Rubiana Adams, seorang perempuan jenius teknologi dan hacker anonim dengan nama samaran Cipher, terjebak dalam pernikahan palsu setelah dipaksa menggantikan saudari kembarnya, Vivian Adams, di altar.
Pernikahan itu dijodohkan dengan Elias Spencer, CEO muda perusahaan teknologi terbesar di kota, pria berusia 34 tahun yang dikenal dingin, cerdas, dan tak kenal ampun. Vivian menolak menikah karena mengira Elias adalah pria tua dan membosankan, lalu kabur di hari pernikahan. Demi menyelamatkan reputasi keluarga, Rubiana dipaksa menggantikannya tanpa sepengetahuan Elias.
Namun Elias berniat menikahi Vivian Adams untuk membalas luka masa lalu karena Vivian telah menghancurkan hidup adik Elias saat kuliah. Tapi siapa sangka, pengantin yang ia nikahi bukan Vivian melainkan saudari kembarnya.
Dalam kehidupan nyata, Elias memandang istrinya dengan kebencian.
Namun dalam dunia maya, ia mempercayai Cipher sepenuhnya.
Apa yang terjadi jika Elias mengetahui kebenaran dari Rubiana sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14. PERHATIAN
Pagi itu, langit di atas rumah besar milik Elias tampak jernih. Udara musim semi menembus celah jendela, membawa aroma bunga dan dedaunan basah yang baru tersentuh embun. Di ruang kerja yang luas dan rapi, Elias duduk di balik meja hitamnya. Di hadapannya, berkas-berkas hukum menumpuk rapi, salah satunya adalah surat perceraian yang baru saja disahkan.
Nama di dokumen itu tertulis jelas: Vivian Adams.
Nama yang tak seharusnya ada dalam hidupnya, nama yang menjadi awal dari segalanya: kesalahpahaman, dendam, dan luka.
Kini semuanya selesai.
Raven berdiri di sisi meja, membawa map tambahan sambil bersandar ringan pada dinding.
"Jadi ... resmi sudah?" tanya Raven pelan, nada suaranya setengah lega, setengah penasaran.
Elias tidak menjawab seketika. Ia menatap tanda tangannya di kertas itu cukup lama sebelum akhirnya berkata datar,
"Resmi. Mulai hari ini, aku bukan lagi suami Vivian Adams."
Raven mengangkat alis, menyilangkan tangan di dada.
"Dan kau tak merasa kosong atau semacamnya? Biasanya orang yang baru bercerai punya reaksi tertentu. Kau malah terlihat seperti baru selesai menandatangani kontrak proyek biasa," ejek Raven.
Elias menutup map dengan gerakan tenang, lalu menatap keluar jendela.
"Karena ini memang bukan pernikahan yang seharusnya terjadi. Lagi pula aku tidak ingin namaku disandingkan dengan nama wanita itu selamanya," celetuk Elias.
Raven terdiam sejenak. Ia tahu maksud Elias bukan hanya tentang Vivian, tapi tentang Rubiana, gadis yang selama ini tanpa sengaja menanggung beban dari semua kebencian yang seharusnya bukan miliknya.
"Jadi setelah ini kau akan bagaimana?" tanya Raven akhirnya.
Elias membalik pandangannya, nada suaranya kali ini sedikit lebih lembut, nyaris tak terdengar. "Entah. Tapi aku tahu satu hal. Aku tidak ingin ada lagi orang yang terluka karena kesalahanku."
Raven hanya tersenyum getir, tahu kalau pikiran teman sekaligus atasannya ini pastilah tertuju ke gadis yang saat ini menarik perhatiannya.
Beberapa jam setelah urusan hukum selesai, Elias kembali ke rumah dengan langkah ringan yang jarang terlihat. Biasanya, ia berjalan cepat, seolah waktu tak pernah cukup. Tapi hari itu, entah mengapa, langkahnya melambat di setiap lorong.
Di ruang tengah, Rubiana tengah menata beberapa buku di meja kecil. Wajahnya terlihat lebih segar dari hari-hari sebelumnya. Rambut cokelat gelapnya tergerai lembut, mengenakan sweater sederhana berwarna krem yang menambah kesan hangat.
Elias memperhatikannya beberapa detik sebelum membuka suara. "Kau sudah makan?" tanyanya.
Rubiana sedikit terlonjak, tidak menyangka Elias pulang secepat itu. Ia segera berbalik.
"Elias? Aku sudah makan. Aku hanya sedang membereskan barang sedikit."
"Baik," jawabnya singkat. Tapi kemudian, bukannya pergi, Elias justru menatap sekeliling ruang tamu.
Elias memperhatikan rak yang mulai kosong, kulkas yang hanya diisi bahan seadanya, dan pakaian Rubiana yang masih terbatas pada beberapa potong baju sederhana yang ia bawa dulu.
"Kau butuh sesuatu?" tanya Elias tiba-tiba.
Rubiana menggeleng cepat. "Tidak, aku baik-baik saja. Terima kasih."
Elias mengangkat alis sedikit. "Kau yakin? Aku tidak suka rumah ini tampak seperti tempat singgah untukmu."
Rubiana menatapnya bingung. "Tempat singgah?"
"Ya," Elias melangkah mendekat, suaranya tenang tapi tegas. "Mulai sekarang, kau tinggal di sini bukan sebagai orang asing. Jadi rumah ini juga rumahmu. Jika ada yang kurang, katakan saja."
Rubiana menunduk, jemarinya saling meremas gugup. "Aku tidak ingin merepotkan. Sejauh ini aku sudah cukup dengan yang ada," katanya.
"Ruby," Elias menatapnya, nada suaranya kali ini lebih dalam. "Menerima sesuatu tidak selalu berarti merepotkan."
Rubiana tidak tahu harus berkata apa
Elias tidak menunggu jawaban, melainkan memanggil Raven yang baru saja masuk membawa beberapa map tambahan.
"Raven?"
"Ya?" Raven langsung mendekat.
"Kau tahu toko elektronik yang kau rekomendasikan tempo hari?" tanya Elias tiba-tiba.
Raven berkedip. "Yang di pusat kota?"
"Ya. Siapkan daftar barang: komputer, kursi, perabot tambahan, bahan makanan, pakaian, dan apa pun yang sekiranya dibutuhkan," titah Elias.
Rubiana menatapnya panik. "Elias?! Tidak perlu sebanyak itu-"
Tapi Elias menoleh padanya, menatap dalam tanpa emosi berlebih, hanya ketegasan yang khas.
"Tidak perlu menolak, Rubiana. Aku tidak memintamu memilih, hanya menerimanya. Paham," kata Elias tak dapat didebat.
Kalimat itu membuat Rubiana terdiam. Ada nada lembut yang aneh dalam suara Elias kali ini, bukan perintah, tapi seolah ia takut penolakannya akan menyakiti sesuatu dalam diri Elias sendiri.
Raven tersenyum samar, menatap keduanya bergantian.
"Baiklah," kata Raven santai. "Aku akan urus semuanya. Sepertinya ini akan jadi pesta belanja yang menarik."
Siang berganti sore. Mobil hitam milik Elias berhenti di depan beberapa toko berbeda. Ia jarang sekali turun langsung untuk hal remeh seperti ini, tapi hari itu, ia melakukannya sendiri.
Raven, yang mengikuti di belakang, hanya bisa menggeleng melihat antusiasme temannya.
"Baru kali ini aku lihat kau seserius itu memilih warna kursi, Elias," ujar Raven sambil tertawa kecil. "Biasanya kau bahkan tidak peduli kursi kantormu warnanya apa."
Elias menatap kursi ergonomis berlapis bulu halus di depannya, lalu bertanya serius pada penjaga toko, "Apakah nyaman untuk duduk lama? Tidak mudah membuat punggung sakit?"
Penjaga toko hampir terbata menjawab karena merasa sedang diselidiki, bukan dilayani. "Ah, iya, Sir. Ini tipe terbaru. Sangat nyaman untuk bekerja lama di depan komputer."
Raven tertawa pelan, menepuk bahu Elias.
"Untuk Ruby, ya?"
Elias tidak menjawab, tapi tatapannya yang tenang sudah cukup menjelaskan.
Raven menghela napas panjang, masih sambil tersenyum. "Baiklah, baiklah. Aku tidak akan mengomentari. Tapi aku harus bilang ... sudah lama aku tidak melihatmu begini."
"Begini bagaimana?" tanya Elias datar.
"Begitu peduli pada hal-hal kecil," jawab Raven ringan. "Biasanya kau cuma peduli pada laporan, data, dan kontrak."
Elias terdiam sesaat, lalu menunduk, suaranya pelan. "Mungkin karena kali ini yang kupedulikan bukan laporan ... tapi seseorang."
Raven nyaris menelan lidahnya. Ia tidak pernah mendengar Elias berbicara seperti itu sejak bertahun-tahun lalu. Seorang Elias peduli dengan orang lain? Wow ... itu kejutan untuk Raven.
Ketika mereka kembali ke rumah malam itu, truk pengantar datang hampir bersamaan.
Rubiana yang baru keluar dari kamar terkejut melihat lorong rumah dipenuhi tumpukan kotak.
"Ini semua apa?" tanya Rubiana bingung.
Raven terkekeh sambil menandatangani nota pengiriman.
"Hadiah dari Elias. Katanya, semua ini perlu," ujar Raven.
Elias berjalan masuk dengan mantel masih di pundaknya. Ia memerintahkan staf untuk memindahkan sebagian ke dapur, sebagian ke kamar Rubiana.
"Aku minta mereka memasang komputer di kamarmu. Kau sempat bilang ingin membeli satu, bukan?" kata Elias.
Rubiana membeku di tempatnya. "T-tapi aku hanya berniat membeli komputer kecil untuk sekedar menonton atau belajar tidak perlu sampai-"
"Komputer kecil?" Raven tertawa. "Sayang sekali, Elias baru saja membelikanmu satu set lengkap dengan layar ganda dan kursi ergonomis."
Rubiana menatap Elias dengan wajah campur aduk antara terharu dan bingung.
"Elias, bukankah ini terlalu banyak?" Rubiana terkejut setengah mati dengan ulah pria itu.
Elias menatap sang gadis, kali ini dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan.
"Ruby, aku tahu kau tidak biasa menerima sesuatu tanpa alasan. Tapi ini bukan soal layak atau tidak. Ini hanya caraku memastikan kau tidak kekurangan apa pun," kata Elias lembut.
"Tapi aku tidak-"
"Ah, ah, tidak ada penolakan," potong Elias pelan, nada suaranya lembut namun tegas. "Kalau kau menolak, aku akan menganggap kau tidak menghargai niatku."
Rubiana terdiam. Kata-kata itu tidak terdengar seperti ancaman, melainkan seperti pengakuan tak langsung: bahwa Elias berusaha menebus sesuatu dengan caranya sendiri.
Raven yang masih di sana hanya mengangkat bahu dan berbisik pelan di telinga Rubiana saat Elias beranjak ke ruang kerja.
"Terima saja, Ruby. Percayalah, ini pertama kalinya aku lihat dia tersenyum kecil waktu belanja. Jangan buat pria itu kehilangan alasan tersenyum lagi," bisik Raven.
Rubiana menatap punggung Elias yang menjauh. Ada sesuatu di dadanya yang hangat dan bergetar pelan.
Keesokan harinya, kamar Rubiana sudah berubah total. Meja kayu elegan kini berdiri di sisi jendela dengan seperangkat komputer modern di atasnya. Di pojok, berbulu lembut tampak empuk dan mewah. Rak kecil diisi buku-buku baru, dan lemari baju dipenuhi pakaian yang masih berbau toko.
Rubiana berdiri di tengah ruangan dengan wajah tak percaya. Ia menyentuh kursi, lalu layar komputer, seolah takut semuanya hanya sementara.
Elias muncul di pintu tanpa suara, memperhatikannya.
"Kau tidak suka warnanya?" tanya Elias.
Rubiana berbalik cepat. "Ah! Tidak, aku suka. Semua ini indah sekali. Hanya saja ... aku tidak tahu harus berkata apa."
"Tidak perlu berkata apa-apa," jawab Elias datar tapi lembut. "Gunakan saja dan aku akan senang."
Elias melangkah masuk, tangannya menyentuh tepi meja, memastikan tinggi meja sudah pas.
"Kalau ada yang tidak nyaman, bilang pada Raven. Aku minta dia atur ulang semuanya," kata Elias.
Rubiana menatapnya lama. "Kenapa kau melakukan semua ini untukku?"
Pertanyaan itu membuat Elias berhenti. Sekilas, ekspresinya berubah. Ada bayangan masa lalu di matanya, tapi segera ia sembunyikan di balik senyum tipis yang jarang muncul.
"Mungkin karena aku sudah terlalu lama lupa bagaimana memperlakukan seseorang dengan benar," jawab Elias pelan.
Rubiana menunduk, suaranya nyaris berbisik.
"Aku tidak terbiasa diberi banyak hal. Di rumah dulu aku bahkan harus meminta izin untuk sekadar makan."
Elias menatapnya lama, lalu berkata lirih, "Maka di sini, kau tak perlu izin untuk menjadi dirimu sendiri. Mau kau tidur seharian, berguling-guling di lantai. Lakukan saja. Selama kau suka, aku tidak akan melarang apa pun."
Kata-kata itu sederhana, tapi menusuk.
Rubiana menggigit bibirnya, menahan haru yang mendadak menyesak. Ia tidak pernah tahu perhatian bisa sesunyi dan setulus ini, tanpa perlu diucapkan dengan kata cinta.
Hari-hari berikutnya berjalan dalam kehangatan yang aneh.
Elias tetap dengan kesibukannya, tapi setiap pagi selalu memastikan dapur terisi. Kadang, ia menyelipkan pesan pendek di meja makan:
"Jangan lupa makan." atau "Kupesan roti kesukaanmu, ada di dapur."
Raven tak henti menggoda setiap kali melihat perubahan kecil itu.
"Elias, kalau begini terus, aku harus siapkan daftar toko perabot bayi. Siapa tahu kau lanjut tahap berikutnya," canda Raven yang jelas menggoda temannya itu.
Elias hanya menatapnya datar. "Raven."
"Oke, oke. Hanya bercanda." Raven mengangkat tangan menyerah, tapi matanya tetap bersinar geli. "Aku hanya ingin bilang, dia membuatmu terlihat lebih hidup, Elias."
Elias tidak menanggapi, tapi dalam hati, ia tahu Raven benar.
Rubiana, di sisi lain, mulai terbiasa dengan perhatian itu. Ia masih canggung, tapi mulai berani membalas dengan cara sederhana: menyeduhkan teh untuk Elias ketika pria itu pulang larut, menata ruang tamu, atau sekadar menunggu di ruang makan hingga Elias selesai bekerja.
Malam itu, ketika Elias pulang dengan jas yang masih berdebu, ia mendapati secangkir teh hangat sudah menunggu di meja.
Rubiana berdiri di dekat jendela, menatap langit.
"Sudah larut," kata Elias.
Rubiana menoleh. "Aku hanya ingin memastikan Anda minum yang hangat sebelum tidur."
Elias menatap teh itu lama, lalu menatapnya. "Terima kasih."
Keheningan melingkupi ruangan. Hanya suara jam dinding yang terdengar.
Di luar, bulan menyorot lembut melalui jendela, membuat bayangan mereka jatuh berdampingan di lantai kayu.
Dan untuk pertama kalinya, Elias tidak merasa kesepian di rumah sebesar itu.
Sementara Rubiana, gadis yang dulu ketakutan dan merasa tak berhak menerima kasih, mulai merasakan sesuatu yang selama ini hanya ia bayangkan: rumah.
Meskipun bayangan bahaya dan juga kerusuhan akan mulai terlihat di depan mata untuk meruntuhkan kedamaian mereka berdua.
antara kasian n seneng liat ekspresi Rubi.
kasian karena d bohongin kondisi Elias,seneng karena akhirnya Elias tau siapa Rubi sebenarnya.
😄
hemmmm....kira kira Ruby mo di kasih
" HADIAH ' apa ya sama Elias....😁🔥
tapi tak kirain tadi Elies pura² terluka ternyata enggak 😁
Elias tau Rubi adalah chiper,,hm
apa yg akan Rubi katakan setelah ini semua
Rubiiii tolong jujurlah sama Elias,apa susahnya sh.
biar xan jadi punya planning lebih untuk menghadapi si adams family itu,,hadeeeh
syusah banget sh Rubi 🥺
makin penasaran dgn lanjutannya