NovelToon NovelToon
BAYANG MASA LALU KELUARGA

BAYANG MASA LALU KELUARGA

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: biancacaca

Najla anerka ariyani arutama
Nama dia memang bukan nama terpanjang di dunia tapi nama dia terpanjang di keluarga dia
Memiliki 4 saudara laki laki kandung dan 3 saudara sepupu dan kalian tau mereka semua laki laki dan ya mereka sangat overprotektif akhh ingin sekali menukar merek semua

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biancacaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PART 18

02.17 — Balkon Rumah, sisa pecahan kaca masih berjatuhan

Angin dini hari biasanya dingin.

Tapi malam itu terasa hangat, seperti dunia sadar ada sesuatu yang bangun.

Najla duduk di lantai balkon, kaki menjuntai keluar, menatap lampu kota yang mulai redup satu per satu.

Tangan kirinya masih bergetar kecil — bukan takut. Tapi sisa arus.

Arlen berdiri di belakangnya. Tidak bicara.

Kairo duduk di pagar balkon, kaki sebelahnya menggantung malas.

“Adik lo baru bangun kekuatan, Lon,” kata Kairo, “tapi residunya udah kaya ledakan granat spiritual. Nggak heran Council ngamuk.”

Najla menyela pelan.

“Council itu… sebenarnya apa?”

Hening dua detik.

Arlen yang menjawab duluan.

“Bukan organisasi baik. Bukan juga organisasi yang peduli jahat. Mereka cuma peduli kendali.”

Kairo terkekeh.

“Artinya: kalau lo nggak bisa mereka punya… lo nggak boleh ada.”

Najla menelan informasi itu tanpa ekspresi.

“…Dan mereka mau aku?”

“Bukan mau,” ralat Kairo, “mereka wajib dapet. Karena sumber api murni baru bangun lagi setelah 400 tahun.”

Najla menoleh, alisnya terangkat.

“400 tahun?”

Arlen mengangguk.

“Yang terakhir ngendaliin api kayak kamu… akhirnya ngubah benua jadi abu. Sejak itu, Council punya aturan: jangan pernah biarin sumber bangun tanpa rantai.”

Najla tersenyum tipis.

“Dan mereka pikir mereka rantai yang cocok?”

Kairo spontan tepuk tangan dua kali.

“Wah liat. Mulai kerasa garis keturunannya.”

---

Flashback Singkat — 400 Tahun Lalu (versi singkat Kairo)

> Sumber terakhir bangun karena dunia butuh dia.

Tapi dia jatuh karena dia sendiri percaya dia monster.

Begitu musuh bikin dia benci dirinya,

dia hancur dan mereka menang.

Najla diam.

Arlen menambahkan pelan:

“Mereka gak ngincer api kamu. Mereka ngincer kepalamu duluan.”

---

Suara langkah pelan di ruang bawah

Tiga orang langsung waspada.

Bukan musuh. Bukan penyusup.

Tapi kehadiran yang baru terasa sekarang.

Seorang perempuan berdiri di bawah balkon, di antara bayang-bayang:

rambut gelap lurus, mantel panjang, dan mata yang terlihat seperti nyala bara yang sudah tua.

Dia menatap Najla.

Hanya Najla.

Arlen langsung turun dua langkah, nada suaranya berubah waspada.

“Lo siapa?”

Perempuan itu tidak memandang Arlen.

Tidak menghiraukan Kairo juga.

Dia mengangkat tangan, menunjuk ke jantung Najla, dan berbicara untuk pertama kalinya.

“Keturunan terakhir itu… ternyata bernapas lagi.”

Najla berdiri perlahan.

“Siapa kamu?”

Perempuan itu tersenyum, tapi bukan ramah.

Itu senyum seseorang yang sudah terlalu lama hidup dan tidak lagi terkagum oleh keajaiban.

“Nama publikku Irina.”

“Nama lamaku… kamu mungkin belum pantas dengar.”

Kairo langsung bergumam rendah:

“Wah gila… Yang ini kelas legenda.”

Arlen menajamkan mata.

“Lo dari Council.”

Irina menggeleng.

“Lebih tua.”

“Musuh kita?” tanya Arlen lagi.

Irina mengangkat bahu.

“Musuh? Tidak. Sekutu? Juga belum. Aku cuma… saksi.”

Najla maju satu langkah.

Suaranya tidak naik, tapi suaranya mengunci ruangan.

“Kalau kamu saksi, kamu tahu aku harus ngapain.”

Irina tersenyum lagi — kali ini ada rasa hormat setipis rambut.

“Benar. Dan karena kamu masih hidup saat aku menemui kamu…”

Dia menurunkan tangan, lalu menaruhnya di dadanya sendiri, tanda penghormatan kuno.

“…Berarti kamu belum memilih menyerah.”

Keheningan turun lagi.

Lalu Irina menambahkan:

“Tapi besok pagi sebelum matahari naik… Council akan kirim unit pemutus.”

Najla mengernyit.

Arlen langsung bersuara:

“Unit apa?”

Irina menatap mereka bertiga, seolah mempertimbangkan dampak kata-katanya.

“…Mereka yang tugasnya bukan menangkap sumber.”

“…Tapi memastikan sumber tidak pernah tumbuh.”

Najla langsung paham.

“Membunuh.”

Irina tidak mengelak.

“Ya.”

Lalu dia menatap Najla, lebih dalam.

“Dan mereka tidak datang untuk duel.

Mereka datang untuk memadamkan.”

---

Hening yang bukan kosong — terlalu penuh untuk berisik.

Kairo turun dari pagar, berdiri tegak.

“Lon, kita gak bisa bertahan di sini.”

Arlen setuju.

Najla justru bertanya hal lain.

“Siapa pemimpinnya?”

Irina menyebut nama itu seperti menjatuhkan palu:

“Orpheus.”

Tidak ada petir.

Tidak ada musik dramatis.

Tapi tanah di bawah kaki Arlen sedikit retak.

Kairo langsung bersiul rendah.

“Wah… ini bukan lagi level kabur. Ini level perang legenda.”

Najla tidak goyah.

Dia hanya menarik napas pelan, lalu berkata:

“…Bagus. Suruh dia datang.”

Arlen menoleh tajam.

“Naj—”

Dia memotong kakaknya sendiri tanpa meninggikan suara:

“Kalau mereka mau apiku padam, suruh mereka coba pakai tangan sendiri.”

Irina menyeringai pelan.

“Nah. Itu baru penerus.”

---

Dan di kejauhan…

Di pusat gedung hitam tanpa tanda, seseorang membuka mata.

Mata yang bukan lagi manusia sepenuhnya.

Mata yang pernah melihat dunia terbakar dan tidak berkedip.

Orpheus mendengar namanya disebut.

Dan dia tersenyum.

Karena perang… akhirnya dapat undangan resmi.

Rumah Arlen berubah jadi bengkel perang. Di meja makan: peta tercorat-coret, kabel, baterai, radio kecil. Di sofa: perban, obat, dan dua flashdisk yang masih hangat. Di sudut, Kenzi memasang antena kecil di atas mobil jidat—dia akan jadi relay publik dan jebakan digital.

Arlen memeriksa alat satu per satu. Kaelan membungkus gagang pisau dengan isolasi, menempelkan sensor magnet pada sarungnya. Kairo berdiri di pintu, memegang modul yang bisa mem-bypass kamera jalan. Damar menulis jalur evakuasi di secarik kertas. Najla menatap semua itu dengan tatapan tenang yang baru: bukan kebingungan—tapi kesiapan.

“Apa rencananya sekali lagi?” tanya Najla pendek.

Arlen menjelaskan singkat: “Kenzi ganggu jalur telekom, kita pecah jalur van. Kairo & Kaelan turun ke bak. Aku & Najla masuk kalau mereka buka kotak. Damar arahkan publik, Kenzi publish sisa file kalau kita dapat signal aman. Gantilah kalau ada hal berubah.”

Kairo menambahkan dingin, “Dan aku buka pintu belakang Sanctuary 9. Tapi hati-hati—pintu itu bukan cuma besi. Itu jebakan administrasi. Sekali mereka tahu aksesnya terbuka, semua jalur terkunci.”

Najla mengangguk. “Bagus. Kalau kita ketemu Orpheus, jangan sampai dia pegang aku duluan.”

Arlen menyipit. “Orpheus akan datang. Kita perlu rencana cadangan.”

Kaelan menengok, “Rencana cadangan itu apa? Berdoa sama langit?”

“Kita bawa sesuatu yang bukan manusia,” jawab Arlen. Ia menunjuk sarung kecil—seutas monofilamen dengan cap tua di gagangnya. “Benda ini dipakai orang tua gue. Bukan untuk membunuh, tapi untuk memotong jaringan. Kalau Orpheus datang bawa kebohongan, kita potong jalurnya.”

Najla meraih foto kecil Arvella di saku, menekannya ke dada. “Kita potong semua yang mau ngilangin mereka.”

Di ruang operasi gelap Council, layar-layar menunggu. Direktur berdiri, menatap laporan intel. “Unit Orpheus siap diluncurkan. Pemimpin: Orpheus sendiri. Prioritas: pemutusan total.”

Orpheus bukan sekadar nama. Orpheus adalah panggilan—untuk mereka yang dilatih membunuh apa yang lebih tua dari aturan. Ia memakai jas malam berlapis kevlar, mantel yang menutup hingga dagu, topeng nirkaca yang memantulkan cahaya ruang. Di pundaknya: emblem—garis yang memotong lingkaran, simbol pemutusan.

Unit Orpheus bergerak tanpa drakel. Mereka membawa alat non-konvensional: generator frekuensi yang bisa mematikan medan anomali, pelampung kimia yang menenggelamkan sinyal organik, dan selubung isolasi yang bisa memblokir energi yang belum terdefinisi. Mereka bukan datang untuk bunuh cepat. Mereka datang untuk membuat hal itu tidak pernah bisa menyala lagi.

Orpheus memeriksa pasukannya—mata di balik kaca menilai bukan jumlah, tapi kesiapan: “Ingat. Sumber yang bernyala bukanlah anak. Dia adalah titik jaringan. Kalian matikan jaringannya, bukan nurani kalian sendiri.”

Di luar: helikopter kecil melayang. Unit bergerak—dingin, rapi, tanpa kompromi.

Irina mengambil posisi di pojok rumah, menatap foto tua yang Najla berikan. Gambar itu bukan sekadar bayi. Di belakangnya, ada tanda tangan samar: “A.” dan cap panti—Sanctuary 9. Irina menarik napas panjang seperti menarik garis waktu.

Dia bercerita, pelan, suara seperti malam yang lama: “Sanctuary 9 dulu bukan panti. Itu rumah transisi—tempat anak-anak yang 'keluar pola' dikumpulkan oleh sekelompok orang yang menolak amandemen Council. Mereka menyelundupkan anak-anak itu, memberi nama, dan menyebarkannya ke keluarga aman. Arvella adalah salah satu dari mereka—bukan staf, bukan donor tunggal. Dia… penjaga kecil yang tumbuh jadi pemegang ingatan.”

Najla mendengarkan, mata melebar sedikit. Irina melanjutkan: “Ketika Council mulai mengkalibrasi aturan, mereka membuat Project Null—sebuah program untuk menormalkan data demografis. Anak-anak seperti Arvella dan orang sepertimu… dipandang sebagai ‘anomali’ yang harus diluruskan. Mereka tidak membunuh langsung. Mereka ‘menghapus’—mengubah identitas, memindahkan, memutus koneksi. Lalu ada satu insiden—api yang pecah, panti rusak, sebuah bayi hilang di tengah kekacauan. Nama Arvella jadi legenda: kadang pahlawan, kadang misteri.”

Najla menggenggam foto itu, jari-jarinya mengepal. “Jadi mereka tahu. Mereka tahu semua ini sejak lama.”

Irina mengangguk. “Mereka tahu. Itu kenapa Orpheus ada. Itu kenapa kalian diburu. Bukan karena siapa kalian, tapi karena apa yang akan terjadi jika kalian memilih hidup.”

Irina menatap Najla lebih dalam, lalu menaruh satu botol kecil—isi cairan bening—di meja. “Ini bukan obat. Ini pengikat. Kalau kamu mau memberi bentuk pada apimu, kamu perlu mengikatnya dulu. Kekuatan butuh nama, anak. Tanpa nama, ia hanya ledakan.”

Di halaman belakang, di bawah bangku motor yang remuk, Najla berdiri di tengah lingkaran yang dibuat Kaelan—bukan ritual kuno, tapi latihan praktis. Irina memimpin, tangan terentang, menuntunnya.

“Tarik napas panjang,” kata Irina. “Bayangkan api bukan sebagai panas, tapi sebagai niat. Karakter api—apakah ia merusak tanpa alasan, atau ia hangat untuk hidup?”

Najla menutup mata, mengingat bantuan malam itu, memikirkan borgol yang berkilau. Ia merasa sesuatu berputar di dadanya—bukan takut, melainkan aliran yang menunggu bentuk.

Irina menaruh satu setengah tetes dari botol ke telapak tangan Najla. Bau tak jelas—seperti kulit kering dan embun. “Sentuh foto Arvella,” katanya.

Najla menempelkan foto itu di telapak tangan yang berisi cairan. Perlahan, gambar itu memanas. Titik kecil cahaya muncul dari foto, kemudian merambat ke telapak Najla. Ia merasa bukan sedang memegang cermin—tapi memegang sebuah kemungkinan.

Irina memandangi Najla, serius. “Kau harus memberi nama. Nama itu akan menetapkan batas—apa yang kau izinkan apimu lakukan, dan apa yang kau tolak. Tanpa nama, kamu akan kehilangan diri sendiri.”

Najla membuka mata, wajahnya bersinar sedikit dari cahaya yang berasal dari dalam, bukan luar. Dalam detik itu, ia mendengar—bukan suara—melainkan gema: satu huruf yang terasa seperti akar.

“A…” bisiknya, lalu lebih tegas, “ARVELLA.”

Seketika—tidak dramatis, tapi pasti—ledakan kecil energi mengalir dari tangannya. Serbuk-debu di sekeliling mereka menari, tidak menyala, tapi berputar pelan seperti kupu-kupu yang mengikuti nyala kecil. Irina menunduk, menutup mulut dengan tangan.

“Arvella’s Ember,” ujar Najla, hampir berbisik lagi, tetapi terdengar seperti perintah. “Arvella bukan hanya nama. Dia janji.”

Arlen menatap, napasnya menahan sesuatu seperti penghargaan dan kekhawatiran sekaligus. Kairo mengangguk tipis, lalu menambahkan, “Bukan hanya penyalaan. Itu penetapan.”

Najla memegang foto itu erat, lalu menempelkan ke dada. Cahaya redup itu seperti luka yang disembuhkan oleh panas yang ia kendalikan. Bukan untuk membakar—untuk mengikat.

Pukul 03.14 — van hitam bergerak pelan, Sirene semu di jalan. Di kejauhan, helikopter kecil berputar, lampu fokusnya mencari. Unit Orpheus bergerak menutup ring—mereka tidak tahu ada Najla yang sudah menamakan apinya. Mereka tahu hanya satu hal: sumber harus dipadamkan.

Di atap, Kenzi menahan napas. Publik mulai bereaksi—komentar naik. Mereka punya jendela yang kecil. Di bawah, Kaelan dan Kairo menempelkan diri ke bak van. Di dalam: kotak kecil yang berbaring, diduga ‘anak’—tapi kotak itu bergetar, seperti menolak dibungkus.

Arlen menatap peta, lalu ke Najla. “Kita jalan. Dan ingat: kalau Orpheus turun, fokus bukan cuma menyelamatkan kotak—tapi memastikan jangan sampai mereka putuskan ‘pemutusan.’”

Najla menggenggam tangannya, merasa panas bukan karena panik—tapi karena bertekad. “Kalau mereka coba sentuh dia… aku yang putus.”

Irina melangkah mundur, menatap ke arah mereka dengan rona yang tak mudah dijelaskan. “Berhati-hatilah, anak muda. Nama yang baik juga menarik musuh paling haus.”

Di langit, Orpheus memerintahkan: “Keluar.”

Unit itu turun. Di jalan, dua tim bergerak bersamaan: tim yang ingin menyelamatkan, tim yang datang untuk memutus. Waktu mengkerut.

Cliffhanger Berat

Di depan van—sebuah tangan karet membuka borgol baru. Di bak belakang, Kaelan sudah menggenggam handle pemecah kunci. Di SUV dekat situ, Seraph melihat ke bawah, lalu ke Orpheus, wajahnya menyempit. Di rumah, Irina menutup mata sekejap, lalu menunduk memberi hormat kecil ke arah Najla—bukan kepada anak, tapi kepada sebuah janji lama.

Najla merasakan arus di bawah kakinya, bukan lagi sebagai ancaman, tapi sebagai garis yang harus dilalui. Dia menggenggam foto Arvella, memegang nama yang baru saja ia pilih: Arvella’s Ember.

Di layar telepon Kenzi—sinyal publik naik drastis. Di bawah, van berhenti di lampu merah. Semua peran terpasang. Semua keputusan harus dieksekusi.

Dan di tanda merah itu—tepat di bawah lampu lalu lintas—Orpheus menatap jalan menuju mereka, topengnya perlahan mengkilap: kali ini, ia bukan hanya

1
아미 😼💜
semangat update nya thor
Freyaaaa
🤩🤩🤩
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!