Di tengah hiruk pikuk kota modern Silverhaven, Jay Valerius menjalani hidupnya sebagai seorang menantu yang dipandang sebelah mata. Bagi keluarga Tremaine, ia adalah suami tak berguna bagi putri mereka Elara. Seorang pria tanpa pekerjaan dan ambisi yang nasibnya hanya menumpang hidup.
Namun, di balik penampilannya yang biasa, Jay menyimpan rahasia warisan keluarganya yang telah berusia ribuan tahun: Cincin Valerius. Artefak misterius ini bukanlah benda sihir, melainkan sebuah arsip kuno yang memberinya akses instan ke seluruh pengetahuan dan keahlian para leluhurnya mulai dari tabib jenius, ahli strategi perang, hingga pakar keuangan ulung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Angka di Ambang Batas
Begitu mobil berhenti di halaman rumah, Bastian Tremaine melompat keluar seolah usianya berkurang dua puluh tahun. "Elara, siapkan semua data operasional perusahaan! Rincian gaji, biaya bahan bakar, polis asuransi! Jay, kau ikut aku ke ruang kerja. Sekarang!"
Ruang kerja yang semalam terasa seperti kamar mayat, kini berubah menjadi pusat komando perang. Peta Gunung Hantu dibentangkan di atas meja, dikelilingi oleh tumpukan kertas dan tiga laptop yang menyala. Suasananya tegang, fokus, dan dipenuhi adrenalin.
Selama beberapa jam pertama, Bastian dan Elara bekerja dengan panik. Mereka adalah tim yang sudah berpengalaman, namun skala proyek ini berada di luar jangkauan mereka. Bastian mencoba menghitung biaya modifikasi truk, sementara Elara berusaha menyusun jadwal pengiriman dan alokasi sumber daya manusia.
Semakin dalam mereka menghitung, semakin cemas wajah mereka. "Sial," gerutu Bastian sambil melempar kalkulatornya ke meja. "Bahkan dengan jalur potong itu, biaya asuransi untuk medan berbahaya seperti ini sangat tinggi. Dan kita butuh setidaknya tiga tim sopir yang bekerja bergantian. Ini rumit sekali."
Elara mengusap wajahnya yang lelah. "Aku mencoba membuat proyeksi arus kas, tapi terlalu banyak variabel. Ini bisa memakan waktu seminggu untuk membuat proposal yang akurat, Pah. Bukan satu malam."
Saat itulah Jay, yang sejak tadi hanya diam mengamati dan membaca dokumen tender dengan kecepatan yang tidak wajar, melangkah maju.
"Biar aku coba," katanya pelan.
Bastian hendak memprotes, tapi Elara menyentuh lengannya. "Pah, biarkan saja."
Jay duduk di depan laptop utama. "Aku butuh semua data mentah," katanya. "Harga suku cadang dari Pak Tarno, data konsumsi BBM semua truk kita, tabel premi asuransi risiko tinggi, dan daftar gaji seluruh karyawan."
Selama sepuluh menit berikutnya, Elara dan ayahnya sibuk memberikan semua informasi yang diminta. Begitu semua data ada di tangannya, Jay mulai bekerja.
Dan mereka menyaksikan sebuah pertunjukan yang tidak akan pernah mereka lupakan.
Jari-jari Jay menari di atas keyboard dengan kecepatan dan presisi seorang pianis konser. Jendela-jendela program terbuka dan tertutup di layar. Angka-angka mengalir ke dalam spreadsheet, formula-formula rumit muncul entah dari mana, dan grafik-grafik mulai terbentuk. Ia tidak hanya mengetik; ia menyerap, menganalisis, dan membangun sebuah rencana bisnis raksasa dari nol dalam hitungan menit.
Malam berganti menjadi dini hari. Cangkir-cangkir kopi yang kosong menumpuk di meja. Bastian dan Elara, yang awalnya mencoba membantu, kini hanya bisa berdiri di belakangnya, menonton dengan mulut ternganga. Pria itu adalah sebuah superkomputer dalam wujud manusia.
Tepat saat cahaya fajar pertama menyelinap masuk melalui jendela, Jay mendorong kursinya ke belakang. Ia meregangkan tubuhnya seolah baru saja menyelesaikan pekerjaan ringan.
"Selesai," katanya.
Di layar, terpampang sebuah dokumen proposal setebal dua ratus halaman. Lengkap dengan analisis risiko, jadwal operasional harian, rencana mitigasi bencana, hingga lampiran teknis modifikasi truk. Semuanya sempurna.
Dan di halaman terakhir, ada angka penawaran final.
Bastian melihat angka itu, dan jantungnya serasa berhenti berdetak. "Jay..." katanya, suaranya serak karena lelah dan kaget. "Angka ini... ini terlalu rendah! Kita akan rugi besar jika mengajukan penawaran serendah ini!"
Jay menggeleng. "Angka ini tidak rendah. Angka ini efisien," jelasnya dengan tenang. "Saya sudah menghitung semua biaya hingga baut terakhir. Saya juga sudah menganalisis pola penawaran dari pesaing terbesar kita, Perusahaan Logistik 'Raksasa Pasifik', dalam lima tender pemerintah terakhir."
Ia menunjuk angka di layar. "Penawaran ini tepat 1% lebih rendah dari tawaran terendah yang paling mungkin mereka ajukan. Angka ini akan memastikan kita menang, tapi dengan bonus penyelesaian lebih awal, margin keuntungan bersih kita masih di atas tiga puluh lima persen."
Bastian menatapnya, bingung. "Bagaimana mungkin kau bisa tahu tawaran mereka?"
"Aku tidak tahu," jawab Jay. "Aku menghitungnya."
Sebuah perhitungan yang mustahil. Sebuah analisis yang melampaui kemampuan manusia manapun. Bastian dihadapkan pada pilihan terakhir. Memercayai pengalaman bisnisnya selama puluhan tahun yang mengatakan bahwa angka ini adalah bunuh diri, atau memercayai menantunya yang misterius, yang sejauh ini belum pernah salah.
Ia menatap Elara. Putrinya itu menatapnya balik dengan keyakinan penuh di matanya, lalu mengangguk.
Bastian menghela napas panjang, menyerah pada logika yang tidak ia pahami. "Cetak," perintahnya.
Pagi itu menjadi sebuah perlombaan yang panik. Mereka mencetak proposal raksasa itu, menjilidnya, dan bergegas ke kantor pemerintah di pusat kota. Tentu saja, mereka terjebak macet.
Jam di dasbor mobil menunjukkan pukul 11:45. Batas waktu penyerahan adalah jam 12:00 siang.
Bastian membunyikan klakson dengan frustrasi. Elara menggigit kukunya dengan cemas. Hanya Jay yang tetap tenang di kursi penumpang.
Akhirnya, mereka tiba di gedung kantor pemerintah pada pukul 11:58. Bastian, dengan proposal tebal di tangannya, berlari sekuat tenaga melintasi lobi, diikuti oleh Elara dan Jay.
Mereka tiba di loket penyerahan tender dengan napas terengah-engah. Petugas di loket menunjuk jam besar di dinding. Pukul 11:59.
"Satu menit lagi," kata petugas itu datar.
Bastian menyerahkan dokumen itu. Petugas menerimanya, lalu membubuhkan stempel waktu yang keras di atasnya. Tepat saat stempel itu diangkat, jarum jam panjang di dinding bergeser ke angka 12.
"Waktu habis," kata petugas itu. "Penerimaan tender resmi ditutup."
Mereka berhasil.
Mereka bertiga berjalan keluar dari gedung, terdiam saat cahaya matahari siang yang terik menyilaukan mata mereka. Lelah, tapi lega. Pekerjaan mereka sudah selesai.
Bastian menepuk bahu Jay, sebuah tepukan yang terasa berat oleh rasa hormat yang tulus. "Kau sudah melakukan bagianmu, Nak."
Mereka berdiri sejenak di trotoar yang ramai, tiga orang yang baru saja mempertaruhkan seluruh masa depan mereka pada sebuah perhitungan ajaib.
"Sekarang," kata Bastian sambil menatap gedung di hadapan mereka. "Kita tinggal menunggu."