“Jika aku berhasil menaiki takhta ... kau adalah orang pertama yang akan ku buat binasa!”
Dijual sebagai budak. Diangkat menjadi selir. Hidup Esma berubah seketika tatkala pesonanya menjerat hati Padishah Bey Murad, penguasa yang ditakuti sekaligus dipuja.
Namun, di balik kemewahan harem, Esma justru terjerat dalam pergulatan kuasa yang kejam. Iri hati dan dendam siap mengancam nyawanya. Intrik, fitnah, hingga ilmu hitam dikerahkan untuk menjatuhkannya.
Budak asal Ruthenia itu pun berambisi menguasai takhta demi keselamatannya, serta demi menuntaskan tujuannya. Akankah Esma mampu bertahan di tengah perebutan kekuasaan yang mengancam hidupnya, ataukah ia akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASS10
BUGH!
“LA ILAHA ILLALLAH!”
Mansur berseru kencang usai mengorbankan dirinya demi melindungi Esma dari amarah Yasmin. Pria yang tak lagi memiliki kelamin itu terhuyung ketika tombak dalam genggaman Yasmin menghantam kuat keningnya.
“YASMIN HATUN!”
BRUGH!
Tombak dalam genggaman Yasmin langsung terlepas begitu mendengar suara berat menggelegar milik Bey Murad. Ia lekas berbalik, dan mendapati suaminya menatapnya dengan bengis.
“B-baginda ....” Wajah Yasmin seketika pucat, baru kali ini ia melihat wajah Bey Murad memerah menahan marah.
“Baginda ....” Esma lekas menjatuhkan diri berlutut, matanya menatap lantai, mengusahakan agar suaranya bergetar. “Yasmin Hatun hendak memukul kepala hamba dengan tombak itu. Namun, Mansur Ağa dengan jiwa kelaki-lakiannya yang masih tersisa—”
Suara Esma mendadak terputus manakala Mansur langsung menoleh dan mendelikkan matanya.
“Melindungi diri ini dengan gagahnya. Ampunkan hamba, Baginda. Hamba lah yang bersalah karena telah tersulut dengan emosi sesaat tatkala Yasmin Hatun menghina hamba dengan sebutan budak sundal. Hamba sungguh menyesal.” Esma semakin menundukkan kepalanya, menyembunyikan senyuman yang mengembang.
Yasmin menoleh sengit, matanya berkilat, tak percaya bahwa gadis di depannya ternyata lebih licik dari yang ia kira. Dada wanita itu terasa terbakar hebat. “Dasar kau ... ular berkepala dua!”
Arrghh!
Esma terpekik ketika Yasmin menjambak kasar rambutnya.
“Baginda ... tolong hamba ...!” Dibalik helai rambut yang menutupi wajahnya, Esma terkikik tanpa suara.
Dengan siasatnya yang begitu halus, Esma kembali berhasil menanamkan kesan di hadapan Bey Murad — bahwa Yasmin Hatun tak lain hanyalah wanita impulsif, kasar, dan tak pernah tau cara bersikap.
Bey Murad berlari kencang, ia segera melerai. Tangannya sampai berdarah terkena cakaran dari runcingnya kuku Yasmin.
“Jaga sikapmu, Yasmin Hatun!” Suara Ibu Suri bak pedang yang disarungkan—tak terlihat tajam, tapi siap menebas bila dilanggar. Wanita lanjut usia itu tiba-tiba saja keluar dari Has Oda.
Wajah Yasmin seketika menegang. Warna merah amarah di pipinya perlahan pudar, berganti pucat pasi. Tangannya yang masih mencengkeram rambut Esma pun terlepas perlahan.
“Sekarang, kembalilah ke kamarmu dengan tenang. Jangan memalukan dirimu sendiri lebih jauh di hadapan Baginda.”
Yasmin menelan ludahnya yang terasa getir. “Tapi, Yang Mulia ... hamba—”
“Aku tidak ingin mendengar kata ‘tapi’,” potong Ibu Suri cepat. Sorot matanya teramat dingin. “Pergilah, sebelum aku benar-benar kehilangan kesabaran.”
Yasmin terdiam, rahangnya mengeras. Ia berbalik cepat dan pergi dengan langkah menghentak.
Ibu Suri dan Bey Murad serentak menggelengkan kepala. Sementara Mansur, ia bersandar di dinding sambil mengusap keningnya yang benjol.
Ibu Suri mendekati Esma, lalu mengulurkan tangannya. “Kau tak apa-apa, Esma? Bangunlah ... mari kita lanjutkan niat baik ini, sebelum setan kembali menebar gangguannya.”
Malam itu, pernikahan pun dilangsungkan secara sirri di ruang pribadi milik Bey Murad.
Imam Istana yang paling dipercaya memimpin akad, disaksikan oleh Panglima Orhan dan Mansur Ağa.
Suara Bey Murad terdengar mantap saat mengucapkan ijab kabul, sementara Esma hanya menunduk dengan mata berkaca-kaca.
Tak ada pesta, tak ada tabuhan rebana, hanya kesunyian yang menjadi saksi dari sakralnya pernikahan antara seorang Sultan dengan gadis biasa.
Saat imam membacakan doa usai akad, Zeynep Hatun menyerahkan selembar dokumen bertanda stempel kerajaan pada Ibu Suri, yakni sertifikat yang membuktikan Esma adalah wanita merdeka.
Perempuan berkuasa itu pun berkata, “dengan ini, Esma binti Rahman dinyatakan sebagai perempuan merdeka.”
.
.
Saat Has Oda dipenuhi dengan sukacita, berbeda di area harem—tepatnya kamar baru Esma.
Safiye menyelinap masuk, menjalankan perintah dari Yasmin Hatun. Ia menyelipkan jimat pemberian dari Cinçi Hoca di bawah dipan.
“Semoga kau lekas mampus, Esma. Berani sekali kau mengusik ketenangan Yasmin Hatun,” desis Safiye.
Orang kepercayaan Yasmin itu lekas berbalik, hendak keluar dari ruangan itu sebelum sang pemilik kamar kembali. Namun, tiba-tiba saja pintu berderit pelan.
Jantung Safiye berdegup kencang, matanya mengedar mencari tempat persembunyian. Pandangannya tertumbuk pada kolong dipan, lalu lekas berlari dan bersembunyi di bawah sana.
Di bawah kolong yang gelap, matanya memperhatikan gaun murahan yang perlahan menyapu lantai.
Keningnya mengernyit. ‘Kenapa langkahnya mengendap-endap? Siapa dia? Apa dia seorang pencuri?’
Sungguh ia penasaran, siapa sosok tersebut— yang ternyata adalah Fatma. Pengincar hati Bey Murad itu tengah menaburkan sesuatu di atas dipan.
“Esma ... Esma ... kita lihat saja, apakah Baginda akan tetap menyukaimu ... jika kulit mulus yang kau banggakan itu menjadi jelek dan menjijikkan? Hahaha!”
*
*
*
Hari ini author up hanya 1 bab, ya😇
Jangan lupa tinggalkan jejak cintanya🥰