Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.
Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.
Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.
Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.
Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hadiah Pernikahan
Udara Bali terasa berbeda di kulit Indira, hangat, lembap, dan entah kenapa terasa lebih hidup. Atau mungkin itu hanya adrenalin yang mengalir deras di pembuluh darahnya. Adrenalin dari rencana yang sudah ia persiapkan dengan sempurna selama seminggu terakhir.
"Kamu yakin dengan ini?" tanya Rani untuk kesekian kalinya sejak mereka mendarat di Bandara Ngurah Rai dua jam lalu.
Indira menatap keluar jendela mobil rental mereka, menyaksikan pemandangan sawah hijau dan pura-pura yang berjejer di pinggir jalan. Senyum tipis muncul di bibirnya.
"Sangat yakin," jawab Indira tenang. "Ini baru permulaan, Ran."
Hari ini adalah hari pernikahan Rangga dan Ayunda. Hari yang Rangga pikir akan berjalan mulus, tersembunyi, aman dari pandangan dunia. Resepsi tertutup, hanya untuk keluarga dekat dan sahabat terdekat. Tidak ada media. Tidak ada tamu yang tidak diundang. Tidak ada drama.
Atau begitulah yang Rangga kira.
"Kita sudah masuk kawasan Ubud," ucap Rani sambil menyetir. "Tempat-nya masih sekitar dua puluh menit lagi."
"Bagus," gumam Indira sambil mengecek ponselnya. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal, orang yang ia bayar untuk menjalankan rencana besarnya.
"Semua sudah terpasang, Bu. Seperti instruksi. Pembayaran sudah diterima. Terima kasih."
Indira tersenyum puas. Sempurna.
Mobil melaju melewati persawahan yang hijau, jalan mulai naik menuju area perbukitan. Lalu tiba-tiba...
"ASTAGA!" Rani menginjak rem mendadak.
Mobil berhenti di tengah jalan. Rani menatap keluar dengan mata terbelalak, mulut terbuka lebar, tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Indira mengikuti arah pandangannya. Dan senyum di bibirnya melebar.
Di sana, tegak berdiri megah di pinggir jalan sebuah baliho besar berukuran 4x6 meter. Warna-warninya cerah, mencolok, tidak mungkin terlewatkan. Dan di tengah baliho itu terpampang foto prewedding Rangga dan Ayunda.
Mereka berpose romantis di pantai saat matahari terbenam, Rangga memeluk Ayunda dari belakang, keduanya tersenyum bahagia ke arah kamera. Foto yang indah, profesional, penuh kemesraan.
Dan di atas foto itu, dengan huruf kapital besar berwarna merah yang mencolok, tertulis:
"SELAMAT MENIKAH, RANGGA & AYUNDA!"
Lalu di bawahnya, dengan huruf yang sedikit lebih kecil tapi tetap jelas terbaca:
"Semoga Bahagia dengan Pernikahan Kedua Anda"
"Dengan Cinta, dari Istri Pertama yang sudah diduakan sejak lama - Indira"
Keheningan memenuhi mobil.
Rani menatap baliho itu dengan wajah pucat. Lalu perlahan menoleh ke arah Indira dengan ekspresi campuran kagum, ngeri, dan tidak percaya.
"Dira... kamu... kamu yang..."
"Iya," potong Indira santai. "Aku yang pasang."
"ASTAGA!" Rani berteriak. "Dira! Ini... ini... ini gila! Ini luar biasa! Tapi ini GILA!"
Indira tertawa, tawa pertamanya yang tulus sejak seminggu terakhir. "Ayo jalan lagi, Ran. Masih ada banyak lagi."
"BANYAK LAGI?" Rani hampir tersedak ludahnya sendiri.
"Ayo, jalan. Nanti kita terlambat," ujar Indira sambil menunjuk ke depan.
Rani masih terpaku sesaat, lalu akhirnya menginjak gas dengan tangan gemetar. Mobil kembali melaju.
Tidak sampai lima menit, mereka menemukan baliho kedua. Kemudian yang ketiga. Lalu yang keempat.
Semuanya identik, foto prewedding yang sama, ucapan selamat yang sama, nama Indira yang dengan jelas tertera di sana. Terpasang strategis di sepanjang jalan utama menuju resort. Tidak mungkin terlewatkan. Tidak mungkin diabaikan.
"Berapa baliho yang kamu pasang?" tanya Rani dengan suara yang masih bergetar antara takjub dan ketakutan.
"Di Bali? Sepuluh," jawab Indira santai sambil mengecek ponselnya lagi. "Lima di rute ini, tiga di kawasan Seminyak, dua di Sanur."
"SEPULUH?" Rani hampir kehilangan kendali atas setir. "Dan di Jakarta?"
Indira tersenyum lebar. "Lima belas."
"LIMA BELAS?" kali ini Rani benar-benar harus menepi sebentar untuk menenangkan diri. "Dira, kamu... serius?"
"Sangat serius," jawab Indira. "Tiga di kawasan Sudirman dekat kantornya, dua di depan gedung kantor keluarganya, lima tersebar di area Kemang dan sekitarnya, tiga di Senopati, dan dua di Kuningan. Aku pastikan semua orang yang mereka kenal akan melihatnya."
Rani menatap sahabatnya dengan campuran kekaguman dan ketakutan. "Kamu... menghabiskan berapa banyak uang untuk ini?"
"Tidak penting," Indira menggelengkan kepala. "Uang bisa dicari lagi. Tapi kepuasan melihat muka Rangga ketika mengetahui seluruh Jakarta dan Bali tahu tentang perselingkuhannya? Itu tidak ternilai."
Rani tertawa, tawa yang terdengar seperti campuran histeria dan kekaguman. "Dira, aku tidak tahu harus bilang apa. Ini... ini savage. Ini kejam. Tapi astaga, ini SEMPURNA."
"Terima kasih," ucap Indira sambil menatap keluar jendela, melihat baliho kelima yang terpampang megah. "Mereka pikir bisa sembunyi. Mereka pikir dengan buat acara tertutup di luar kota, tidak ada yang akan tahu. Mereka pikir mereka aman."
Suara Indira berubah dingin, tajam, penuh kemarahan yang sudah lama terpendam.
"Tapi aku tidak akan biarkan mereka aman," lanjut Indira. "Aku tidak akan biarkan mereka bahagia di atas penderitaanku. Jika mereka ingin menikah, silakan. Tapi semua orang akan tahu. Semua orang akan tahu bahwa Rangga adalah pria yang mengkhianati istrinya. Semua orang akan tahu bahwa Ayunda adalah perebut suami orang."
Rani diam sejenak, mencerna kata-kata sahabatnya. Lalu ia bertanya pelan, "Kamu tidak takut mereka marah?"
"Marah?" Indira tertawa sarkastik. "Biarkan mereka marah. Mereka berhak marah karena rahasianya terbongkar. Tapi aku? Aku berhak marah karena pengkhianatan, kebohongan, dan penghinaan yang mereka lakukan selama ini."
"Benar juga," Rani mengangguk. "Lagipula, apa yang kamu lakukan ini bukan fitnah. Ini fakta. Mereka memang menikah. Kamu hanya... mengumumkannya saja."
"Tepat sekali," Indira tersenyum. "Aku bahkan tidak menulis apapun yang buruk tentang mereka. Hanya ucapan selamat. Sangat sopan, kan?"
Rani terkekeh. "Ucapan selamat paling menghancurkan yang pernah aku lihat."
Mereka melanjutkan perjalanan, melewati satu per satu baliho yang terpasang. Setiap kali melihatnya, Indira merasakan kepuasan yang dalam. Bukan kepuasan yang jahat atau mungkin memang jahat, tapi kepuasan dari keadilan yang akhirnya ia tegakkan sendiri.
"Dira," Rani berbicara lagi, kali ini lebih serius. "Apa kamu sudah siap dengan konsekuensinya?"
"Konsekuensi apa?" Indira menatap sahabatnya.
"Rangga pasti akan menghubungimu. Dia pasti akan marah besar. Keluarganya pasti akan..."
"Biarkan," potong Indira tenang. "Aku sudah siap dengan semua itu."
Rani menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca, bukan karena sedih, tapi karena bangga. "Kamu... kuat sekali, Dira."
"Aku tidak punya pilihan selain kuat," jawab Indira. "Karena jika aku lemah, mereka akan terus menginjak-injak ku. Dan aku sudah cukup diinjak-injak."
Mobil akhirnya sampai di area dekat resort. Mereka tidak masuk, tentu saja tidak. Mereka hanya parkir di tempat yang agak tersembunyi, cukup jauh untuk tidak terlihat tapi cukup dekat untuk mengamati.
"Sekarang apa?" tanya Rani.
"Sekarang kita tunggu," jawab Indira sambil mengambil kamera dari tasnya. "Aku ingin melihat reaksi mereka ketika tamu-tamu mulai berdatangan dan melihat baliho-baliho itu. Aku ingin melihat kehancuran di wajah mereka."
"Kamu benar-benar dendam, ya," gumam Rani.
"Bukan dendam," koreksi Indira. "Ini keadilan. Ini konsekuensi dari pilihan mereka."
Mereka duduk di mobil, menunggu. Udara Bali yang sejuk berhembus masuk melalui jendela yang sedikit terbuka. Suara burung berkicau di pepohonan. Sementara di kejauhan, sebuah resort mewah sedang bersiap-siap untuk resepsi pernikahan yang akan menjadi mimpi buruk bagi mempelai pria.
Ponsel Indira berdering. Masuk pesan banyak pesan dan notifikasi dari teman-teman kantornya. Dari mantan teman kuliahnya. Dari tetangga. Dari semua orang yang melihat baliho-baliho itu di Jakarta.
Viralnya sudah dimulai.
"Ran, lihat," Indira menunjukkan ponselnya yang terus berdering. "Sudah mulai."
Rani mengintip dan matanya melebar. "Astaga, ini menyebar cepat sekali."
"Tentu saja," Indira tersenyum puas. "Skandal sebesar ini tidak mungkin ditutupi. Besok pagi, seluruh Jakarta akan membicarakan tentang Rangga
yang menikahi selingkuhannya sementara masih punya istri sah."
"Dan keluarganya yang terhormat itu pasti malu besar," tambah Rani.
"Itulah tujuannya," ucap Indira dingin. "Mereka selalu bangga dengan nama keluarga mereka. Selalu bicara tentang reputasi dan kehormatan. Sekarang mari kita lihat seberapa berharga kehormatan itu ketika anak laki-laki kesayangan mereka terbukti sebagai pengkhianat."
Di kejauhan, mobil-mobil mulai berdatangan ke resort. Tamu undangan mulai memasuki area resepsi. Dan Indira tahu, ia tahu pasti bahwa mereka semua sudah melihat baliho-baliho itu. Mereka semua sudah tahu. Mereka semua datang dengan bisikan dan pertanyaan.
"Apa benar Rangga masih punya istri?"
"Indira itu siapa? Istri pertamanya?"
"Astaga, jadi ini pernikahan kedua?"
"Apa mereka sudah cerai?"
Pertanyaan-pertanyaan yang akan menghantui setiap detik resepsi itu. Pertanyaan-pertanyaan yang akan membuat Rangga dan Ayunda tidak bisa tersenyum dengan tulus. Pertanyaan-pertanyaan yang akan membuat keluarga mereka mati kutu.
Indira membayangkan wajah Rangga saat ini, panik, marah, ketakutan. Ia membayangkan Ayunda yang mungkin menangis, makeup-nya rusak, hari pernikahan impiannya berubah menjadi mimpi buruk.
Dan untuk pertama kalinya dalam seminggu terakhir, Indira merasa lega.
Bukan bahagia. Tapi lega.
Lega karena akhirnya ia melawan. Lega karena akhirnya ia tidak lagi menjadi korban yang diam. Lega karena akhirnya keadilan, walau dengan caranya sendiri ditegakkan.