Rika Nurbaya adalah seorang guru honorer yang mendapat perlakuan tak mengenakan dari rekan sesama guru di sekolahnya. Ditengah huru-hara yang memuncak dengan rekan sesama guru yang tak suka dengan kehadirannya, Rika juga harus menghadapi kenyataan bahwa suaminya, Ramdhan memilih wanita lain yang jauh lebih muda darinya. Hati Rika hancur, pernikahannya yang sudah berjalan selama 4 tahun hancur begitu saja ditambah sikap ibu mertuanya yang selalu menghinanya. Rika pun pergi akan tetapi ia akan membuktikan bahwa Ramdhan telah salah meninggalkannya dan memilih wanita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Doa Tulus Dan Amarah Mertua
Bu Haji Etin kemudian mulai memimpin doa. Semua tangan terangkat. Suara Bu Haji Etin terdengar khusyuk, mendoakan keselamatan, kesehatan, dan keberkahan bagi Rika.
“Ya Allah, ya Tuhan kami,” Bu Haji Etin memulai, suaranya bergetar. “Berkahilah hamba-Mu Rika Nurbaya. Lindungilah dia dari segala fitnah dan dengki. Limpahkanlah rezeki yang halal, luas, dan berkah dari SMA Bina Cendekia. Jadikanlah pekerjaan barunya sebagai ladang ibadah dan kebaikan, agar ilmu yang dia berikan menjadi cahaya bagi anak bangsa.”
"Ya Allah, angkatlah derajatnya. Gantikanlah setiap air mata sedih yang pernah dia tumpahkan, dengan air mata syukur dan kebahagiaan. Berikanlah dia pasangan hidup yang saleh, yang mencintai dia sepenuh hati, yang bisa menjadi imam dan pelindung baginya, yang akan menghormati orang tuanya, dan yang akan menjadi ayah terbaik bagi anak-anaknya kelak.”
Mendengar doa itu, Bu Sukma dan Pak Nardi yang duduk di samping Rika, ikut menangis haru. Rika sendiri memejamkan mata, merasakan setiap kata-kata itu menenangkan jiwanya. Ia tidak pernah meminta kekayaan, ia hanya meminta kedamaian dan harga diri. Dan doa ini terasa seperti jawaban yang sempurna.
Setelah doa selesai, semua orang mengaminkan dengan khusyuk. Rika mengambil napas panjang. Ia merasa beban di hatinya benar-benar terangkat.
Ia kemudian berjalan, membagikan nasi kotak satu per satu kepada anak-anak dan tetangga yang hadir.
****
Saat ia menghampiri Bu Haji Etin, Rika meraih tangan wanita tua itu dan menciumnya lama-lama.
“Terima kasih banyak, Bu Haji. Doa Ibu adalah yang paling Rika butuhkan,” bisik Rika, suaranya serak.
Bu Haji Etin menepuk punggung tangan Rika. “Jangan lupa, Nak. Tetaplah rendah hati. Harta, jabatan, itu hanya titipan. Kedamaian hatimu itu yang harus kamu jaga. Dan jangan pernah lupakan orang-orang yang mendukungmu sejak kamu masih berjuang.”
“Siap, Bu Haji. Saya janji,” jawab Rika, tulus.
Rika kembali ke tengah ruangan. Ia memandang orang tuanya. Pak Nardi menatapnya dengan bangga.
“Bapak bangga sama kamu, Nak,” kata Pak Nardi. “Bapak tidak pernah menyesal kamu memilih menjadi guru. Itu pekerjaan yang mulia.”
“Iya, Pak. Rika janji, Rika akan jadi guru yang baik. Rika akan buktikan bahwa Ibu Cahya dan Bu Rosba salah,” kata Rika, senyumnya tegas.
Rika berjalan ke meja, mengambil ponselnya. Ia membuka kontak Arya Dewandaru. Ia ingin berbagi momen kebahagiaan ini, berbagi rasa syukur ini.
Rika: Pak Arya, hari ini saya mengadakan syukuran kecil di rumah. Membagikan nasi kotak pada tetangga dan anak yatim. Semua ini karena kebaikan Allah, dan juga berkat dukungan Bapak yang tak terduga. Terima kasih telah mempercayai saya ketika semua orang meragukan.
Tak lama kemudian, balasan Arya masuk.
Arya: Syukurlah, Rika. Itu hal yang mulia. Kebaikan Anda adalah energi positif yang menarik hal-hal baik. Saya hanya sedikit mempermudah jalannya. Jika Anda tidak keberatan, besok saya ingin bertemu sebentar. Ada hal penting yang ingin saya diskusikan mengenai program beasiswa di Bina Cendekia.
Rika tersenyum membaca pesan itu. Ia tahu, Arya bukan hanya rekan bisnis semata. Ia adalah jembatan yang menghubungkannya dengan kehidupan yang lebih baik.
Rika membalas, hatinya dipenuhi rasa optimis.
Rika: Tentu, Pak Arya. Saya sangat bersedia.
Rika menaruh ponselnya. Ia melihat nasi kotak yang sudah hampir habis dibagikan. Ia melihat wajah bahagia anak-anak. Ia melihat kebahagiaan di mata orang tuanya. Rika Nurbaya, yang dulu rapuh dan dihina, kini berdiri tegak, penuh berkah, dan siap menghadapi masa depan barunya.
****
Pernikahan Ramdhan dan Milea Wulandari, yang seharusnya menjadi puncak kejayaan Ibu Cahya, justru terasa hambar dan penuh ketegangan. Rumah yang kini mereka tinggali, sebuah rumah yang lebih mewah berkat sumbangan signifikan dari keluarga Milea, terasa dingin dan sunyi. Milea memang memenuhi semua kriteria Cahya: kaya, berpendidikan tinggi, dan dari keluarga terpandang. Namun, ia tidak datang membawa kehangatan; ia datang membawa tembok.
Milea, seorang wanita modern yang terbiasa dengan kemandirian dan privasi, tidak membiarkan Bu Cahya mendominasi. Milea menghormati Ramdhan sebagai suami, tetapi ia tidak melihat Cahya sebagai figur otoritas absolut.
Sore itu, suasana di ruang makan sangat mencekam. Hanya suara denting sendok dan garpu yang terdengar. Milea sibuk dengan ponselnya, memeriksa email bisnis. Ramdhan, yang duduk di depannya, tampak lesu dan murung, tanpa berani memulai percakapan.
Ibu Cahya, yang duduk di kepala meja, merasa frustrasi. Keheningan ini jauh lebih menyiksa daripada perdebatan sengitnya dengan Rika dulu.
“Milea, kamu tidak makan sayur itu?” tanya Cahya, mencoba memecah keheningan.
Milea mengangkat kepala sekilas. “Terima kasih, Bu. Saya sedang mengurangi karbohidrat dan sayuran yang direbus.”
“Mengurangi? Nanti kamu sakit, Nak. Ibu sudah masak susah-susah,” gerutu Cahya.
"Saya menghargai masakan Ibu. Tapi saya sudah punya koki pribadi yang menyiapkan makanan sesuai diet saya,” jawab Milea, nadanya sopan tapi dingin, tanpa melihat wajah Cahya.
Ramdhan menunduk, takut akan konflik yang akan datang. Ia tahu, Milea tidak akan mau berkompromi.
Cahya meletakkan sendoknya dengan keras. “Koki pribadi? Jadi kamu tidak sudi makan masakan mertuamu, begitu?”
****
Milea akhirnya menaruh ponselnya. Ia menatap Cahya lurus-lurus. “Bukan tidak sudi, Bu. Tapi ini masalah kesehatan dan profesionalitas. Saya punya jadwal pertemuan penting yang membutuhkan energi prima. Saya tidak bisa sembarangan makan.”
“Dan Bu,” Milea melanjutkan, nadanya kini tegas. “Saya sudah bilang, dapur rumah ini adalah wilayah saya. Ibu boleh tinggal di sini, tapi urusan rumah tangga, termasuk masakan, biar saya yang atur.”
Kata-kata itu membuat Cahya terdiam. Milea tidak berteriak, tidak membentak, tapi setiap kalimatnya adalah perintah yang tak terbatalkan. Cahya tidak bisa membantah, karena rumah itu dan sebagian besar fasilitasnya dibiayai oleh Milea.
“Dulu Rika tidak begini!” seru Cahya, akhirnya mengeluarkan kartu andalannya. “Rika selalu mau makan apa pun yang Ibu masak, Rika selalu menurut!”
Mendengar nama mantan istrinya, Ramdhan mendongak.
Milea tersenyum tipis, senyum yang sinis. “Tentu saja, Bu. Rika harus menurut, karena dia guru honorer yang membutuhkan suaka. Saya, Milea, punya karier dan penghasilan sendiri. Saya tidak butuh suaka, Bu. Saya butuh kemitraan yang setara.”
Milea bangkit. “Ramdhan, besok malam kita harus datang ke acara gala dinner dengan klienku. Jangan lupa siapkan tuxedo kamu. Saya harus pergi sekarang. Ada urusan bisnis di luar kota.”
Milea mengambil tasnya dan berlalu begitu saja, meninggalkan Cahya dan Ramdhan yang terpaku.
Cahya menatap Ramdhan dengan mata memohon. “Ramdhan! Kamu lihat? Istrimu kurang ajar! Dia tidak menghormati Ibu! Dia pergi begitu saja!”
Ramdhan menghela napas, ia tidak lagi memiliki energi untuk membela ibunya. “Ibu, Milea memang sibuk. Dia punya perusahaan, Bu. Dan dia memang tidak suka dibantah.”