tp aq jg GK rela km pergi untuk selamanya dgn takdir yg seperti ini Angkasa 🤧
Puput Assyfa
suatu saat kalian aq bersama dgn keadaan yg berbeda karena Gilang akan hidup dengan jantung Angkasa menjadi bagian dr Gilang
Puput Assyfa
kematian Angkasa sudah di depan mata tinggal menunggu hitungan bulan sedangkan laran km salah menolong orang ankmu sendiri km abaikan apa km akan diam saja sampa angkasa meninggal Laras
Puput Assyfa
aduh Laras bukan Gilang yg harus km tolong tp Angkasa, makin menyesakan saja🤧
Puput Assyfa
nyesek bgt ya Allah 😭😭,
setelah ini apa yg akan km lakukan pada Angkasa, Laras
Puput Assyfa
ya Allah Angkasa km masih memikirkan kesembuhan Gilang disaat km juga berjuang, km ingin melakukan kebaikan sebelum menutup mata untuk selamanya Angkasa 😭😭
Puput Assyfa
gak kebayang gimn hancvrnya Lila klo hilangan Gilang dan Angkasa yg sama2 berjuang melawan sakit keras yg blm ada obatnya
cici cici
bagus thor🥳🥳🥳
Realrf: Terima kasih kak 😍😍
total 1 replies
Puput Assyfa
angkasa aq padamu 😭
Puput Assyfa
ketika dikasih harapan tp belum juga melakukannya udah dij4tuhkan kedasar jur4ng oleh harapan itu sendiri, sungguh miris nasib yg dialami angkasa
Puput Assyfa
setidaknya disisa hidup angkasa Dy tidak sendirian tp ada seseorang yg mencintainya dgn tulus
Puput Assyfa
Laras, mentang2 km udah kaya bisa seenaknya sama angkasa anakmu sendiri, ibu macam apa km ngomong seperti itu,tidak Taukah kamu angkasa sedang berjuang antara hidup dan m*ti dan tidak semua sesuatu bisa diselesaikan dgn uang.
Puput Assyfa
Lila, berkatmu angkasa semangat menjalani hidupnya dari bayang2 masalalu yg menyakitkan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!