Luna punya segalanya, lalu kehilangan semuanya.
Orion punya segalanya, sampai hidup merenggutnya.
Mereka bertemu di saat terburuk,
tapi mungkin… itu cara semesta memberi harapan baru..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CHRESTEA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Badai Yang Kembali
New York...
Hari berjalan lebih lambat dari biasanya. Rumah kecil itu kini terlihat gelap. Semua jendela di tutup rapat, tidak ada cahaya luar yang masuk kedalam.
Luna duduk di kursi, menatap kosong ponselnya yang terus berbunyi notifikasi. Puluhan pesan masuk,wartawan, manajer lamanya, bahkan beberapa haters yang kembali muncul dari masa lalu.
Orion keluar dari kamarnya, berjalan pelan menghampiri. “Kamu udah makan?”
Luna menggeleng. “Aku nggak lapar.”
“Luna…” suaranya lembut, nyaris seperti bisikan. “Jangan biarkan mereka menang. Kamu pernah jatuh, tapi kamu juga pernah bangkit. Jangan biarkan mereka hancurin kamu lagi.”
Luna menatapnya, matanya merah. “Tapi kali ini, kamu ikut kena.”
Orion tersenyum kecil. “Kalau itu harga yang harus kubayar buat lindungin kamu, aku terima.”
Luna menunduk, suaranya gemetar. “Kenapa kamu baik banget, Rion…”
“Karena kamu satu-satunya orang yang bikin aku pengen sembuh.”
Hening.
Tapi hening itu bukan kosong.Ada sesuatu di sana,janji tanpa kata, perlindungan tanpa syarat.
Jakarta..
Beberapa hari kemudian, berita itu masih memenuhi media. Foto mereka jadi topik di acara talkshow, headline di majalah gosip, dan trending di media sosial. Tapi di balik layar, seseorang sedang memperhatikan semuanya dengan tatapan puas.
Dia menatap layar laptopnya yang menampilkan berita itu, lalu tersenyum tipis.
“Kamu kira kamu bisa ambil dia dariku, Luna Carter? Kamu cuma pengganti, cuma aku yang pantas berdiri di sisinya.”
____
New York
Rumah Damian..
Suara hujan pelan terdengar dari luar jendela.
Langit New York tampak muram.sama seperti isi hati dua orang yang duduk diam di ruang tamu rumah kecil itu.
Luna menatap kosong layar televisi yang menyiarkan berita tentang dirinya lagi.
Nama Luna Carter kembali jadi bahan perbincangan:
“Apakah skandal kali ini benar-benar cinta atau hanya memanfaatkan keadan?
“Ataukah hanya permainan citra artis yang sudah jatuh?”
"Sepertinya Luna sudah melupakan Raymond demi seorang Orion Delvano."
Dia menekan tombol remote dengan gemetar hingga layar padam. Semuanya terasa berat, dan kali ini, bukan hanya karena komentar publik. Tapi karena dia tahu mereka sedang diawasi. Lagi.
Suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar.
Orion yang duduk di kursi menoleh cepat.
“Apa hari ini ada terapi?"
Luna menggeleng. “Nggak ada.”
Pintu diketuk lagi, lebih keras kali ini.
Luna berjalan perlahan dan mengintip kecil dari jendela. Dan di sana, berdiri seseorang yang sudah lama tidak dia lihat,Kai Donovan.
Setelan jas abu-abunya basah karena hujan. Tatapannya lelah, tapi tetap hangat seperti dulu.
“Luna,” panggilanya pelan. “Kita perlu bicara.”
Luna menoleh menatap Orion. "Dia, temanku." tatapannya seolah meminta izin pada Orion.
"Biarin masuk."
Luna membuka pintu, mempersilakan Kai masuk kedalam. Ini kali pertama Orion dan Kai bertemu langsung. Sorot mata Orion tenang, tapi terlihat jelas jika dia tidak menyukai kehadiran Kai.
Kai tanpa bicara memeluk tubuh Luna erat.
"Kamu baik-baik saja. Aku benar-benar takut hal buruk terjadi sama kamu."
Luna kaget, dia melirik gugup kearah Orion. Pria itu mengepalkan tangannya kuat, menahan rasa marah di dadanya.
"Iya,Kai."
Kai melepaskan pelukannya, mereka kemudian duduk di ruang tamu. Kai membuka map hitam berisi dokumen dan tablet yang penuh notifikasi dari redaksi berita.
“Berita kalian sudah dikirim ke 28 portal besar, tujuh media cetak, dan tiga stasiun televisi. Ini bukan sekadar gosip biasa. Ini sabotase yang diatur,” katanya tegas.
Luna menatapnya dengan wajah tegang. “Sabotase?”
Kai mengangguk. “Seseorang sengaja kirim foto dan bayar media untuk bikin kamu hancur. Tapi aku punya rencana.”
Orion diam di samping Luna, matanya memperhatikan setiap gerak Kai dengan tatapan penuh curiga.
“Rencana?” tanya Luna hati-hati.
Kai menggeser tablet ke hadapan mereka.
Di layar terlihat foto promosi sebuah acara amal besar yang akan digelar seminggu lagi.
Logo besar Solace Entertainment terpampang di atasnya agensi milik Kai.
“Aku bisa ubah narasi media,” lanjutnya. “Dari skandal jadi strategi kampanye sosial. Kita buat cerita bahwa kamu disini untuk membantu Orion. Kamu menjadi rehabilitasi mental & fisik untuk proyek kemanusiaan.”
Luna menatapnya tak percaya. “Kai… itu gila.”
“Itu satu-satunya cara untuk hentikan mereka, Luna,” tegas Kai.
“Kalau kamu dan Orion muncul di depan publik sebagai bagian dari program resmi, semua gosip kehilangan daya. Media akan berhenti menyerang karena kalian dekat bukan karena percintaan tapi untuk kemanusian.
Luna menggeleng cepat. “Nggak! Aku nggak mau. Semua itu bohong! Aku juga gak mau Orion di bicarakan karena kecelakannya."
Kai menatapnya lembut, tapi nada suaranya keras. “Kamu pikir kamu bisa lindungi dia dengan sembunyi? Dunia nggak berhenti meski kamu menutup semua jendela.”
Luna menunduk, bahunya bergetar.
Dia tahu Kai benar, tapi hatinya menolak keras.
Orion, sejak tadi diam, akhirnya bicara.
Suaranya rendah, tapi setiap katanya mantap.
“Lakukan.”
Luna menoleh cepat. “Apa?! Rion, nggak! Aku nggak mau kamu—”
“Aku mau,” potong Orion tenang. “Kai benar. Kalau ini bisa bantu kamu, aku nggak keberatan.”
Luna menatapnya tidak percaya. “Kamu gila. Semua ini akan buat media cari kamu dan bahas tentang kecelakaan,kondisi kamu semuanya!"
Orion menggeleng. “Aku baik-baik aja. Sekarang aku harus berdiri di depanmu, bukan di belakang.”
Kai menatap mereka berdua, lalu berdiri perlahan. “Kalian berdua nggak punya banyak waktu. Aku akan atur semuanya, tapi kalian harus siap tampil di depan publik minggu depan.”
“Berikan aku waktu bicara sama dia dulu,” kata Luna lirih.
Kai mengangguk. “Baik. Tapi jangan lama-lama. Dunia nggak akan nunggu kamu pulih.”
Dia meninggalkan rumah itu pelan, menyisakan keheningan yang lebih berat dari sebelumnya.
Orion menatap ke arah Luna.Wajahnya tenang, tapi sorot matanya sayu.
“Kamu gak beneran mau ngelakuin ini kan?” tanya Luna, suaranya serak.
“Kalau ini satu-satunya cara untuk nyelametin kamu, ya." Orion menatap lantai sebentar, lalu kembali menatap Luna.
“Luna, aku nggak bisa terus lihat kamu takut. Kamu pantas berdiri lagi. Aku cuma mau itu.”
“Tapi gak dengan korbanin kamu." Luna mulai menangis. “Kamu bahkan belum sembuh sepenuhnya, Rion. Aku nggak mau kamu sakit karena aku.”
Orion menarik napas panjang, mencoba menahan perasaannya yang mulai retak.
“Dengar aku…” suaranya pelan tapi tegas. “Mungkin ini waktu kamu harus pergi dari sini dulu.”
Luna menatapnya kaget. “Apa maksudmu?"
“Pergi,” ulangnya lembut. “Ikut Kai. Hadapi mereka, buktikan kalau kamu bukan seperti yang mereka pikir. Aku akan tetap di sini. Tunggu kamu."
Luna menggeleng keras, air matanya jatuh deras. “Kamu nyuruh aku ninggalin kamu? Kamu usir aku?"
Orion menunduk. “Bukan. Aku juga nggak mau, tapi aku harus.”
Keheningan panjang menggantung di antara mereka. Hanya suara hujan yang terdengar dari luar. Luna berdiri, menatap Orion dengan wajah penuh luka.
“Kamu selalu nyuruh aku kuat,” katanya dengan suara bergetar.
“Tapi kamu sendiri malah menyerah.”
Orion menatapnya pelan, matanya berkaca-kaca. “Aku nggak menyerah, Luna. Aku cuma tahu,cinta juga kadang harus melepaskan. Sementara saja."
Luna menggigit bibirnya keras, menahan tangis yang nyaris pecah. Dia mendekat, menatap Orion lama.
“Kalau aku pergi, kamu gak boleh berhenti,” bisiknya.
“Karena aku, pasti akan kembali, aku akan lihat kamu lebih baik."
Orion menatapnya, senyum kecil muncul di bibirnya meski matanya basah.
“Pasti, aku akan tetap disini. Kalaupun nanti kamu berubah, aku harap kamu jadi versi terbaik dari dirimu.”
Luna menangis pelan, lalu memeluknya erat.
Pelukan itu lama, dingin, dan menyakitkan. Seolah mereka berdua tahu, inilah perpisahan yang tak bisa dihindari.