Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenangan
Pertanyaan itu melayang di udara yang tiba-tiba terasa dingin, memotong kehangatan sop buntut yang baru saja menyelimuti perut Angkasa. Biru? Ia menyentuh bibirnya sendiri dengan ujung jari. Tidak terasa apa-apa. Hanya kulit yang sedikit kering.
“Biru gimana?” tanyanya, suaranya terdengar lebih bingung daripada khawatir.
Lila tidak menjawab. Ia meletakkan mangkuknya di nakas dan bergerak mendekat, naluri perawatnya mengambil alih sepenuhnya. Matanya yang tajam memindai wajah Angkasa dengan saksama.
“Bentar,” gumamnya, lebih pada dirinya sendiri. Ia menekan lembut kuku jari Angkasa, mengamati warnanya saat tekanan dilepaskan.
Gilang, yang sedari tadi asyik dengan makanannya, kini menatap mereka bergantian dengan alis terangkat.
“Wah, kenapa, Kak? Jangan-jangan dia keracunan sop buntut lo,” celetuknya, mencoba melucu meski ada nada cemas yang tipis dalam suaranya.
“Diem dulu, Lang,” sahut Lila cepat, tanpa mengalihkan pandangannya dari Angkasa.
“Mas, sesak napas, nggak? Pusing?”
“Nggak. Biasa aja,” jawab Angkasa jujur. Ia merasa sedikit canggung ditatap sedekat dan seintens itu. Aroma sampo Lila yang lembut menguar, aroma bunga yang anehnya menenangkan.
“Mungkin cuma efek lampu neon, kali.”
Lila menggeleng, kerutan di dahinya semakin dalam.
“Bukan. Ini sianosis ringan. Tanda oksigen di darahmu kurang.” Ia menoleh ke arah pintu.
“Aku panggil perawat jaga buat cek saturasi oksigenmu, ya.”
“Nggak usah,” cegah Angkasa cepat, suaranya sedikit terlalu tegas.
“Nanti juga hilang sendiri. Gue cuma kecapekan.”
“Kecapekan nggak bikin bibir biru, Mas Angkasa,” balas Lila dengan nada lembut namun tak terbantahkan.
“Ini bukan hal sepele.”
“Gue bilang nggak usah,” ulang Angkasa, kali ini lebih pelan. Ada permohonan di dalamnya. Ia tidak mau jadi pusat perhatian. Ia tidak mau menjadi pasien yang merepotkan. Ia hanya ingin menikmati sisa sop buntutnya dalam damai.
Lila menatapnya lekat-lekat, membaca sesuatu di balik penolakan keras kepala itu. Ia melihat seorang pria yang terbiasa menangani semuanya sendiri, yang menganggap setiap bentuk perhatian sebagai ancaman atau belas kasihan. Akhirnya, ia menghela napas dan mundur selangkah.
“Oke,” katanya pelan. “Tapi janji, kalau mulai pusing atau sesak sedikit aja, langsung pencet bel. Jangan ditahan-tahan. Janji?” Lila menatap lembut pemuda itu.
Angkasa hanya mengangguk.
“Ya udah, habisin makannya,” ujar Lila, mencoba mengembalikan suasana santai seperti semula. Namun, sihir itu telah pecah. Kehangatan ‘rumah’ yang tadi ia rasakan kini bercampur dengan realitas dingin dinding rumah sakit.
Lila kembali duduk dan mencoba mengobrol dengan Gilang tentang sekolah, tetapi Angkasa tahu, sesekali wanita itu melirik ke arahnya, memastikan bibirnya tidak semakin membiru. Perhatian itu, perhatian tulus yang tidak meminta imbalan, terasa asing. Seperti pakaian yang bukan ukurannya. Nyaman, tetapi membuatnya gelisah.
Perhatian itu menyeretnya kembali ke masa lalu, ke sebuah tempat di mana perhatian adalah barang langka yang harus diperjuangkan, atau lebih baik lagi, diabaikan sama sekali agar tidak merasakan sakitnya saat barang itu direnggut.
Flashback on.
Panti Asuhan Bintang Harapan. Namanya terdengar indah, tetapi bagi Angkasa kecil, tempat itu adalah stasiun tunggu tanpa jadwal keberangkatan.
“Nanti liburan, Mama jemput lagi, ya, Sayang,” bisik Laras di telinganya. Pelukannya terasa hangat, tetapi tergesa-gesa.
“Angkasa jadi anak baik di sini. Cuma sebentar, kok.”
Sebentar. Kata itu menjadi mantra bagi Angkasa. Setiap hari ia menghitung. Ia belajar kalender dari poster besar yang ditempel di dinding ruang makan. Ia mencontreng hari demi hari dengan krayon curian, menunggu musim liburan sekolah tiba.
Liburan pertama datang. Anak-anak lain dijemput satu per satu. Tawa mereka menggema di halaman, bercampur dengan deru mesin mobil orang tua mereka. Angkasa duduk di ayunan paling ujung, matanya tak pernah lepas dari gerbang besi yang dicat biru. Ia menunggu sampai senja, sampai Bu Ranti, pengurus panti yang galak namun baik hati, menepuk pundaknya.
“Mama kamu mungkin sibuk, Sa. Besok mungkin,” katanya. Tapi Angkasa tahu, nada suara Bu Ranti sama dengan nada suara dokter yang bicara pada ayahnya dulu. Penuh kepastian yang disamarkan.
Liburan berikutnya, dan berikutnya lagi, polanya selalu sama. Harapan yang membuncah di pagi hari, lalu perlahan mengempis seperti balon bocor seiring matahari terbenam. Ia berhenti mencontreng kalender. Ia berhenti duduk di ayunan. Ia berhenti menunggu.
Ia belajar. Ia belajar bahwa menangis di malam hari hanya akan membuat matanya bengkak dan menjadi bahan ejekan anak-anak yang lebih besar. Ia belajar bahwa mengeluh tentang makanan, nasi dengan lauk tahu atau tempe yang itu-itu saja—tidak akan mengubah menu esok hari. Ia belajar bahwa satu-satunya orang yang bisa ia andalkan adalah dirinya sendiri.
Ia menjadi ahli dalam kemandirian. Ia belajar menjahit kancing seragamnya yang lepas dengan benang dan jarum kasar. Ia belajar menyembunyikan buku-buku bacaan di bawah kasurnya agar tidak dipinjam lalu dihilangkan. Ia belajar menekan rasa rindu yang menusuk-nusuk dadanya setiap kali melihat adegan keluarga di televisi, mengubahnya menjadi bongkahan es yang dingin dan padat di ulu hatinya.
Suatu sore, saat usianya sekitar tiga belas tahun, seorang donatur datang membawa banyak mainan dan makanan. Anak-anak lain berebut dengan riang. Angkasa hanya berdiri di sudut, mengamati. Donatur itu, seorang ibu muda yang cantik, menghampirinya.
“Kamu nggak mau ambil kue, Nak? Ini enak, lho,” katanya sambil tersenyum ramah.
Angkasa hanya menggeleng.
“Kenapa? Kamu nggak suka cokelat?”
“Nggak,” jawab Angkasa singkat.
Wanita itu berjongkok untuk menyejajarkan matanya dengan Angkasa. Ia mengulurkan tangan untuk mengusap kepala Angkasa.
“Anak manis, jangan sedih, ya…”
Refleks, Angkasa mundur selangkah, menghindari sentuhan itu seolah tangan wanita itu adalah bara api. Tatapannya dingin dan kosong.
Senyum wanita itu memudar. Ia menatap Angkasa dengan sorot kasihan. Belas kasihan. Perasaan yang paling Angkasa benci. Ia tidak butuh dikasihani. Ia baik-baik saja. Ia sudah membangun benteng yang tinggi dan kokoh di sekeliling hatinya. Tak ada yang bisa masuk. Tak ada yang bisa menyakitinya lagi.
Ia sudah melupakan rasanya disentuh dengan kasih sayang. Ia sudah meyakinkan dirinya bahwa ia tidak membutuhkannya.
Flashback off.
Sebuah suara lembut menariknya kembali dari lorong waktu yang dingin.
“Mas Angkasa?”
Angkasa mengerjap. Ia pasti melamun cukup lama. Mangkuk di pangkuannya sudah dingin. Gilang sudah terlelap di ranjang sebelah, napasnya teratur. Hanya ada ia dan Lila di dalam keheningan kamar yang hanya dipecah oleh dengung samar pendingin ruangan.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Lila pelan, matanya memancarkan kekhawatiran yang sama seperti beberapa saat lalu.
Angkasa menggeleng, berusaha mengusir bayangan panti asuhan dari kepalanya.
“Nggak apa-apa. Cuma ngantuk.”
Ia meletakkan mangkuk di nakas dan menarik selimutnya. Sebuah kebohongan. Ia tidak mengantuk. Pikirannya justru berisik luar biasa. Interaksi sederhana dengan Lila, sop buntut, kekhawatiran akan bibirnya yang membiru, telah meruntuhkan benteng yang ia bangun selama delapan belas tahun. Retakannya ada di mana-mana. Dan dari celah-celah itu, kerinduan yang ia kira telah lama mati merangkak keluar. Kerinduan akan sosok keluarga. Kerinduan akan rasa aman. Kerinduan akan sebuah sentuhan yang tidak terasa seperti belas kasihan.
“Makasih buat makanannya. Enak banget,” katanya lirih, memunggungi Lila. Itu adalah caranya untuk mengakhiri percakapan.
“Sama-sama. Istirahat, ya,” balas Lila.
Angkasa memejamkan mata, memaksa dirinya untuk tidur. Ia mendengar suara langkah kaki Lila yang menjauh, lalu suara kursi yang ditarik pelan. Wanita itu tidak pulang. Ia duduk di kursi di antara ranjangnya dan ranjang Gilang, menjadi penjaga bagi dua prajurit yang terluka.
Kehadirannya di sana membuat Angkasa semakin sulit untuk tenang. Ia merasa terekspos, rapuh. Bongkahan es di dadanya mulai mencair, dan rasa sakit dari luka lama yang basah itu terasa lebih menyiksa daripada sebelumnya. Akhirnya, setelah pertarungan batin yang panjang, kelelahan fisik menang. Ia tergelincir ke dalam tidur yang gelisah.
Ia tidak tahu berapa lama ia tertidur. Mungkin beberapa menit, mungkin satu jam. Namun, ia terbangun bukan karena suara atau mimpi buruk.
Ia terbangun karena sebuah sensasi.
Sebuah kehangatan yang lembut dan mantap menyelimuti lengan bawahnya, di atas perban infus. Sangat pelan, sangat hati-hati, seolah tidak ingin membangunkannya. Itu bukan sentuhan seorang perawat yang memeriksa denyut nadi. Itu adalah sentuhan yang berbeda. Sebuah sentuhan yang menenangkan, yang seolah berkata, “Aku di sini. Kamu nggak sendirian.”
Napas Angkasa tertahan di tenggorokannya. Dengan gerakan yang nyaris tak kentara, ia membuka matanya.
Lila duduk di sana, sedikit mencondongkan tubuhnya, matanya terpejam seolah sedang berdoa. Tangannya masih berada di lengannya. Saat merasakan gerakan kecil di bawah telapaknya, mata Lila terbuka perlahan.
Tatapan mereka bertemu di tengah temaram lampu tidur.
Tidak ada keterkejutan. Tidak ada rasa canggung. Hanya ada keheningan yang tebal dan sarat makna. Di dalam sorot mata Lila yang lelah, Angkasa tidak melihat belas kasihan yang ia benci. Ia melihat sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam dan rumit. Pemahaman. Empati. Dan mungkin… sesuatu yang lebih hangat, yang membuat jantungnya berdebar dengan cara yang aneh dan menakutkan.
Tangan Lila tidak beranjak. Mata Angkasa tidak berpaling. Di antara dua ranjang rumah sakit, di bawah cahaya lampu neon yang pucat, waktu seakan berhenti, menahan napas bersamanya.
setelah ini apa yg akan km lakukan pada Angkasa, Laras