NovelToon NovelToon
JEDA

JEDA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:701
Nilai: 5
Nama Author: Wiji

Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.

Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

10

Langkah Nathan menggema pelan di lorong apartemen yang sepi. Lantai keramik masih dingin pagi itu, dan cahaya matahari hanya mengintip malu-malu dari celah jendela besar di ujung koridor. Tangannya menggenggam kantong kertas berisi dua porsi bubur ayam, masih hangat, masih mengepul, dan semoga cukup untuk jadi alasan masuk akal buat mengetuk pintu perempuan yang belum tentu ingin melihatnya pagi-pagi begini.

Ia berhenti tepat di depan unit Kayla. Memandang angka unit yang sama yang pernah ia kunjungi berkali-kali. Tapi pagi ini rasanya berbeda. Tangannya terangkat, ragu, lalu turun lagi. Beberapa detik kemudian, ia mengetuk pelan.

Sekali. Dua kali. Hening.

Pintu tidak langsung terbuka. Tapi Nathan tidak menyerah. Ia mengetuk lagi, kali ini disertai suara yang ditahan agar tak terdengar gugup.

"Kay, kamu udah siap kerja belum? Aku... cuma mau anter sarapan. Bubur ayam kesukaan kamu."

Masih tak ada jawaban. Tapi suara langkah kaki terdengar mendekat dari dalam.

Lalu klik, pintu terbuka.

Kayla berdiri di ambang pintu. Wajahnya polos, tanpa riasan. Rambutnya digulung asal di atas kepala. Matanya bengkak, tapi sudah tidak menangis.

Ia terdiam. Tidak langsung menyuruh Nathan pergi, tapi juga tidak memberi isyarat untuk masuk.

Nathan angkat kantong kertas berisi bubur dan tersenyum kecil.

"Aku tahu aku salah. Tapi boleh kan... aku tebus salahku pelan-pelan?"

Kayla menatap bubur itu sekilas, lalu menatap wajah Nathan. Lama. Seolah sedang menimbang. Apakah pantas pria ini masih diberi ruang?

"Aku nggak lapar," ucapnya datar, meski perutnya mungkin berkata lain.

Nathan tidak mundur. Ia tetap berdiri di ambang pintu, masih memegang kantong bubur yang mulai mendingin.

"Kalau gitu buat nanti, pas istirahat siang. Aku tau kamu sering lupa makan kalau udah tenggelam di kerjaan," katanya pelan.

Kayla memejamkan mata sebentar, menarik napas. Lalu berbalik. "Taruh aja di meja."

Nathan masuk pelan, meletakkan kantong kertas di meja makan kecil yang rapi. Pandangannya tertuju pada Kayla yang masih membelakanginya, berdiri di depan jendela. Alih-alih menatapnya, pria yang masih berstatus kekasihnya. Kayla justru memilih memandangi jalanan yang mulai dipadati kendaraan pagi itu.

Nathan berdiri beberapa langkah di belakang Kayla. Ia tak langsung mendekat, hanya menatap punggung wanita itu, mencoba membaca gelagat dari setiap gerakan kecil yang ia tunjukkan, termasuk saat Kayla menyilangkan tangan di dada, seolah masih mencoba membentengi hatinya sendiri.

"Aku ngerti, Kay," ucap Nathan pelan. Suaranya nyaris tenggelam oleh deru kendaraan dari luar jendela. "Aku ngerti kalau aku nggak cuma salah, tapi aku juga egois di dalam hubungan kita. Aku minta kamu sabar, terus ngerti, tanpa pernah benar-benar nanya kamu sanggup atau nggak."

Kayla tetap diam. Matanya tertuju pada kaca jendela yang mulai berembun oleh uap pagi. Tapi Nathan tahu, ia mendengar.

"Kenapa baru sekarang? Kenapa baru sekarang kamu sadar?"

"Karena selama ini aku terlalu yakin kamu akan tetap di sini. Karena aku bodoh. Aku kira, cukup dengan tahu kamu ada, aku bisa fokus ke yang lain dulu. Tapi ternyata... kehadiran kamu itu bukan sesuatu yang bisa kutaruh di belakang. Kamu pusatnya, Kay. Dan aku baru sadar waktu kamu benar-benar mulai hilang."

Kayla memutar tubuhnya perlahan. Tatapan mereka bertemu. Tidak lagi sekadar emosi, tapi juga tatapan cinta yang masih membara di antara keduanya, meski tertutup kabut kecewa yang belum sepenuhnya sirna.

Nathan menatap mata Kayla lekat-lekat. Tidak ada lagi nada main-main dalam suaranya. Semua yang keluar dari bibirnya kini terasa pelan, tulus, dan berat. Seperti beban yang akhirnya ia lepaskan satu per satu.

"Aku nggak akan kasih kamu janji atau ucapan-ucapan manis lainnya. Aku cuma minta kamu kasih aku kesempatan buat benerin semuanya. Aku tahu, kamu udah terlalu sering dikecewakan... sama aku. Tapi kali ini, aku mau buktiin, aku bisa lebih dari laki-laki yang ngecewain kamu kemarin."

Matanya menatap dalam ke arah Kayla.

"Kita hidup sendiri, Kay. Kita tahu rasanya pulang tanpa siapa-siapa nungguin, rasanya kehilangan yang nggak bisa diganti. Tapi... kalau kita bisa saling punya, saling jaga, saling cinta, bukankah itu cukup? Buat kita saling jadi rumah."

Hening menggantung. Lalu Nathan melangkah perlahan, menipiskan jarak yang masih memisahkan. Ia berhenti hanya sejengkal dari Kayla.

Tangannya terangkat pelan, memberi ruang kalau Kayla ingin menolak. Tapi perempuan itu tak bergeming. Maka Nathan menangkup kedua pipinya dengan lembut. Suhu hangat dari telapak tangan Nathan membuat dada Kayla terasa penuh. Ia memejamkan mata, mencoba menahan sesuatu yang menggumpal di tenggorokannya, tapi sia-sia.

Setetes air mata jatuh.

Lalu disusul yang lain, mengalir tanpa suara.

Tangan Kayla yang semula diam, perlahan terangkat. Ia menyentuh lengan Nathan, bukan untuk menyingkirkan, melainkan untuk mendekat.

Dalam satu gerakan pelan tapi penuh makna, Kayla meraih tubuh Nathan dan memeluknya. Erat. Tubuhnya bergetar pelan dalam dekapan itu, dan tangisnya tak lagi bisa disembunyikan.

Nathan membeku sejenak, lalu membalas pelukan itu. Kedua lengannya melingkari tubuh Kayla, menariknya ke dalam dada, seolah ingin melindunginya dari semua luka yang pernah ia sebabkan.

"Selama ini..." Kayla berbisik di antara tangisnya, "aku udah anggap kamu rumahku, Nat. Tapi kamu nggak pernah lihat aku seperti itu. Kamu terlalu sibuk dengan dunia kamu, dengan teman-temanmu dengan hobi kamu. Bahkan aku udah mikirin masa depan sama kamu di saat kamu sendiri nggak mikirin masa depan kamu sendiri."

Suara Kayla pecah di akhir kalimat. Tubuhnya kembali bergetar dalam pelukan Nathan, seolah semua yang selama ini ia tahan akhirnya tumpah ruah tanpa bisa dihentikan.

Nathan menundukkan kepala, merapatkan pelukan mereka. Ia tidak berbicara. Hanya mengusap pelan punggung Kayla dengan gerakan yang tenang, penuh penyesalan.

"Aku tahu," bisiknya akhirnya. "Aku tahu aku terlambat sadar. Terlalu lama ngebiarin kamu jalan sendirian, padahal kita harusnya bareng-bareng. Tapi aku di sini sekarang, Kay. Dan aku nggak akan kemana-mana lagi."

Kayla menahan napasnya, seperti sedang bertaruh dengan harapan yang tersisa.

Nathan menarik diri sedikit, cukup untuk menatap wajahnya. Jemarinya mengusap sisa air mata di pipi Kayla, lalu menangkup wajahnya lagi dengan lembut.

"Aku tahu aku gagal jadi tempat pulang buat kamu," bisik Nathan di rambutnya. "Tapi mulai hari ini... aku mau belajar. Bukan cuma jadi rumah, tapi jadi orang yang kamu percaya untuk pulang, kapan pun kamu butuh."

Kayla menarik sedikit tubuhnya, menatap Nathan dari jarak yang begitu dekat. Wajahnya masih lembap oleh air mata, tapi ada kilau baru di matanya. Kilau yang menyimpan sisa kepercayaan yang belum sepenuhnya padam.

"Aku nggak minta kamu jadi sempurna, Nat," ucapnya pelan. "Aku cuma pengen... kamu hadir. Beneran hadir. Ngelihat aku, anggap aku. Bukan cuma ada secara fisik."

Nathan mengangguk. "Mulai sekarang, aku akan ada... kapan pun kamu mau."

"Janji nggak mentingin temen-temen kamu dan clubbing kamu itu?"

"Janji, Sayang. Aku janji akan lebih memikirkan masa depan kita daripada kesenangan aku sendiri. Aku minta maaf, ya."

Ia mengecup kening Kayla pelan. Lama. Hangat.

Dan di detik itu, Kayla tahu, ia tak lagi sendiri dalam hubungan ini.

Tak ada kata maaf yang lebih panjang. Tak ada adegan dramatis berlebihan. Hanya pelukan yang masih erat dan dua hati yang perlahan belajar untuk kembali saling percaya.

Pagi itu, di dalam apartemen mewah, dengan bubur ayam yang sudah dingin di meja, mereka mulai menambal retak. Sedikit demi sedikit.

Tapi cukup.

Untuk hari itu. Untuk awal yang baru. Untuk dua orang yang akhirnya benar-benar memilih satu sama lain.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!