Adinda tak pernah membayangkan bahwa pernikahan yang ia jaga dengan sepenuh hati justru kandas di tengah jalan. Sejak mengalami insiden yang membuatnya harus menjalani perawatan panjang, ia kehilangan banyak hal—termasuk komunikasi dengan suaminya sendiri. Berbulan-bulan ia berjuang seorang diri, berharap ketika pulih, rumah tangganya masih bisa dipertahankan.
Namun harapan itu runtuh seketika. Saat suaminya akhirnya pulang dan berdiri di hadapannya, bukan pelukan hangat atau kabar baik yang datang… melainkan satu kalimat yang menghancurkan seluruh dunianya: ia diceraikan.
Adinda hanya bisa terpaku, tak pernah menyangka bahwa ketegarannya selama ini justru berakhir pada kehilangan yang lebih besar daripada rasa sakit yang pernah ia derita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 32 Merasa gugup
Di dalam kamar, setelah semua pemeriksaan dan administrasi selesai, Adinda membantu Vikto naik ke tempat tidur. Gerakannya pelan, penuh hati-hati, seakan takut menyakitinya. Ia merapikan bantal, lalu menarik selimut sampai dada suaminya.
“Kak Vikto istirahat, ya,” ucap Adinda lembut. Suaranya bergetar menahan sedih. “Biar Adinda yang jaga Kakak. Adinda mohon… kendalikan emosinya. Kita sedang berduka atas kepergiannya Oma. Jangan sampai Oma sedih melihat Kakak seperti ini.”
Vikto terdiam, menatap wajah istrinya lama, seolah baru benar-benar menyadari betapa berharganya sosok yang kini berdiri di sampingnya itu.
Lalu, perlahan senyum tipis terukir di bibirnya. Senyum yang dibuat oleh rasa syukur yang begitu dalam.
“Dinda…”
Nada suaranya rendah, serak, namun hangat. “Aku pikir… setelah pernikahan mendadak itu, hubungan kita bakal kaku. Aku takut kamu menjauh… takut kamu menyesal.”
Adinda menunduk, pipinya memerah, tapi ia tetap bertahan di sisi ranjang.
“Tapi ternyata,” lanjut Vikto, “aku dikasih Tuhan seorang istri yang nggak cuma baik… tapi juga yang paling kuat di saat aku jatuh seperti sekarang.”
Kelopak mata Adinda bergetar. Ia menggenggam tangan Vikto, seolah takut untuk kehilangan.
“Kakak nggak sendirian,” bisiknya. “Selama Adinda masih bisa berdiri… Adinda akan tetap di sini, menemani Kakak. Dulu, saat Dinda rapuh, Kak Vikto yang selalu ada buat Dinda. Mungkin, saat ini giliran Dinda yang menjadi penyemangat buat Kakak.”
Vikto memejamkan mata. Bukan karena lelah, melainkan karena rasa haru yang tak bisa ia sembunyikan.
Dalam duka kehilangan Oma Hela dan hancurnya kepercayaan pada ayahnya sendiri, satu-satunya cahaya yang tersisa baginya kini hanya Adinda.
Dan untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, Vikto bisa bernapas sedikit lebih lega, karena ada tangan kecil yang menggenggam tangannya, membuatnya yakin ia tidak lagi sendirian.
Setelah memastikan selimut Vikto menutup hingga dada, Adinda hendak berdiri. Namun, tangan Vikto tiba-tiba terulur, menahan pergelangan tangannya dengan lembut.
“Dinda…” panggilnya pelan.
Adinda menoleh, jantungnya langsung berdebar tak karuan.
“Iya, K-Kak?” jawabnya gugup.
“Temani aku tidur… jangan pergi.”
Nada suara Vikto lirih, penuh luka, kehilangan Oma Hela meninggalkan lubang besar, dan hanya Adinda yang sanggup menutup celah itu meski sedikit.
Dinda menelan ludah. “Tapi… Dinda takut ganggu istirahat Kakak.”
“Nggak mungkin kamu ganggu aku. Kamu istriku sekarang, Dinda.” Vikto meraih tangan Dinda, menepuk sisi kasur di sebelahnya. “Di sini saja. Aku cuma… nggak mau tidur sendirian.”
Keraguan memenuhi mata Adinda. Bukan karena menolak, melainkan karena degup di dadanya kembali kacau. Bayangan malam ketika ia terbangun dalam pelukan Vikto kembali datang. Hangatnya. Dekatnya. Dan… rasa malunya yang pasti.
Namun melihat mata Vikto yang tampak rapuh, Adinda perlahan mengangguk.
“Baik… Adinda di sini.”
Ia naik ke kasur pelan-pelan, berusaha tidak membuat suara berlebih. Tubuhnya kaku seperti robot, dengan pisisi tegang di tepi kasur tanpa berani menatap Vikto.
Vikto menahan senyum melihat tingkah istrinya yang super kikuk itu.
Dengan gerakan hati-hati, ia memiringkan tubuhnya menghadap Adinda.
“Kamu tegang banget. Takut ya?”
Suara Vikto melembut, hampir seperti bisikan.
“Enggak…” Adinda buru-buru menyangkal, tapi telinganya sudah memerah.
Vikto menghela napas pendek, lalu perlahan meraih punggung Adinda, menariknya masuk ke dalam dekapannya.
Pelan, tidak memaksa, tapi cukup untuk membuat jantung Adinda seolah berhenti berdetak.
“K-Kak… Vikto…”
Suara Adinda bergetar.
“Tenang,” bisik Vikto. “Aku cuma mau tidur. Nggak lebih.”
Kata-katanya jujur, namun hangatnya pelukan membuat wajah Adinda merona seperti udang rebus.
Detak jantung Vikto terasa jelas di dada Adinda, dan tanpa sadar, ia menggenggam baju suaminya, entah untuk menenangkan diri, atau karena butuh pegangan agar tidak lari.
“Aku bahagia kamu di sini,” ujar Vikto lirih. “Oma pasti senang lihat kamu yang tetap merawatku.”
Adinda memejam, menahan rasa haru yang perlahan menyeruak.
“Dinda juga… bahagia Kak Vikto baik-baik saja,” balasnya pelan.
Vikto semakin mengeratkan pelukan, tapi tetap lembut.
“Kita tidur, ya.”
Dinda mengangguk kecil.
Pelan-pelan, rasa gugupnya lumer oleh kehangatan yang menenangkan.
Dalam pelukan Vikto, ia akhirnya memejam.
Dan untuk pertama kalinya sejak semua kekacauan itu terjadi…
keduanya bisa tertidur dengan tenang, dalam satu dekapan, sebagai suami istri yang sesungguhnya.
Cahaya matahari pagi mengintip melalui jendela. Vikto membuka mata perlahan, merasa hangat luar biasa. Ia menunduk sedikit, dan mendapati Adinda masih terlelap, wajahnya begitu dekat.
Lengan Vikto masih melingkari pinggang istrinya. Adinda memeluk balik tanpa sadar, seperti anak kucing kecil yang mencari kehangatan. Pemandangan itu membuat senyum lembut terbentuk di bibir Vikto.
“…Dinda,” gumamnya, nyaris tidak percaya betapa damainya pagi ini.
Tanpa sadar, ia membenarkan selimut di tubuh Adinda, lalu jemarinya mengusap pelan puncak kepala perempuan itu. Setiap gerakan terasa hati-hati, seolah ia takut Adinda akan hilang jika disentuh terlalu keras.
Beberapa detik kemudian, Adinda menggeliat kecil. Matanya terbuka perlahan, dan langsung membelalak saat menyadari bahwa ia masih berada di dalam pelukan suaminya.
“K–Kak Vikto!!” Adinda langsung menjauh setengah meter sambil menutupi wajahnya. “Aduh… malu banget…”
Vikto tertawa kecil, suara lembut yang jarang sekali terdengar.
“Kamu lucu kalau lagi panik.”
“Jangan godain…” Adinda makin menunduk, pipinya merah seperti tomat rebus.
Vikto menggeleng, senyumnya hangat, jauh dari sosok dingin dan keras yang dulu dikenal banyak orang.
“Kalau tiap bangun tidur aku disambut pemandangan kayak gini… mungkin aku bakal cepat sembuh.”
Adinda mendelik kecil sambil memeluk bantal, tetapi pipinya tetap memerah.
Momen itu sederhana, manis, dan begitu hangat, seolah sejenak menghapus duka yang masih mengintai di belakang mereka.